Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Infrastruktur merupakan hal penting dalam menopang kehidupan manusia, bukan hanya untuk percepatan pertumbuhan ekonomi tetapi juga untuk kemudahan dan kualitas hidup manusia. Sayangnya pembangunan infrastruktur di Indonesia masih jauh tertingga di banding dengan negara-negara sejawat. Indikasinya dapat ditemukan dengan mudah bahkan dalam keseharian. Kemacetan transportasi luar biasa di kota-kota besar. Ketersediaan sumber energy listrik yang tidak memadai, baik untuk konsumsi rumah tangga atau pun industry terutama untuk wilayah-wilayah di luar Jawa. Mahalnya biaya logistik/distribusi barang antarwilayah di Indonesia. Fenomena tersebut hanya sebagian dari rentetan fakta yang mengindikasikan adanya ketertinggalan pembangunan infrastruktur.
Ada dua faktor utama penyebab ketertinggalan pembangunan infrastruktur di Indonesia, yaitu: keterbatasan sumber pembiayaan dan tata kelola (governance) penyelenggaraan pembangunan proyek infrastruktur. Rezim pemerintahan yang baru dalam kepemimpinan Jokowi-JK bertekad kuat untuk menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai target utama program pembangunannya. Konsekuensinya, dua kendala utama tersebut harus menjadi perhatian serius bagaimana untuk mengatasinya.
Indikator yang lebih terstruktur dan lebih ilmiah bahwa Indonesia mengalami ketertinggalan dalam pembangunan infrastruktur dapat dilihat di dalam pilar kedua Global Competitive Index (GCI) yang dipublikasi secara tahunan oleh World Economic Forum (WEF). Tabel-1.1 menunjukkan peringkat Indonesia di antara beberapa negara sejawat untuk pilar infastruktur. Terlihat dengan jelas bahwa pembangunan infrastruktur Indonesia sangat jauh tertinggal dari Singapore, Malaysia dan Malaysia. Sedikit di belakang China dan hanya sedikit lebih baik dari Thailand. Jika dilihat lebih detail, Indonesia hanya memiliki satu komponen yang memiliki peringkat sangat baik, yaitu ketersediaan kursi penerbangan (available airline seat). Sementara delapan indikator yang lain masih jauh tertinggal, ada di peringkat 40-an ke atas.
Kualitas infrastruktur yang tidak memadai akan mengganggu kualitas hidup rakyat dan menghambat pembangunan perekonomian. Kualitas infrastruktur yang kurang baik diantaranya merupakan penyebab utama tingginya biaya logistik distribusi barang. Tingginya logistic cost di Indonesia sudah menjadi pengetahuan umum. Publikasi Logistic Performance Index (LPI) oleh Bank Dunia tahun 2014, menempatkan Indonesia pada peringkat 53, jauh di bawah Korea (21), Malaysia (25), atau pun China (28). Publikasi lebih detail dapat dilihat di http://lpi.worldbank.org/international/global.
Tidak hanya itu, rendahnya kualitas infrasrtuktur akan berakibat pada inefisiensi dan rendahnya produktivitas suatu bangsa. Padahal para ahli berpendapat bahwa produktivitas merupakan faktor penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, dengan logika sederhana dapat dikatakan bahwa ketertinggalan pembangunan infrastruktur harus segera diatasi jika ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk mencapai Indonesia sebagai negara maju. Oleh karenanya dibutuhkan peningkatan investasi di bidang infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan.
Dengan langkah nyata yang dimulai dari keuangan negara, pemerintah mencoba memberikan sinyal yang baik bagi para investor bahwa pemerintah memiliki keseriusan yang tinggi untuk membangun infrastruktur. Selain itu pemerintah juga mengembangkan sumber-sumber alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur, yaitu melalui berbagai skema creative financing (Lihat Gambar-1.1). Dengan demikian pemerintah mengajak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta untuk secara bersama-sama mengatasi kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur yang tidak sedikit. Kemampuan pendanaan pemerintah terbatas, sementara kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur sangatlah besar.
