Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) merupakan salah satu bentuk kebijakan dalam rangka penguatan local taxing power sebagai upaya peningkatan pendapatan daerah, yang dilaksanakan sejak tahun 2011 hingga 2014 sesuai UU No.28/2009. Pengalihan PBB P2 tersebut sudah dilaksanakan menyeluruh, sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui efektivitas dalam mencapai tujuan peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat. Namun, PBB P2 bersifat urban bias; hanya menguntungkan daerah berbasis perkotaan, yang berakibat pada peningkatan ketimpangan penerimaan antardaerah. Oleh karena itu, daerah yang berbasis sumber daya alam perlu juga ditingkatkan penguatan pajak daerahnya melalui pengalihan PBB Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P3) bagian permukaan, sehingga dapat mengurangi ketimpangan penerimaan antardaerah.
Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan pengalihan PBB P2 dan mengidentifikasi permasalahan yang masih dihadapi pemerintah daerah dalam pelaksanaannya, serta mengidentifikasi lesson learnt dari pengalihan PBB P2 sebagai penyiapan antisipasi kebijakan pengalihan PBB P3 bagian permukaan ke pemerintah daerah. Adapun beberapa pertanyaan penelitian yang ingin dijawab yaitu : 1) evaluasi pengalihan PBB P2, yang meliputi respon pemda atas pengalihan PBB P2, kebijakan tarif dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), administrasi pemungutan PBB P2 dan upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat, dan efektivitas pengalihan PBB P2 dalam meningkatkan penerimaan daerah, serta permasalahan yang masih dihadapi pemerintah daerah; 2) Lesson Learnt untuk pengalihan PBB P3 bagian permukaan terkait distribusi, dampak, dan potensi permasalahan/kendala yang mungkin dihadapi, dan desain pengalihan.
Dari analisis kajian diperoleh kesimpulan bahwa pengalihan PBB P2 telah efektif dalam penguatan local taxing power pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan penerimaan daerah secara nasional dibandingkan periode sebelum pengalihan (Rp10,67 triliun tahun 2014), jumlah pemda yang mengalami peningkatan lebih banyak dibanding pemda yang mengalami penurunan penerimaan PBB P2 periode sebelum dan setelah pengalihan, respon pemda cukup tinggi ditandai penerbitan perda PBB P2 mencapai 475 pemda (96,5%), penerapan kebijakan tarif dan NJOPTKP sesuai dengan kepentingan pemda dan masih dalam aturan UU. Selain itu, pemda juga telah melaksanakan administrasi pengelolaan PBB P2 dengan baik, mulai dari sisi pendataan, penilaian, penyediaan tempat pembayaran/layanan informasi bahkan telah dilakukan upaya peningkatan pelayanan antara lain melalui penyediaan sistem pembayaran online, kas keliling dan call center serta sosialisasi/publikasi yang intensif. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pemda masih mengalami kendala yaitu tidak akuratnya data yang ada/validitas database, data piutang yang tidak sesuai antara yang tercantum dalam dokumen dengan yang tercatat dalam sistem
komputer, dan keterbatasan jumlah dan kualitas SDM untuk tenaga penilaian, dan penyitaan.
