Penulis: Tri Wibowo, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Kinerja ekonomi Indonesia selama kurun waktu 2004–2013 cukup menggembirakan. Strategi pembangunan pro-growth, pro-job, dan pro-poor telah menunjukkan hasil yang positif. Hasil tersebut ditandai dengan pertumbuhan yang stabil dan relatif tinggi dibanding negara kawasan, disertai turunnya tingkat pengangguran serta tingkat kemiskinan yang semakin menurun dari waktu ke waktu. Selama kurun waktu tersebut rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,8%. Sementara itu, pada periode yang sama negara tetangga Malaysia hanya mampu tumbuh 5,0% dan Thailand sebesar 3,9%. Pada saat krisis finansial tahun 2009 melanda, perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh positif 4,7%. Sedangkan Malaysia dan Thailand mengalami pertumbuhan minus sebesar -1,5% dan -0,9%. Indikasi tersebut menunjukkan perekonomian Indonesia lebih tahan menghadapi adanya shock dibanding negara tetangga. Permintaan domestik dengan dukungan masyarakat kelas menengah yang sedang tumbuh merupakan faktor fundamental yang menyelamatkan perekonomian Indonesia dari krisis. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif stabil tersebut merupakan modal dasar menuju kelompok negara maju.
Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi dan stabil, banyak kalangan yang meragukan Indonesia—yang saat ini masuk dalam kelompok negara middle income—mampu masuk dalam kelompok negara high income. Banyak negara yang sukses beralih dari kelompok lower income menuju middle income. Namun, setelah masuk ke dalam kelompok negara middle income, mereka tidak mampu lagi pindah ke dalam kelompok negara high income atau dikenal dengan istilah middle-income trap. Keraguan ini bukan tanpa dasar. Indonesia pada tahun 1993 telah mampu beralih status dari kelompok low income ke kelompok middle income.
Akibat krisis tahun 1998, Indonesia kembali masuk ke kelompok low income. Memerlukan waktu 5 tahun untuk kembali masuk dalam kelompok middle income lagi. Tulisan ini mengulas bagaimana proses perjalanan beberapa negara dalam bertransformasi menjadi negara maju. Apakah Indonesia mampu lolos dan keluar dari kelompok negara middle income? Untuk menjawab menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Namun demikian, paparan pengalaman-pengalaman negara lain dalam proses menjadi negara maju, kondisi perekonomian Indonesia, dan prognosis perekonomian ke depan dapat dijadikan sinyal apakah Indonesia mampu lolos dari middle-income trap.
Berdasarkan hasil analisis, proses suatu negara menuju negara high income adalah suatu proses perencanaan jangka panjang dengan sasaran yang terukur. Korea Selatan sebagai negara yang sukses masuk dalam kelompok high income mulai merencanakan pembanguan pada tahun 1960 dengan arah yang jelas. Sektor industri didorong berorientasi ekspor berteknologi tinggi dengan harmonisasi sektor pendidikan, R&D, pemberian insentif, serta sektor tenaga kerja.
Indonesia mempunyai potensi besar untuk tidak terperangkap dalam middle income. Sumber daya manusia Indonesia yang sedang berada dalam bonus demografi merupakan modal utama Indonesia untuk tumbuh pesat. Namun demikian, harmonisasi antara sektor industri, sektor pendidikan, dan sektor tenaga kerja masih perlu ditingkatkan. Dominasi sektor tenaga kerja Indonesia yang hanya lulusan SMA dengan skill rendah serta upah yang murah merupakan kendala untuk menuju produktivitas yang tinggi. Kebijakan sektor tenaga kerja perlu diarahkan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.
Banyaknya negara yang terperangkap dalam middle income memberikan bukti bahwa upaya untuk menjadi negara high income bukan suatu yang mudah. Seyogianya kebijakan lebih diarahkan pada Lower Middle Income Trap untuk menuju ke dalam kelompok negara upper middle income. Peningkatan pendapatan secara bertahap menuju kelompok negara upper middle income akan menjadi lebih realistis. Diprakirakan pada tahun 2025, yang hanya tinggal satu dasawarsa lagi, Indonesia sudah lepas dari lower middle income dan beralih status masuk ke dalam kelompok upper middle income.
Dengan sasaran jangka menengah, tahapan-tahapan kebijakan lebih dapat ukur sesuai dengan kapasitas optimal pertumbuhan, yang didukung SDM yang memadai. Keselarasan peningkatan pertumbuhan sektoral perlu diimbangi dengan dukungan kebijakan sektor pendukungnya agar pertumbuhan menjadi kokoh dan berkesinambungan. Upaya menggenjot pertumbuhan tanpa disertai peningkatan keterampilan tenaga kerja akan semakin memperlebar ketimpangan, yang pada akhirnya akan menggerus pertumbuhan itu sendiri.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.