Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk memberikan subsidi pupuk sebagai salah satu faktor input untuk produksi pangan. Kebijakan tersebut diimplementasikan melalui tata kelola administrasi negara dan korporasi, yaitu melalui penugasan kepada BUMN sebagai pelaksana subsidi pupuk. Dengan demikian, subsidi pupuk diberikan secara tidak langsung, berupa belanja subsidi dalam APBN yang dibayarkan sebagai kompensasi kepada BUMN pelaksana subsidi pupuk atas penyelenggaraan pengadaan dan penyaluran pupuk sehingga harga jual pupuk terjangkau pada titik serah di tingkat pengecer kepada petani dan peternak yang menjadi target subsidi.
Penetapan besaran subsidi pupuk sebagai kompensasi atas penugasan BUMN pelaksana subsidi pupuk tersebut telah ditetapkan melalui PMK 209/2013 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Pupuk dan Permentan 1/2012 tentang Komponen HPP Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Meskipun telah disusun cukup rinci, pelaksanaan kebijakan ini dinilai masih menimbulkan permasalahan yang perlu dibenahi lebih lanjut, yaitu: (i) masih adanya perbedaan interpretasi atas biaya mana saja yang bisa diperhitungkan sebagai bagian dari beban yang dapat dikompensasi; (ii) besaran anggaran subsidi pupuk terus meningkat setiap tahun; dan (iii) belum adanya aturan yang jelas dan tegas tentang besaran margin yang wajar bagi BUMN pelaksana subsidi pupuk.
Permasalahan tersebut di atas menjadi latar belakang dilakukannya kajian ini. Kajian analisis struktur biaya pupuk bersubsidi bertujuan untuk mengidentifikasi kewajaran komponen biaya yang dapat diperhitungkan sebagai biaya pokok subsidi pupuk. Hal ini terkait dengan pernyataan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggunjawaban Bagian Subsidi Anggaran 999.07 Subsidi TA 2013 yang menyebutkan bahwa Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) belum mengatur secara jelas mengenai komponen biaya yang diperhitungkan sebagai harga pokok untuk kegiatan subsidi. Tujuan yang kedua dari kajian ini adalah mengidentifikasi strategi pengendalian biaya yang dapat dilakukan oleh produsen pupuk dalam rangka efisiensi dan efektivitas pengalokasian subsidi pupuk. Hal ini perlu dilakukan mengingat anggaran subsidi pupuk yang semakin membesar setiap tahunnya dengan mekanisme kompensasi yang berdasarkan cost plus margin.
Analisis yang dilakukan dalam kajian ini mengadaptasi metodologi Institutional Analysis Development (IAD) yang digagas oleh Ostrom dan Gardner (1994). Metodologi ini biasa digunakan untuk menganalisis kebijakan yang akan atau sudah dilakukan. Untuk itu, instrumen in depth interview kepada para pemangku kepentingan dalam rantai distribusi pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dibuat berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terdapat dalam metodologi tersebut. Selanjutnya, dilakukan kunjungan dan interview - berdasarkan instrumen yang telah dibuat – kepada PIHC, sebagai pelaksana subsidi pupuk; anak perusahaan sebagai produsen pupuk (PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (PSP), PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC), PT Petrokimia Gresik (PKG), dan PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT)), produsen pupuk swasta, distributor pupuk, dan pengecer. Selain itu, untuk melengkapi data yang tidak bisa didapatkan melalui kunjungan dan interview, dilakukan juga serangkaian Focus Group Discussion (FGD) dengan para pemangku kepentingan seperti Dirjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian, Deputi Bidang Usaha Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, PIHC, PIM, PSP, PKC, PKG, PKT, Pokja Pupuk, akademisi, BPK dan internal Kementerian Keuangan (Dirjen Anggaran, Dirjen Perbendaharaan, dan Dirjen Kekayaan Negara).
Hasil kajian penyempurnaan kebijakan terkait dengan struktur biaya pupuk bersubsidi sebagai berikut:
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.