Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Target penerimaan perpajakan dalam APBN semakin besar. Pada tahun 2011, target penerimaan perpajakan dalam APBNP sebesar Rp878,7 T dan meningkat menjadi Rp1.489,3 T pada tahun 2015. Kontribusi target penerimaan perpajakan dalam APBN juga meningkat, yaitu dari 75,4 persen dalam APBNP 2011 menjadi 84,7 persen dalam APBNP 2015. Target penerimaan perpajakan yang besar tersebut terutama berasal dari pajak penghasilan. Pajak penghasilan dalam periode tahun 2011 s.d. 2015 ditargetkan rata-rata sebesar 47,6 persen.
Meningkatnya target pajak penghasilan dalam beberapa tahun terakhir tidak diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan realisasi pajak penghasilan. Pertumbuhan realisasi pajak penghasilan dalam beberapa tahun terakhir mengalami perlambatan. Pada tahun 2011, realisasi pajak penghasilan dapat tumbuh 20,8 persen, namun pada tahun 2013 hanya tumbuh 9,0 persen, dan pada tahun 2014 tumbuh 7,9 persen. Turunnya pertumbuhan realisasi pajak penghasilan tersebut menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target penerimaan perpajakan dalam beberapa tahun terakhir.
Menurunnya tingkat pertumbuhan realiasi pajak penghasilan dalam beberapa tahun terakhir dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi, terutama melambatnya ekspor. Pajak penghasilan di Indonesia terutama masih disumbang dari wajib pajak besar, yaitu berasal dari perusahaan-perusahaan besar. Kinerja perusahaan-perusahaan besar tersebut terutama dipengaruhi oleh kondisi ekonomi baik dalam maupun luar negeri. Ekspor yang menurun ditambah lagi dengan turunnya harga komoditas di luar negeri mempengaruhi turunnya kinerja perusahaan-perusahaan besar. Hal ini berpengaruh terhadap pajak penghasilan yang dibayar oleh wajib pajak besar tersebut.
Di tengah menurunnya pertumbuhan pajak dari wajib pajak besar tersebut mendorong Pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan, yaitu dengan menggali potensi pajak selain wajib pajak besar. Salah satu upaya penggalian potensi pajak yang bisa dilakukan adalah dengan menggali potensi pajak penghasilan dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Potensi pajak penghasilan dari UMKM cukup besar mengingat kontribusi UMKM dalam PDB Indonesia cukup besar. Kontribusi UMKM dalam PDB rata-rata 54,9 persen dalam periode tahun 2011 s.d. 2014.
Dengan melihat besarnya kontribusi UMKM dalam PDB tersebut, maka perlu dilakukan kajian untuk menghitung potensi pajak penghasilan dari UMKM dan menentukan sektor mana yang menjadi prioritas dalam penggalian potensi pajak penghasilan dari UMKM. Pada tahun 2015, Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal telah melakukan kajian tersebut. Potensi pajak penghasilan dari UMKM dihitung untuk tahun 2013 dan 2014 dengan menggunakan peraturan perpajakan yang berlaku. Salah satu peraturan perpajakan yang menjadi dasar penghitungan potensi pajak penghasilan adalah Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013 (PP 46) , yaitu untuk omzet sampai dengan Rp4,8 miliar.
Kajian tersebut menghitung potensi pajak penghasilan dari UMKM menggunakan definisi UMKM dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2008. Berdasarkan undang-undang tersebut, UMKM yang dihitung potensi pajak penghasilannya adalah UMKM sampai dengan omzet Rp50 miliar. Potensi pajak penghasilan dihitung secara nasional untuk masing-masing kategori usaha dan sektor. Data yang digunakan dan diolah berasal dari Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Pusat Statistik.
Dari hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa potensi pajak penghasilan terbesar berasal dari usaha mikro dan usaha menengah yang berbentuk Badan dengan omzet Rp4,8 s.d. 50 miliar. Secara sektoral potensi pajak penghasilan dari UMKM terbesar berasal dari sektor industri pengolahan, sektor pertanian, dan sektor perdagangan. Tax coverage ratio dari UMKM relatif masih kecil. Secara sektoral, meskipun tax coverage ratio untuk semua sektor masih kecil, namun untuk sektor perdagangan relatif lebih baik dibandingkan sektor lainnya.
Berdasarkan hasil perhitungan, sektor UMKM yang dapat menjadi sektor prioritas dalam penggalian potensi pajak penghasilan adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Kedua sektor tersebut memiliki potensi pajak penghasilan yang paling besar dibandingkan sektor lainnya. Sektor pertanian, meskipun memiliki potensi pajak penghasilan yang besar, namun jumlah pelaku usaha di sektor tersebut besar sehingga potensi pajak penghasilan per pelaku usaha tidak besar.
Dalam pelaksanaan PP 46, diperoleh informasi dari beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dari beberapa daerah bahwa PP tersebut relatif memudahkan wajib pajak UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Berdasarkan PP tersebut, wajib pajak UMKM dengan omzet sampai dengan Rp4,8 miliar cukup melaporkan besarnya omzet dan membayar sebesar 1 persen dari omzet yang dilaporkan. Namun, dalam pelaksanaannya KPP cukup sulit untuk menguji omzet yang dilaporkan oleh wajib pajak UMKM. Oleh karena itu, ke depannya perlu adanya aturan atau sistem perpajakan tambahan yang dapat memudahkan KPP untuk menguji kebenaran omzet yang dilaporkan wajib pajak UMKM.
Tarif tunggal dalam PP 46 merupakan suatu kesederhanaan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, namun hal ini terdapat kelemahan. Tarif tunggal tersebut lebih menguntungkan bagi wajib pajak di sektor yang memiliki tingkat laba yang tinggi, karena besarnya pajak penghasilan dibayar berdasarkan besarnya omzet bukan berdasarkan laba, dan sebaliknya. Disamping itu, apabila wajib pajak UMKM dapat membayar pajak lebih rendah dengan tarif tunggal tersebut, maka hal ini dapat mengurangi potensi penerimaan pajak penghasilan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, perlu dikaji kemungkinan adanya tarif pajak yang berbeda tiap sektor. Besarnya tarif pajak penghasilan untuk masing-masing sektor mempertimbangkan tingkat laba masing-masing sektor.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.