Penulis: Abdul Aziz, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Masalah pupuk di Indonesia selalu menjadi persoalan yang menyentuh langsung pada kebutuhan dan keberlangsungan petani dalam mengelola lahan/sawahnya. Oleh karena itu, ketika pupuk langka dan harganya mahal maka petanilah yang akan menjadi korban utamanya.
Dalam rangka mengantisipasi hal itu maka sejak tahun 1969 pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk bagi petani. Kebijakan ini diharapkan dapat melindungi petani yang pada akhirnya bisa meningkatkan produktivitas dan meningkatkan taraf ekonomi para petani.
Melalui Kementrian Pertanian (Kementan), pemerintah telah mengalokasikan subsidi pupuk untuk petani. Program ini dilakukan sebaga i bagian untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional sangat diperlukan adanya dukungan penyediaan pupuk yang memenuhi prinsip 6 tepat yaitu : jenis, jumlah,harga, tempat, waktu dan mutu. Dan dalam rangka mendukung ketercukupan dalam penyediaan pupuk maka pemerintah mengalokasi subsidi pupuk tahun demi tahun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Dari tabel 1 di atas, tergambar bahwa alokasi dana subsidi pupuk menunjukkan angka yang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Pupuk Bersubsidi dan Mekanisme Pendistribusiannya
Menurut SK Memperindag nomor 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003 bahwa yang di maksud dengan pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari Pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program Pemerintah. Sedangkan pupuk non subsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya di luar program Pemerintah dan tidak mendapat subsidi.
Jenis subsidi pupuk yang dijalankan selama ini adalah subsidi harga/subsidi tidak langsung di mana alokasi pupuk subsidi yang telah diusulkan oleh pemda dan ditetapkan oleh pemerintah pusat itu dilanjutkan dengan pengiriman dari produsen yang ditugaskan ke distributor hingga pengecer, ke kelompok petani dan petani. Saat ini di pasar terdapat dua harga pupuk, harga subsidi dan harga non subsidi. Panjangnya rantai distribusi pada pupuk bersubsidi dan terdapatnya dua harga pupuk di pasaran memicu munculnya beberapa masalah dan potensi masalah di lapangan yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat, diantaranya adalah terjadinya pengoplosan pupuk subsidi dan non subsidi, terjadinya pemalsuan pupuk bersubsidi, panjangnya rantai distribusi sebhingga melemahkan tingkat pengawasan dari pemerintah, terjadinya penyelundupan pupuk bersubsidi, terjadinya pemalsuan kuota pupuk dari daerah yang harga pupuknya murah ke daerah yang harganya mahal.
Untuk mengatasi permasalahan distribusi pupuk bersubisidi tersebut, muncul pemikiran untuk menyalurkan subsidi pupuk secara langsung kepada petani yang berhak dan bukan lagi dalam bentuk subsidi harga/subsidi tidak lagsung/subsidi input kepada perusahaan-perusahaan pupuk seperti yang dilakukan selama ini.
Kebijakan Subsidi Pupuk Secara Langsung
Definisi singkat dari kebijakan subsidi pupuk secara langsung adalah bahwa suatu kebijakan subsidi dimana petani menerima dana subsidi harga secara langsung dari pemerintah (berupa uang atau yang semisalnya) sehingga dalam transaksi pembelian pupuk, seorang petani akan dikenakan harga pasar, namun petani tersebut hanya membayar harga neto sebesar harga pasar dikurangi dengan subsidi harga yang petani terima.
Beberapa potensi keuntungan dari kebijakan subsidi pupuk secara langsung adalah:
Sedangkan beberapa maasalah yang mungkin akan menghambat pelaksanan kebijakan subsidi pupuk langsung adalah:
Mekansime Subsidi Pupuk Secara Langsung
Setelah melakukan evaluasi dan penelaahan terhadap permasalahan, skema, dan instansi yang selama ini terlibat dalam penyaluran subsidi tidak langsung maka maka penulis mencoba untuk menawarkan skema mekanisme subsidi pupuk secara langsung yang sesederhana mungkin dan mudah diimplementasikan di lapangan yaitu dengan menggunakan kartu elektrik dan bekerja sama dengan perbankan di Indonesia yang mempunyai jaringan luas serta berkoordinasi dengan seluruh instansi/pihak yang terlibat selama ini seperti pengecer, distributor, dan perusahaan pupuk. Adapun skema mekanisme dimaksud adalah seperti dipaparka pada gambar 1 di bawah ini.
Skema dimulai dari keputusan Kementrian Pertanian yang diangap akan tetap menggunakan akumulasi data RDKK (tahun lalu) sebagai basis data dalam penentuan target penerima subsidi pupuk tahun berjalan. Dari akumulasi data RDKK tersebut Kementan dapat mengetahui berapa volume total dan jenis pupuk bersubsidi secara nasional perpropinsi (yang merupakan agregasi dari jenjang-jenjang di bawahnya) dan alokasi dana subsidi yang diperlukan untuk menutup kebutuhan pupuk bersubsidi tersebut. Kementan melakukan pembahasan dan meminta alokasi dana subsidi pupuk tersebut kepada Kementrian Keuangan (Cq Direktorat Jenderal Anggaran berdasarkan PMK nomor 177/PMK.02/2014) dan pada saat yang sama Kementan juga mengikat kerjasama pengadaan pupuk bersubsidi dengan para perusahaan-perusahaan pupuk (melalui PIHC).
Pada tingkat lebih teknis, setiap petani yang menjadi target subsidi pupuk diberikan kartu elektrik (Kartu Subsidi Pupuk) oleh bank pelaksana yang ditunjuk oleh Pemerintah di mana dalam kartu itu terdapat nilai uang dalam jumlah yang sesuai dengan harga subsidi pupuk yang akan diterima oleh petani yang bersangkutan (dengan jenis pupuk tertentu, jumlah/volume tertentu, pada satu musim tanam/waktu tertentu dan di wilayah (tempat) tertentu), dan pada saat yang sama bank juga meminjamkan mesin ATM mini yaitu EDC (Electronic Data Capture) kepada para pengecer yang ditunjuk, sebagai alat untuk melakukan transaksi dengan petani yang mempunyai KSP tersebut.
Dampaknya Terhadap APBN
Pembahasan tentang program kebijakan pupuk di Indonesia tentu akan terkait dengan pembicaraan tentang besaran alokasi belanja (pada APBN) yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai program kebijakan tersebut. Dan ketika berbicara tentang APBN maka pada hakekatnya juga berbicara juga tentang fungsi APBN dan kebijakan fiskal seperti apa yang harus diambil sehingga kondisi fiskal Indonesaia tetap berada pada kondis yang aman/berkesinambungan (sustainable).
Jadi kebijakan pupuk yang dilakukan pemerintah itu tidak hanya terkait dengan mekanismenya tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana kesiapan alokasi anggarannya, bagaimana format kebijakan fiskalnya dan bagaimana dampaknya terhadap kesinambungan fiskal dan perekonomian nasional secara umum.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.