Kajian SiLPA
Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
Alokasi Transfer ke Daerah mengalami peningkatan dari Rp411,3 triliun (2011) menjadi Rp623,1 triliun (2015). Peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan belanja APBD dari Rp518,7 triliun (2011) menjadi Rp948,9 triliun (2015). Pada tahun 2016 realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN mencapai Rp710,9 triliun dan alokasi tahun 2017 sebesar Rp764,9 triliun. Di sisi lain, jumlah simpanan Pemda di perbankan posisi akhir Desember cukup tinggi dan meningkat dari Rp80,4 triliun (2011) menjadi Rp103,8 triliun (2015). Bersamaan dengan peningkatan jumlah simpanan Pemda di perbankan, terjadi peningkatan SiLPA Pemda dari Rp78,5 triliun di tahun 2011 menjadi Rp101,6 triliun di tahun 2015. Sementara itu, capaian indikator pembangunan belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang menggembirakan karena masih terdapat beberapa provinsi dengan SiLPA relatif tinggi namun capaian pembangunannya masih berada di bawah capaian nasional.
Simpanan Pemda di perbankan dan SiLPA yang relatif tinggi mengindikasikan belum optimalnya pemanfaatan dana APBD oleh Pemda dalam penyediaan layanan publik dan pembangunan ekonomi di daerah. Gejala tersebut menjadi perlu untuk dianalisis mengingat sumber pendanaan utama otonomi daerah dikontribusi oleh transfer dari Pemerintah pusat. Sesuai dengan hal tersebut, evaluasi ini ditujukan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya SiLPA dan simpanan Pemda di perbankan yang cukup tinggi serta merumuskan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah khususnya yang terkait dengan kebijakan transfer ke daerah.
Berdasarkan analisa data periode tahun 2011-2015 dan informasi dari kunjungan lapang ke beberapa daerah menunjukkan hasil sebagai berikut:
- Peningkatan simpanan Pemda di perbankan sejalan dengan terjadinya peningkatan SiLPA Pemda. Secara rata-rata simpanan Pemda di perbankan berbentuk giro 66,5%, deposito 30,4%, dan dalam bentuk tabungan hanya sekitar 1,8%. Simpanan dalam bentuk deposito menunjukkan proporsi yang terus meningkat yang pada akhir 2015 mencapai 41,6%.
- SiLPA yang relatif tinggi secara konsisten terjadi pada Pemprov dengan karakteristik PAD sangat tinggi (>60%), atau kontribusi DBH SDA cukup tinggi (>40%). Sedangkan pada tingkat Pemkab/Pemkot, SiLPA yang tinggi umumnya terjadi pada daerah dengan DBH SDA sangat tinggi (>50%) dan beberapa Pemda dengan PAD relatif tinggi (>25%).
- Faktor penyebab SiLPA terjadi sejak proses penganggaran hingga pelaksanaan anggaran. Dari sisi penganggaran, SiLPA terjadi karena senggangan anggaran (budgetary slack) baik di sisi pendapatan maupun belanja. Dalam penyusunan target pendapatan, senggangan anggaran terjadi karena penetapan target PAD relatif moderat yang dimaksudkan untuk mengamankan kepastian sumber pendanaan belanja daerah atau agar mendapatkan penilaian kinerja yang baik karena realisasi PAD lebih besar dari targetnya. Sedangkan senggangan belanja terjadi karena penetapan pagu belanja daerah yang optimis untuk mengantisipasi adanya pemotongan anggaran atau untuk mengakomodir adanya penerimaan lain yang salah satunya adalah SiLPA tahun sebelumnya.
- Dalam pelaksanaan anggaran, SiLPA dari sisi pendapatan terjadi karena: a) realisasi PAD selalu melebihi target dari APBD-P yang berkisar antara 101% - 117%; b) realisasi Dana Perimbangan fluktuatif utamanya DBH pada akhir tahun; dan c) Lain-lain Pendapatan Daerah yang cenderung melebihi yang direncanakan serta adanya tambahan alokasi transfer yang bersifat spesifik dari Pemerintah pusat atau Provinsi yang tidak direncanakan sebelumnya pada pertengahan tahun anggaran. Pada sisi belanja, realisasi berkisar antara 81% - 94% yang penyerapannya terkonsentrasi pada triwulan IV terutama pada komponen belanja modal.
