Penulis: Suparman Zen Kemu, Syahrir Ika, dan Mutaqin, Pusat Kebijakan Sektor Keuangan
Berdasarkan pengalaman di beberapa negara, penanganan krisis finansial seringkali kurang berhasil karena tidak memiliki payung hukum yang kuat. Belum adanya regulasi yang memadai untuk menjadi acuan bagi pemerintah atau otoritas di sektor keuangan dalam mengambil langkah-langkah penanganan krisis, membuat Indonesia mengalami kekosongan hukum dalam mengelola krisis keuangan bila terjadi krisis hari ini.
Suatu negara harusnya memiliki undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) atau Finansial Safety Net (FSN) yang memberikan kewenangan kepada suatu komite khusus, yaitu Komite Stabilitasi Sektor Keuangan (KSSK). Komite ini beranggotakan pimpinan-pimpinan otoritas ekonomi seperti Menteri Keuangan (otoritas fiskal), Gubernur Bank Sentral (otoritas moneter), dan Ketua OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Agar supaya KSSK bisa bekerja secara efektif untuk mengangani krisis finansial atau krisis ekonomi, maka undang-undang JPSK harus mengatur tata kelolanya (governance). Saat ini RUU JPSK sedang dibahas antara Kementerian Keuangan, BI, OJK, LPS dengan Panja DPR. Aspek tata kelola (governance) yang perlu diatur dalam UU JPSK adalah kewenangan setiap lembaga otoritas pada KSSK serta kewajiban masing-masing lembaga untuk menjaga independensinya sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang masing-masing, khususnya BI dan OJK. Aspek lain yang dipandang perlu diatur protokolnya dalam UU JPSK adalah organisasi KSSK itu sendiri, mekanisme pengambilan keputusannya, dan sumber pendanaan untuk pendukung kegiatan organisasi KSSK.
Kajian ini bertujuan mengkaji tata kelola Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang baik (good Finansial Safety Net Governance). Aspek-aspek yang dikaji terkait kewenangan setiap otoritas yang duduk dalam KSSK, ruang lingkup UU JPSK, organisasi dan mekanisme pengambilan keputusan KSSK, dan perlindungan hukum kepada anggota KSSK, akan menjadi fokus kajian ini. Secara lebih khusus, kajian ini akan merekomendasikan tata kelola JPSK untuk menghindari adanya conflict of interest dalam pengambilan keputusan. Undang-undang JPSK yang baik adalah undang-undang yang selain mengatur protokol penanganan krisis yang baik, tetapi juga didukung governance yang baik pula. Kredibilitas kebijakan KSSK akan ditentukan oleh kedua hal ini.
Metode kajian ini “kualitatif deskriptif” menggunakan pendekatan review literature, benchmark terhadap best practices, dan pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD). Tinjauan literatur dan benchmark terkait dengan faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi dan keuangan atau instabilitas sistem ekonomi dan keuangan di beberapa Negara. Sedangkan FGD dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari para pemangku kepentingan dan para pakar.
Adapun kesimpulan dari kajian ini adalah sbb :
Pertama, Mekanisme Pengambilan Keputusan. RUU JPSK memuat ketentuan bahwa mekanisme pengambilan keputusan dilakukan dengan musyarawarah untuk mufakat tanpa memberikan peluang kepada setiap anggota KSSK untuk dissenting opinion melalui mekanisme voting. Pratik di banyak organisasi, baik dipemerintahan maupun bisnis, sering terjadi deadlock karena banyak kepentingan yang tidak bisa diakomodir dengan mekanisme musyawarah mufakat, sehingga harus diambil keputusan secara voting. RUU tidak memberikan kewenangan lebih besar kepada Menteri Keuangan selaku ultimate burden, sehingga risiko deadlock kemungkinan besar akan sering terjadi, dan dapat memperlambat keputusan KSSK dalam penangganan krisis yang berimbas pada meningkatnya biaya penganganan krisis.
Kedua, Organisasi KSSK. Kajian ini menyimpulkan bahwa struktur organisasi KSSK saat ini kurang mendukung strategi penanganan krisis. Meskipun koordinasi antar anggota KSSK sudah berjalan, akan tetapi lebih banyak kepada urusan yang berkaitan dengan administrasi dan logistik. Belum adanya CEO yang secara full time me-lead operasional harian KSSK yang didukung dengan sumber daya yang memadai, termasuk analis dan reaseracher dari masing-masing unit anggota KSSK, menyebabkan tingkat ketergantungan sekretariat yang sangat kepada pada lembagaan keuangan anggota KSSK, terutama hasil analisis pemantauan kondisi sistem keuangan.
