Penulis: Penelit Pusat Kebijakan Sektor Keuangan
Indonesia berkeinganan untuk meningkatkan indeks keuangan inklusifnya pada akhir tahun 2019. Upaya peningkatan aksesabilitas terhadap jasa keuangan telah banyak dilakukan oleh Indonesia. Melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang ditetapkan tanggal 1 September 2016, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan gerakan ke arah upaya tersebut. Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa SNKI dimaksudkan untuk mencapai target keuangan inklusif, yaitu persentase jumlah penduduk dewasa yang memiliki akses layanan keuangan pada lembaga keuangan formal sebesar 75 persen pada akhir 2019. Upaya mewujudkan target utama keuangan inklusif merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh Kementerian/ lembaga terkait yang dilakukan sesuai dengan kewenangan masing-masing. SNKI berfungsi sebagai pedoman bagi menteri dan pimpinan lembaga dalam menetapkan kebijakan sektoral yang terkait dengan peningkatan keuangan inklusif.
SNKI terdiri dari lima pilar dan tiga pondasi. Lima pilar tersebut adalah (i)edukasi keuangan, (ii)hak properti masyarakat, (iii)fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan, (iv)layanan keuangan pada sektor pemerintah, serta (v)perlindungan konsumen. Sedangkan tiga pondasi dalam SNKI adalah (i)kebijakan dan regulasi yang kondusif, (ii)infrastruktur dan teknologi informasi keuangan yang mendukung, serta (iii)organisasi dan mekanisme implementasi yang efektif.
Khusus pilar ke-empat, yaitu pilar layanan keuangan pada sektor pemerintah, disamping bermuara pada peningkatan Indeks Keuangan Inklusif (IKI), tujuan dari pilar ini adalah untuk meningkatkan tata kelola dan transparansi pelayanan publik dalam penyaluran dana Pemerintah secara nontunai. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu langkah perbaikan yang dapat dilakukan Pemerintah adalah melalui perbaikan sistem penyaluran bantuan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi peningkatan IKI yang dapat dicapai melalui skema integrasi kartu rumah tangga sasaran (RTS).
Banyaknya kartu identitas yang berfungsi sebagai penanda penerima berbagai program bantuan dapat mengakibatkan kurang tercapainya ketepatan dalam pemberian bantuan. Melalui data Susenas BPS tahun 2014 dan 2015 dapat diperlihatkan ketidaktepatan tersebut. Di satu sisi terdapat rumah tangga kaya yang masih menerima raskin (exclution error), di sisi lain masih terdapat rumah tangga sangat miskin yang seharusnya menerima raskin, tetapi justru tidak menerimanya (inclution error). Dengan dilakukannya integrasi kartu bantuan sosial, akan berdampak pada peningkatan IKI sebesar 26 persen. Tujuan tersebut dapat dicapai jika integrasi kartu dilakukan dengan sisten nontunai. Melalui sistem ini, disamping tepat orang dan tepat jumlah, juga dapat meningkatkan ketepatan dari sisi tepat harga. Angka 26 persen tersebut diperoleh dari dua kelompok rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM). Pertama, sebesar 6 persen berasal dari kelompok RTS-PM yang memiliki simpanan tetapi tidak ditabung pada rekening lembaga keuangan. Kedua, sebesar 20 persen berasal kelompok RTS-PM yang tidak memiliki simpanan uang.
Pemerintah perlu segera menyempurnakan integrasi kartu bantuan sosial dengan sistem nontunai yang sudah berjalan. Penyempurnaan perlu dilakukan dengan cara sosialisasi yang lebih masif kepada RTS-PM. Sosialisasi tersebut tetap perlu dilakukan untuk meminimalisasi jumlah RT yang tidak mepergunakan kartu akibat alasan-alasan tertentu.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.