Penulis: Hidayat Amir, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Salah satu problem berulang yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam dasawarsa terakhir ialah pos belanja Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Mengapa demikian? Yang pertama ialah bahwa subsidi BBM secara kasat mata tidak tepat sasaran; subsidi BBM lebih dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu dibanding dengan yang dinikmati oleh masyarakat tidak mampu. Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang melakukan konsumsi BBM lebih banyak, sementara masyarakat miskin atau tidak mampu bukan pada kelompok tersebut.
Yang kedua, subsidi BBM menyedot sumber daya APBN dan mengambil oportunitas untuk belanja produktif yang lain. APBN selalu mengalami keterbatasan untuk memenuhi program-program pemerintah. Oleh karenanya pemerintah harus memasang prioritas yang ketat. Namun sejak lima tahun terakhir belanja subsidi BBM terus meningkat dan puncaknya mencapai sebesar Rp240 triliun pada 2014. Bahkan hampir setiap tahun realisasinya melebihi pagu yang dipatok dalam APBN. Secara kumulatif belanja subsidi BBM selama lima tahun terakhir mencapai Rp909,5 triliun. Suatu angka yang fantastis. Apatah lagi di saat yang sama pemerintah memerlukan dana yang banyak untuk percepatan pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur energi, energi baru-terbarukan, pangan, dan transportasi.
Yang ketiga, subsidi BBM memberikan eksposur risiko terhadap belanja APBN. Hal ini bermuara dari penerapan formula subsidi BBM terbuka. Artinya setiap ada unsur volatilitas variabel eksternal, baik itu harga minyak dunia atau kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, maka risiko atas volatilitasnya akan dibebankan kepada APBN. Hal ini terjadi ketika harga jual BBM bersubsidi kepada konsumen diperlakukan tetap, sementara biaya penyediaannya oleh pemerintah bisa berfluktuasi tergantung terjadinya fluktuasi harga jual minyak internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (Amir 2007, 2008a, 2008b, 2012). Hal ini diperparah oleh nilai impor minyak (minyak mentah dan hasil minyak) yang terus meroket untuk memenuhi kebutuhan domestik yang semakin meningkat. Eksposur risiko ini tidaklah menjadi besar apabila kedua variabel tersebut tidak mengalami volatilitas yang tinggi.
Dalam hal penyesuaian harga BBM, formulasi subsidi BBM yang ada pun tidak hanya kurang mampu untuk menekan eksposur risiko dalam APBN namun juga menimbulkan setidaknya tiga kali ketegangan politik di dalam proses pengambilan keputusannya, yaitu sebagaimana yang terjadi pada tahun 2005, 2008, dan 2012. Selain itu, setiap penyesuaian harga BBM selalu diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi. Hal ini tentu mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi berkurang. Muara dari permasalahan ini ialah bahwa mekanisme penyesuaian harga BBM bersubsidi yang ada sudah tidak layak lagi dipertahankan. Selain menimbulkan kegaduhan politik, formulasi yang ada juga menyimpan berbagai permasalahan kronis sebagaimana telah diuraikan di atas.
Melihat berbagai fenomena tersebut maka perlu dicarikan mekanisme harga yang baru. Suatu mekanisme yang tidak hanya mampu mengeliminasi risiko politik tetapi juga menjadi solusi bagi semua permasalahan yang menyertainya. Penulis mengusulkan mekanisme subsidi tetap dengan penyesuaian harga jual eceran BBM yang dilakukan secara pekanan (Amir 2012, 2015).
Mengapa alternatif ini lebih baik? Ada beberapa argumentasi yang mendukung mekanisme ini. Pertama, tetap memberikan ruang bahwa penetapan APBN adalah sebuah keputusan politik, yaitu dalam hal memutuskan berapa alokasi belanja APBN berdasarkan asumsi-asumsi yang telah ditetapkan. Berdasarkan alokasi ini, dengan mempertimbangkan estimasi volume konsumsi maka dapat dihitung berapa subsidi pemerintah terhadap harga BBM per liternya. Mekanisme ini dilakukan dalam mekanisme pembahasan APBN dan akan ditinjau ulang dalam pembahasan APBN-Perubahan.