Sumber: Presentasi Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko pada Seminar Hari Oeang, 22 Oktober 2015 di Jakarta
Banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek pembangunan infrastruktur, baik dari konsorsium pembiayaan, kontraktor, regulator, perencana, pekerja, dan masyarakat, itu laksana suatu orchestra. Oleh karenanya diperlukan seorang conductor andal, yang mampu memberikan gestur isyarat yang jelas untuk mengatur ritme dan aksi para musisi. Inilah kendala kedua yang tidak kalah pentingnya dengan kendala pembiayaan.
Pemerintah sebagai conductor telah memberikan gestur yang tegas - baik dengan alokasi belanja negara untuk infrastruktur yang meningkat drastis maupun dengan keseriusan memangkas birokrasi dan regulasi yang menghambat. Mempermudah pengadaan lahan. Dengan berbagai paket kebijakan yang dipersiapkan. Serta turun langsung mengurai bottleneck yang terjadi. Mempertemukan berbagai pihak yang bersengketa untuk benar-benar mencari titik temu penyelesaiannya. Jika ini terus berjalan, kita bisa berharap bahwa pembangunan infrastruktur akan melaju kencang mengejar ketertinggalannya.
Namun ada satu hal yang sering terlewatkan ialah bahwa di saat pemerintah mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembangunan infrastruktur, sebetulnya bagaimana selama ini efektivitas belanja infrastruktur yang didanai oleh pemerintah yang bersumber dari dana APBN. Sebagaimana terlihat dalam Gambar-1.3 bahwa belanja infrastruktur dalam APBN nilainya cukup besar dan mengalami lonjakan pada tahun 2015 dan 2016 yang akan datang. Tentu jumlah belanja yang besar akan terkonversi dalam benefit atau manfaat yang besar jika pembelanjaannya dilakukan secara berkualitas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi bagaimana efektivitas alokasi belanja infrastruktur darat, laut dan energi khususnya di Pulau Sumatera. Bagaimana tantangan, hambatan, dan implementasi kebijakan dalam pelaksanaan belanja infrastruktur yang telah dianggarkan. Kajian ini difokuskan untuk melakukan evaluasi efektivitas kebijakan belanja infrastruktur khususnya untuk infrastruktur ketenagalistrikan, jalan, dan pelabuhan di wilayah Sumatera. Wilayah Sumatera dipilih sebagai lokasi kajian dengan beberapa pertimbangan: (1) Sumatera mewakili wilayah yang menengah, tidak paling maju tetapi bukan pula wilayah yang tertinggal; (2) Sumatera merupakan wilayah yang tepat untuk melihat ketiga sektor infrastruktur saat ini (ketenagalistrikan, jalan, dan pelabuhan) mengingat adanya shortage suplai listrik di beberapa wilayah Sumatera, serta gencarnya rencana pembangunan jalan dan pelabuhan. Harapannya dengan pemilihan lokasi Sumatera dapat memberikan gambaran awal yang baik untuk kemudian diperluas ke wilayah tengah dan timur Indonesia. Hal ini mengingat keterbatasan waktu dan sumber daya dalam penelitian.
Pengumpulan data melalui wawancara yang mendalam terhadap pengambil kebijakan yang terkait pelaksanaan alokasi belanja infrastruktur di daerah terkait hambatan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan. Penggalian informasi juga dilakukan untuk pengambil kebijakan di pusat melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan Kementerian terkait. Data sekunder dikumpulkan dari sumber resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), World Economic Forum (WEF), Bappeda Propinsi, Dinas Propinsi sesuai dengan topik infrastruktur.
Lokus penelitian meliputi beberapa instansi yang menangani infrastruktur jalan, pelabuhan dan listrik di Provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Bangka Belitung.
Dari berbagai survei lapangan, dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait infrastruktur di pulau Sumatera sebagai berikut:
Usulan rekomendasi terkait infrastruktur di pulau Sumatera adalah sebagi berikut:
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.