Ketiga, Ruang Lingkup JPSK. RUU JPSK membatasi hanya pada SIB (Sistimatically Inportant Bank). Pembatasan ruang lingkup ini terkesan kurang sejalan dengan visi atau arah JPSK, yaitu “terciptanya kondisi sistem keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan luar negeri”. Sistem keuangan yang dimaksud mestinya tidak hanya sistem perbankan, tetapi juga sistem keuangan lainnya seperti pasar modal, asuransi, dana pensiun, dll. Pembatasan cakupan ke SIB ini bisa menimbulkan masalah penanganan krisis, bila risiko yang terjadi justru bersumber dari bank-bank yang bukan SIB dan lembaga keuangan nonbank. Pembatasan cakupan ini menggambarkan bahwa UU JPSK hanya mengatur strategi penanganan krisis secara parsial, sehingga bila terjadi krisis yang disebabkan oleh bank-bank yang bukan SIB dan lembaga keuangan nonbank, maka pemerintah akan kembali mengeluarkan Perpu sebagaimana yang terjadi pada krisis Bank Century. Sejarah menunjukan bahwa krisis diawali dengan memburuknya bank non-SIB sebagaimana terjadi pada penutunan 30 bank tanggal 31 Okrtober 1997 dan Bank Century pada tahun 2008.
Keempat, Kedudukan LPS dalam KSSK. Kajian ini menyimpulkan bahwa belum ada kriteria atau ketentuan yang jelas mengenai keberadaan LPS sebagai anggota KSSK dan memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan, mengingat LPS bukan merupakan lembaga otoritas, baik fiskal maupun moneter. Tugas LPS sesuai undang-undang tidak secara eksplisit mengatakan LPS wajib duduk sebagai anggota KSSK, kecuali menyebut bahwa LPS “turut aktif” dalam memelihara stabilitas sistem berbankan dengan melakukan penyelesaian dan panangan bank gagal (Pasal 3 UU LPS). Selain itu, dalam hal bank gagal dinyatakan berdampak sistemik oleh KSSK, maka LPS melakukan penanganan setelah menerima penyerahannya dari KSSK. Dengan memeperhatikan dua tugas ini, maka sebenarnya keberadaan LPS di KSSK hanya membantu mempelancar penanganan krisis.
Berdasarkan kesimpulan di atas, kajian ini merekomendasikan beberapa hal sbb : Pertama, ruang lingkup UU JPSK seharusnya bersifat kopmprehensif, tidak terbatas hanya pada penanganan SIB (systemically important bank), tetapi juga mencakup sistem keuangan lainnya seperti pasar modal, asuransi, dana pensiun, dll, sehingga mendukung visi JPSK, yaitu “terciptanya kondisi sistem keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang brsumber dari dalam dan luar negeri”. Kedua, terkait dengan mekanisme pengambilan keputusan, diutamakan dengan cara musyawarah untuk mufakat, akan tetapi perlu dibuka ruang adanya mekanisme voting bila ada anggota KSSK ingin mengambil posisi dissenting opinion. Ketiga, Bila mekanisme voting tidak dimungkinkan, maka UU JPSK harus memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Menteri Keangan sebagai ultimate burden, semacam memiliki hek veto, yang bisa memutuskan apakah suatu lembaga keuangan bisa di bail-out atau tidak. Keempat, tata kelola KSSK perlu diperkuat. UU JPSK perlu memberikan kewenangan kepada KSSK untuk dapat mengangkat seorang CEO yang secara full-time me-lead jalannya kegiatan KSSK sehari-hari. CEO ini juga berperan memimpin sekretariat KSSK sehingga tidak timbul overlapping tugas antara tugas-tugas otoritas dan tugas-tugas KSSK yang merangkap jabatan di KSSK. Kelima, mengingat kedudukan LPS dalam KSSK mengandung potensi konflik (karena bukan LPS bukan regulator moneter dan regulator fiskal), maka demi terciptanya governance KKSK, LPS tidak memiliki hak suara (voting right) dalam pengambilan keputusan KSSK.
File Terkait:
Kajian Kritis Dalam Kerangka RUU JPSK (1,000 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.