Kedua, penyesuaian harga dilakukan oleh pemerintah sebagai pelaksana APBN. Setiap ada pergerakan (baik naik atau turun) harga ICP rata-rata pekanan dan/atau nilai kurs dollar Amerika dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN maka akan segera direspon dengan penyesuaian harga BBM. Penyesuaian harga BBM secara pekanan akan mengeliminasi kegaduhan politik yang selalu muncul dalam kenaikan harga BBM. Amplitudo penyesuaian harga BBM yang relatif kecil - karena segera direspon dalam sepekan tanpa menunggu diakumulasikan dalam periode yang lama - tidak akan memiliki daya ungkit untuk menjadi isu politik.
Ketiga, risiko perubahan harga minyak tidak hanya menjadi beban pemerintah dalam bentuk lonjakan belanja subsidi BBM. Pembeli pun ikut menanggung risiko kenaikan harga. Hal ini akan meningkatkan sensitivitas pola konsumsi terhadap harga. Penjual pun akan menanggung risiko kenaikan harga, merespon penurunan volume konsumsi dengan melakukan efisiensi atau dengan membuka peluang penyediaan energi alternatif yang lebih kompetitif.
Keempat, dalam hal terjadi kenaikan/penurunan harga yang relatif besar secara terus-menerus dalam periode yang cukup panjang, pemerintah bertindak sebagai buffer untuk melakukan smoothing harga. Hal ini menjadi bagian penting peran pemerintah untuk menjaga konsumen domestik dari risiko volatilitas harga BBM. Salah satu pendekatan yang bias dilakukan ialah dengan menentukan harga BBM dengan moving average atas harga BBM beberapa bulan sebelumnya. Apabila untuk menjaga stabilitas harga ini diperlukan tambahan belanja subsidi BBM maka dapat dialokasikan dalam mekanisme APBN-Perubahan atau dengan menggunakan alokasi dana kontijensi pemerintah.
Kelima, mekanisme penyesuaian harga BBM pekanan juga akan mengeliminasi reaksi harga-harga komoditas lain yang berlebihan, yang biasanya dipengaruhi oleh faktor psikologis kenaikan harga BBM yang relatif besar. Dengan demikian, tidak akan terjadi tekanan risiko terhadap inflasi yang relative besar.
Terakhir, formulasi harga BBM ini masih sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 002/PUU-1/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menerbitkan PP No. 30/2009 tentang Perubahan atas PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi yang mengubah pasal 72 menjadi berbunyi: “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah.”
Rezim baru di bawah kepemimpinan Jokowi-JK bergerak cepat untuk melakukan reformasi struktur APBN, menggeser alokasi belanja konsumtif menuju belanja produktif. Walaupun perubahan harga pada 18 November 2014 terkesan reaktif dan masih mengikuti pola lama perubahan harga BBM, namun hal ini segera dikoreksi dengan mekanisme subsidi tetap untuk Solar sebesar Rp1.000,00 per liter dan penghapusan subsidi untuk Premium sejak 1 Januari 2015. Perubahan ini semakin dimatangkan dalam pembahasan APBN-Perubahan 2015 dengan mengakomodasi doktrin Nawacita dalam program pembangunannya. Penurunan harga minyak dunia menambah kondusif proses reformasi subsidi BBM ini.
Pemerintah memang belum mengakomodasi sepenuhnya gagasan penulis dan memilih proses penyesuaian harga dua pekanan pada awalnya dan kembali merevisi menjadi makanisme penyesuaian harga secara bulanan sejak Februari 2015. Namun demikian, hal ini merupakan hal-hal teknis yang bisa saja disesuaikan. Yang jelas reformasi subsidi BBM ini telah menggeser peran pemerintah dari menanggung sebagian beban harga BBM (subsidi harga) menjadi buffer risiko fluktuasi harga dan penjamin ketersediaan dan distribusi BBM melalui Pertamina. Yang utama, reformasi subsidi BBM ini telah mengakhiri hilangnya oportunitas belanja APBN untuk subsidi yang salah sasaran selama ini, melakukan koreksi dan menciptakan ruang fiskal yang memadai untuk belanja produktif dalam pencapaian tujuan pembangunan. Untuk ini kita semua berhak mengawasi proses implementasinya.# (HidA)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.