Penulis: Pusat Kebijakan Sektor Keuangan
Dalam rangka mendorong percepatan pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia berikut kontribusinya terhadap perekonomian nasional, pemerintah dan otoritas moneter telah memperkuat landasasan hukum operasional dan pengawasannya. Pada tahun 2002, Bank Indonesia menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” yang antara lain memuat sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk mencapai sasaran pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan. Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Sedangkan dalam jangka panjang, diharapkan bisa terwujud sistem perbankan syariah yang modern. Keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kehadiran UU semakin memperkuat landasan hukum bank syariah untuk beroperasi dan mengembangkan pangsa pasarnya.
Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa industri keuangan syariah Indonesia harus terus dikembangkan. Pertama, dari sisi financial inclusion, Indonesia harus meningkatkan penyediaan layanan (access) perbankan untuk masyarakat yang tidak menggunakan jasa keuangan konvensional.Kedua, dari sisi financial deepening, Indonesia harus meningkatkan peran jasa keuangan untuk melayani ekonomi dengan memperkenalkan lebih banyak pilihan instrumen keuangan yang unik. Alasan ketiga, dari sisi capital flows, bank syariah merupakan instrumen untuk memfasilitasi aliran modal, terutama bagi mereka yang memiliki preferensi khusus pada keuangan syariah. (Muliaman Hadad, 2015). Sementara dari perspektif makro ekonomi, semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah, selain akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat, juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Beberapa hasil penelitian pada Tahun 2008-2009 menunjukan bahwa bank syariah memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibanding dengan bank konvensional dalam menghadapi krisis keuangan global (Bambang P.S. Brodjonegoro, 2015).
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia belum meningkat secara signifikan. Pada Tahun 2009, jumlah Bank Umum Syariah (BUS) sebanyak 6 bank dengan 711 jumlah kantor. Sementara pada Tahun 2015 bertambah 12 bank dengan jumlah kantor sebanyak 2.121 buah. Jumlah UUS malah berkurang dari 25 unit menjadi 22 unit pada periode yang sama. Begitu juga Bank Pembiyaan Rakyat Syariah (BPRS) hanya meningkat dari menjadi 162 bank dengan 440 kantor. Dalam konteks industri keuangan syariah di di dunia, Indonesia menduduki peringkat kelima setelah Iran, Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, naik dua peringkat dari 2012 (Global Islamic Finance Report (GIFR), 2013). Akan tetapi dilihat dari besaran market share perbankan syariah, Indonesia berada di peringkat kedua ASEAN (5 persen) setelah Malaysia (18 persen). Walaupun pertumbuhan industri perbankan syariah sepanjang tiga tahun terakhir rata-rata mencapai sekitar 36 persen, akan tetapi market share-nya masih di bawah 5 persen dari total aset bank secara nasional. Jumlah nasabah bank syariah juga masih sedikit, yaitu di bawah 20 juta orang. Data ini memberikan gambaran bahwa perbankan syariah memiliki potensi untuk tumbuh.
Belakangan muncul gagasan merger bank-bank syariah berplat merah (BUMN), yang rencananya akan dipercepat pelaksanaannya pada tahun 2015 (Ahmad Buchory, 2015). Saat ini, terdapat 3 bank syariah dan 1 unit usaha syariah yang berstatus BUMN, masing-masing PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah, PT BRI Syariah, dan unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN). Pembicaraan awal rencana ini sudah dimulai dan di-lead oleh Kementerian BUMN. Merger akan membuat bank syariah menjadi besar dan memberikan sumbangsih ke perekonomian nasional. Alasan utama merger bank BUMN syariah ialah Indonesia belum memiliki bank syariah yang memiliki aset dan kemampuan pembiayaan yang besar, padahal Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (Rini Soemarno, 2015).
Pertanyaannya, apakah hasil merger bank syariah memberikan nilai tambah yang lebih tinggi? Mengingat pengalaman kesuksesan dan kegagalan merger di Negara lain, maka, pemerintah harus melakukan kajian yang konprehensif dan mendalam agar dapat memilih opsi yang terbaik dalam melakukan merger bank-bank (BUMN) syariah di Indonesia. OJK membutuhkan rekomendasi dari pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN untuk menindaklanjuti gagasan merger bank-bank syariah tersebut.