- Penyerapan belanja yang tidak maksimal disebabkan oleh: a) kelemahan pada rencana atas tahapan pelaksanaan kegiatan; b) sumber daya manusia (jumlah dan kualitas relatif terbatas, frekuensi penggantian/rotasi pejabat cukup tinggi, beban volume pekerjaan terlalu besar, dan pilkada); c) tambahan alokasi DAK ditengah tahun anggaran berjalan dan pemberlakuan peraturan pelaksanaan anggaran ditengah tahun anggaran berjalan; serta d) proses pelaksanaan lelang (gagal lelang, jangka waktu yang pendek, keterbatasan bahan baku, dan faktor musim). Sedangkan menumpuknya realisasi belanja daerah pada akhir tahun utamanya disebabkan karena pembayaran pekerjaan belanja modal yang pelunasannya dilakukan setelah pekerjaan selesai.
- SiLPA tidak sepenuhnya merupakan dana idle mengingat karakteristik penyebab SiLPA bervariasi. SiLPA tahun anggaran sebelumnya (t-1) dapat digunakan untuk menutup defisit APBD dan atau untuk pengeluaran pembiayaan (investasi dan dana cadangan) pada tahun berjalan (t). Sejauh ini pemda memiliki preferensi pemanfaatan SiLPA untuk menutup defisit APBD. Defisit APBD yang dibiayai dari SiLPA terdiri dari: a) dana earmark yang tidak dapat dilaksanakan; b) sisa dana yang belum maksimal dimanfaatkan; c) pembayaran yang tertunda; dan d) anggaran untuk program/kegiatan baru. Sedangkan pemanfaatan SiLPA untuk investasi (penyertaan modal) masih relatif rendah.
- Simpanan Pemda di perbankan dilakukan sebagai bagian dari strategi optimalisasi pengelolaan kas daerah sebagai akibat adanya mismatch waktu penerimaan dan pengeluaran daerah. Data realisasi APBD-P 2015 pada Pemda yang disurvei menunjukkan bahwa penerimaan triwulan I sebesar 20%, triwulan II menjadi 48%, triwulan III sebesar 71%, dan triwulan IV mencapai 95% dari target penerimaan. Sedangkan realisasi belanja daerah triwulan I sebesar 8%, triwulan II sebesar 23%, triwulan III meningkat menjadi 40%, dan triwulan IV mencapai 81% dari pagu belanja. Jumlah simpanan Pemda secara nasional mencapai puncaknya pada bulan September 2015 yaitu sebesar Rp298,4 triliun.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan tersebut, maka ada beberapa rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan APBD dan meminimalkan SiLPA sebagai berikut :
- Dari sisi perencanaan APBD dapat dilakukan:
- Peningkatan akurasi perencanaan penerimaan APBD dan koordinasi transfer dari APBD provinsi;
- Menghindari penambahan alokasi TKDD yang bersifat spesifik di pertengahan tahun anggaran berjalan; dan
- Mempertimbangkan perubahan kriteria penilaian kinerja penerimaan APBD yang saat ini berdasarkan pada capaian realisasi PAD yang lebih tinggi dari target menjadi berdasarkan deviasi antara target dan realisasi PAD.
- Dari sisi pelaksanaan APBD dapat dilakukan dengan mendorong penyerapan anggaran sesuai rencana melalui peningkatan monitoring dan evaluasi. Apabila terdapat perubahan peraturan dalam pengelolaan keuangan daerah, hendaknya diberikan masa transisi untuk mengimplementasikan peraturan baru tersebut (diberlakukan pada tahun berikutnya) karena penyesuaian terhadap peraturan baru berpotensi menghambat pelaksanaan / penyerapan anggaran.
- Untuk memperkecil simpanan Pemda di perbankan terutama pada pertengahan tahun akibat mismatch waktu penerimaan kas daerah dan kebutuhan belanja daerah dapat dilakukan dengan cara menyalurkan TKDD berdasarkan kebutuhan daerah.
File Terkait:
Kajian SiLPA
Disclaimer
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.