Dari pengalihan PBB P2 tersebut dapat diambil pelajaran sebelum dilakukan pengalihan PBB P3 bagian permukaan, sebagai berikut : a) tingkat distribusi potensi penerimaan PBB P2 (2010) sebesar 98.37% (relatif merata ada di seluruh kab/kota) dan terkonsentrasi di Jawa (70.4%), Sumatera (14,7%), dan Bali (5,2%); b) tingkat distribusi potensi penerimaan PBB P3 bagian permukaan (2014) sebesar 75,35% dari total pemda, dan terkonsentrasi di Sumatera (55,2%), Kalimantan (26,5%), dan Jawa (10,0%); c) ketimpangan (koefisien variasi) penerimaan PBB P2 sebesar 2,512 (2003) dan 2,959 (2010), dan makin tinggi sejalan pengalihan PBB P2 (3,331 tahun 2013); d) ketimpangan penerimaan PBB P3 relatif lebih rendah dibandingkan PBB P2 yaitu sebesar 1,013 (2003) karena penerimaannya mencakup tubuh bumi/offshore yang di-DBH-kan, dan angka tersebut makin tinggi tahun 2012 (2,041) dan 2013 (2,291) karena hanya mencakup bagian permukaan saja (tidak DBH). Dengan pengalihan PBB P3 bagian permukaan, maka koefisien variasi penerimaan PBB P2 menjadi lebih rendah dan semakin rendah lagi apabila menambahkan komponen PAD dan DAU (0,563 tahun 2003 dan 0,694 tahun 2013); e) potensi kendala/permasalahan pengalihan PBB P3 yaitu problem pendataan karena obyek berada di remote area, administrasi lebih kompleks karena penilaian bersifat individu, lokasi bisnis yang berbeda dengan manajemen pusat, adanya aturan yang spesifik terkait pertambangan, perlu koordinasi dengan berbagai lembaga/kementerian di pusat, sistem informasi database belum ada. Dengan memperhatikan tujuan pengalihan PBB P3 bagian permukaan, potensi kendala, kewenangan, dan distribusi potensi penerimaan, maka pengalihan PBB P3 bagian permukaan dapat dipertimbangkan dilakukan di tingkat provinsi dengan tetap belajar dari pengalaman pengalihan PBB P2, yaitu memperhatikan : tahapan pengalihan, penyiapan SDM, regulasi yang dapat membatasi eksploitasi kewenangan pemda, serta penyelesaian data piutang.
Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian tersebut, maka dapat disampaikan rekomendasi sebagai berikut: i) kebijakan batas tarif maksimal PBB tetap perlu dilakukan dalam Undang - undang dengan tetap memberikan diskresi pemerintah daerah untuk menghindari eksploitasi kewenangan penentuan tarif secara berlebihan yang dapat mengganggu iklim investasi daerah, dan memberikan pedoman umum daerah dalam penentuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP); ii) pemda perlu melakukan updating database, pemerintah pusat perlu menyusun pedoman penyelesaian piutang PBB P2, dan perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas dan jumlah SDM dibidang PBB. Selain itu, dari pengalaman pengalihan PBB P2, maka sebelum dilakukan pengalihan PBB P3 bagian permukaan, perlu : i) mempersiapkan pengalihan yang komprehensif, terencana baik mulai dari persiapan regulasi, SDM, proses pelimpahan database, infrastruktur, dan sosialisasi pengalihan; ii) memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah mengenai tujuan pengalihan dan fungsi pajak, yang bukan hanya sebagai potensi peningkatan penerimaan daerah tetapi juga memiliki fungsi regulerent untuk menjaga lingkungan serta peningkatan investasi daerah; iii) mempertimbangkan ketidakmerataan distribusi potensi PBB P3 bagian permukaan; iv) menyusun pengaturan mengenai ketentuan pembayaran PBB berdasarkan lokasi tempat beroperasi/kegiatan usaha (perkebunan, perhutanan, dan pertambangan bagian permukaan); v) perlu mengantisipasi potensi kendala melalui perbaikan kemampuan sistem/SDM dalam pendataan, penyederhanaan administrasi pembayaran oleh wajib pajak yang berbeda lokasi antara kegiatan usaha dan manajemen pusatnya, harmonisasi peraturan khususnya di sektor pertambangan, mempermudah akses koordinasi pemda dengan kementerian/lembaga sektoral terkait, perlu menyusun database yang update; dan vi) pertimbangan pengalihan PBB P3 bagian permukaan di provinsi sebaiknya diperkuat melalui kajian yang mendalam, dan apabila hasilnya menunjukkan PBB P3 sebaiknya merupakan pajak provinsi, maka bagi hasil antara provinsi dan kabupaten penghasil tidak harus dilakukan seragam antarprovinsi namun disesuaikan dengan potensi penerimaannya.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.