Kajian ini bertujuan untuk (1) mengkaji opsi kebijakan penggabungan bank-bank syariah milik bank-bank BUMN menjadi satu BUMN tersendiri dengan pola merger ataupola konsolidasi; (2) memberikan rekomendasi opsi penggabungan sebagai masukan untuk formulasi kebijakan pemerintah; dan (3) mengestimasi besaran Penyertaan Modal Negara (PMN) pada bank hasil penggabungan (BUMN) untuk memenuhi kategori BUKU III (target modal inti Rp5 triliun - Rp 30 triliun) atau BUKU IV (target modal inti > Rp 30 triliun), dan pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas (>50%).
Untuk menentukan pilihan merger atau konsolidasi, dalam kajian ini digunakan metode analisis kuantitatif-deskriptif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah added value (sinergy value) seperti valuation method, menggunakan beberapa indicator sebagai berikut: (1) Business analysis; (2) Financial analysis; dan (3) Risk analysis; (4) Economic analysis; dan (5) Legal analysis.
Kajian ini menganalisis enam opsi, yaitu (1) pola kuasi merger dan akuisisi. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan bank syariah terlebih dahulu, misalnya Bank Syariah Indonesia (BSI). Selanjutnya tiga bank syariah yang menjadi target penggabungan (Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah) digabungkan dan pada tahap akhir melakukan akuisisi terhadap unit usaha syariah (UUS) BTN; (2) pola konsolidasi dan akuisisi. Langkahnya adalah tiga bank syariah target penggabungan dikonsolidasi dengan nama baru dan kemudian dilanjutkan dengan mengakuisisi UUS BTN.; (3) pola merger dan akuisisi. Langkah pertama adalah menggabungkan (merger) tiga bank syariah dan kemudian dilanjutkan dengan mengakuisisi UUS BTN dan selanjutnya mengganti nama bank dengan nama baru, misalnya Bank Syariah Indonesia; (4) mengkonversi BTN menjadi bank syariah dan kemudian digabungkan dengan tiga bank syariah lainnya; (5) matured Merger (Two Step Merger). Langkahnya adalah Bank-bank induk (Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN) mendorong akselerasi pertumbuhan bank-bank syariah anak perusahaan (Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah , BRI Syariah, UUS BTN). Selanjutnya, dilakukan penggabungan dengan pola merger; dan (6) UUS BTN tidak ikut dalam penggabungan bank syariah, hanya tiga bank syariah yang digabungkan baik dengan cara merger maupun dengan cara konsolidasi.
Kajian ini menyimpulkan adalah (1) Penggabungan bank-bank syariah dapat dilakukan dengan lebih mudah pada bank-bank syariah yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pemerintah dan berbentuk entitas, yaitu Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah. Posisi Pemerintah sebagai pemegang saham utama pada bank-bank induk ketiga bank syariah tersebut membuat proses penggabungan dapat dilakukan dengan lebih mudah; (2) Agar dapat berkompetisi dengan wajar dan tumbuh dengan baik, perlu dibentuk bank syariah yang besar, masuk dalam BUKU 3 atau BUKU 4, sehingga skala ekonomi (economies of scale) dapat tercapai, pelayanan dapat ditingkatkan, dan yang paling penting kebijakan bank syariah harus bebas atau independen dan mandiri, serta tidak dalam bayang-bayang bank induk konvensional. Dengan konstrain PMN, penggabungan Bank Syariah dilakukan dengan target masuk kategori BUKU 3; dan (3) Pola merger atau konsolidasi memiliki efek yang tidak signifikan berbeda terhadap sisi ekonomi, strategi, keuangan, risiko dan lainnya. Efek yang cukup signifikan atas pilihan skema merger atau konsolidasi diperkirakan pada sisi legalitas dan benturan kepentingan antar sumber daya manunsi (SDM) yang berasal dari atau berlatar belakang berbeda.
Rekomendasi kajian ini adalah sebagai berikut (1) Pembentukan bank syariah baru misalnya Bank Syariah Indonesia dengan konsekuensi perlu modal Negara. Mengingat untuk mencapai target buku IV membutuhkan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang cukup besar (Rp22,1 triliun), maka tahap pertama mencapai target buku III, dimana modal negara yang perlu ditambahkan hanya sebesar Rp8,93 triliun; (2) opsi penggabungan bank syariah yang dipilih adalah melakukan merger keempat bank syariah, termasuk bank syariah baru, dengan ketiga bank syariah target. Bank syariah baru diposisikan sebagai bank champion. Sedangkan ketiga bank lainnya dibubarkan. Penyertaan modal bank-bank induk konvesional tetap dipertahankan, hanya tidak pada posisi sebagai pemegang saham pengendali.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.