Penulis: Dr. Kindy R. Syahrir dan Dr. Doddy Sukardi, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Kesepakatan penurunan emisi global, yang dikenal sebagai Perjanjian Paris 2015, merupakan kompromi yang luar biasa setelah bertahun-tahun perundingan gagal mencapai kesepakatan pada beberapa kesempatan kunci. Perjanjian tersebut akan membantu menentukan lanskap energi untuk sisa abad ke-21 dan memberi sinyal ke pasar tentang awal dari akhir lebih dari seratus lima puluh tahun ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk pertumbuhan ekonomi.Teks Perjanjian Paris 2015 mencakup ketentuan mengatasi semua poin kunci tujuan jangka panjang global untuk mengurangi emisi karbon, ketentuan menjelaskan bagaimana negaranegara berkembang akan menerima pembiayaan US$ 100 miliar per tahun mulai tahun 2020 untuk usaha mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, dan sistem transparansi untuk memastikan bahwa negara-negara memenuhi janji mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di antara tujuan-tujuan kunci. Perjanjian tersebut juga mensyaratkan semua negara peserta untuk menilai upaya mereka untuk mengurangi emisi karbon setiap lima tahun dan memperluas upaya mereka secara sukarela. Tanggung jawab negara maju dibedakan dari negara-negara berkembang, sebagaimana tuntutan utama dari negara-negara berkembang besar seperti India dan China yang khawatir perjanjian mungkin memperlambat pertumbuhan ekonomi mereka.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.