Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Salah satu sumber PNBP adalah Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), pendapatan BLU memperlihatkan tren peningkatan yang signifikan, selama 7 tahun terakhir mampu meningkat sampai sekitar 10 kali lipat pada tahun 2014. Pada tahun 2007 pendapatan BLU adalah sebesar Rp2,1 triliun, dan mampu mencatat sebesar Rp29,7 triliun pada tahun 2014. Peningkatan BLU ini mengindikasikan adanya potensi yang signifikan dari pengelolaan BLU.
Namun demikian, pada dasarnya pembentukan BLU bukan mengutamakan sebagai sumber penerimaan negara. Pembentukan BLU lebih ditujukan untuk memberikan ruang bagi Kementerian/Lembaga (K/L) yang memiliki tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat mengaplikasikan pola keuangan yang fleksibel dan mengutamakan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Layanan K/L yang diberikan kepada masyarakat tersebut adalah layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, pengelola dana khusus, dan pengelola barang jasa lainnya. Dengan BLU, pemberian layanan akan menerapkan pola bisnis (business like) sehingga pemberian layanan kepada masyarakat dapat lebih efisien dan efektif. Dengan fleksibiltas dalam pengelolaan keuangan, BLU seakan-akan menjadi pilihan favorit bagi K/L dalam mengelola kegiatan pelayanan. Hingga tahun 2015, jumlah satuan kerja yang berbentuk BLU tercatat sebanyak 150.
Kajian tentang BLU yang telah dilakukan lebih mengarahkan pada kegiatan bisnis dari beberapa BLU. Bagaimana mencapai suatu efisiensi dalam pengelolaan BLU merupakan topik yang sering dikaji. Untuk itu, kajian ini akan mengulas perspektif kaitannya pengeloaan BLU dengan postur APBN. Kajian ini juga akan mereview filosofi awal dari pembentukan BLU dalam tatanan keuangan negara disamping juga memberikan deskripsi BLU terkait dengan perkembangan dan peranan dalam pembangunan. Syarat perubahan satker PNBP menjadi BLU relatif cukup mudah dipenuhi, yang terlihat dari meningkatnya jumlah satker BLU secara signifikan sejak dimulai pada tahun 2006.
Pembentukan BLU di Indonesia diawali dengan perubahan paket keuangan negara yang termaktub dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengamanatkan penganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja, pada akhirnya telah menghantarkan pada pilihan untuk mewiraswastakan Pemerintah agar dapat meningkatkan layanannya. Perubahan tersebut untuk mendukung tujuan nasional Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 1945, diantaranya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjalankan tugas fungsi Pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 68 dan 69, disebutkan bahwa instansi Pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.
Namun demikian, belum semua satker BLU dapat melaksanakan pengelolaan keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berikut beberapa temuan di lapangan terkait penerapan pengelolaan keuangan BLU: (i) Belum adanya tolak ukur yang jelas untuk mengukur kinerja BLU terkait peningkatan pelayanan yang diberikan; (ii) Dari 150 satker BLU yang ada saat ini, terdapat 138 satker BLU yang mempunyai PMK tarif layanan BLU, sehingga masih ada potensi temuan pungutan tanpa dasar hokum; (iii) Perubahan satker PNBP menjadi BLU perlu lebih diseleksi; serta (iv) Keberadaan pendapatan BLU yang tercatat sebagai salah satu penerimaan negara dapat menimbulkan dampak bila terjadi peningkatan. Apabila terjadi peningkatan pendapatan BLU, dimana pendapatan BLU tersebut dapat langsung digunakan, maka belanja BLU juga akan sebesar pendapatannya. Peningkatan belanja ini secara total juga meningkatkan pagu belanja, dimana ada kewajiban pemerintah mengalokasikan sebesar 20% untuk pendidikan, 5% untuk kesehatan, dan sekitar 26% untuk transfer ke daerah dari total belanja pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (i) syarat perubahan satker PNBP menjadi BLU relatif cukup mudah dipenuhi, yang terlihat dari meningkatnya jumlah satker BLU secara signifikan sejak dimulai pada tahun 2006. Di sisi pelayanan, penambahan satker BLU ini seharusnya mampu meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Namun di sisi lain, belum ada persyaratan batasan nominal pendapatan yang jelas untuk menjadi satker BLU, maka banyak satker dengan nominal PNBP rendah dapat berubah menjadi satker BLU. Syarat substantif tentang bidang layanan BLU juga menjadi bias dengan adanya kategori bidang layanan lain-lain. Selanjutnya, belum ada analisis mengenai dampak fiskal atas perubahan satker PNBP menjadi BLU tersebut, baik terhadap anggaran maupun perekonomian secara keseluruhan; (ii) belum ada standar evaluasi dan pengawasan kinerja BLU yang jelas dan tegas yang dapat digunakan sebagai standar untuk evaluasi kinerja suatu satker BLU, sehingga tidak tampak perbedaan kinerja antara sebelum dan setelah menjadi satker BLU; serta (iii) belum ada standar biaya antar satker, sehingga masing-masing satker BLU memiliki kewenangan untuk menyusun standar biaya sendiri yang menyebabkan standar biaya masukan yang digunakan oleh masing-masing BLU sangat berbeda dan bervariasi, walaupun dalam satu rumpun, misalnya pada satker perguruan tinggi negeri serta (vi) penggunaan sisa dana (saldo) BLU, adanya beberapa satker BLU yang memiliki akumulasi saldo yang cukup tinggi di rekeningnya akibat penggunaan penerimaan BLU jauh lebih rendah dari pendapatan operasional BLU. Namun demikian, saldo tersebut berada di rekening bendahara penerima satker BLU bersangkutan sehingga sesuai dengan peraturan yang berlaku memang hanya BLU terkait yang bisa menggunakan.
Saran dan perbaikan dalam pengelolaan Badan Layanan Umum berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:(i) Persyaratan perubahan/pendirian satker BLU hendaknya lebih dipertegas dengan menitikberatkan pada pelayanan umum yang bersifat kompetisi dengan pihak swasta. Selain itu, perlu disusun juga suatu persyaratan administratif yang lebih obyektif dengan misalnya memasukkan batas minimal nominal PNBP yang harus dicapai; (ii) perlu disusun suatu peraturan mengenai evaluasi dan monitoring kinerja BLU yang jelas dan tegas sehingga jika ada satker BLU yang kurang performed, maka dapat dipertimbangkan statusnya untuk diturunkan atau bahkan dicabut. Hal ini diharapkan akan memberikan dampak positif bagi satker BLU untuk terus meningkatkan kinerjanya dan sekaligus menjadi salah satu faktor yang akan dipertimbangkan oleh satker yang ingin berubah menjadi BLU; (iii) saat ini, kewenangan satker BLU untuk menetapkan standar biaya memang dimungkinkan sepanjang Peraturan Menteri Keuangan mengenai Standar Biaya belum mengaturnya, namun demikian pemerintah sebaiknya memberikan batas atas (ceiling) untuk menghindari penetapan biaya yang terlalu tinggi. Untuk kegiatan yang besaran biayanya telah diatur pada Standar Biaya, satker BLU sebaiknya mengikuti standar biaya tersebut dalam penyusunan anggarannya; serta (iv) penyempurnaan Pasal 29 PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang PKBLU dengan menambahkan kewajiban menyetorkan sejumlah persentase tertentu atas surplus BLU yang idle dalam kurun waktu tertentu. Di satu sisi, ketentuan ini tidak hanya akan mendorong BLU untuk meningkatkan pelayananannya kepada masyarakat, tetapi juga dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan defisit bagi pemerintah.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.