Penulis: Dr. Kindy R. Syahrir, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahaan Iklim dan Multilateral
Kesepakatan penurunan emisi global, yang dikenal sebagai Perjanjian Paris 2015 hasil Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim 2015 tanggal 29 November - 13 Desember 2015, di Paris, Perancis., merupakan kompromi yang luar biasa setelah bertahun-tahun perundingan gagal mencapai kesepakatan kunci termasuk di antaranya. Perjanjian Paris akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap mekanisme dan cara-cara bagaimana pembangunan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, harus dilaksanakan dengan rendah emisi untuk mencapai zero emission di tahun 2050. Sebagai negara berpenghasilan menengah, Indonesia akan sulit mendapatkan bantuan pendanaan berupa hibah sehingga perlu dikembangkan alternatif instrumen pendanaan untuk membiayai kegiatan perubahan iklim, seperti obligasi hijau (green bonds). Perlu adanya suatu institusi koordinasi operasional antar Kementerian/Lembaga terkait kebutuhan, program, dan rencana nasional yang menjadi prioritas untuk mendapatkan pendanaan, baik dari APBN maupun bantuan internasional. Terdapatnya kendala sinergi antara upaya memobilisasi keuangan publik dan swasta untuk mendanai aksi iklim global memerlukan instrumen pasar keuangan yang lebih dapat dipastikan pengembangannya seperti misalnya obligasi hijau (green bonds) berbasis REDD+ untuk mendanai likuiditas aksi iklim, terutama di developing dan emerging markets.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.