Penulis: Pusat Kebijakan Sektor Keuangan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah disahkan dan dinyatakan berlaku oleh Pemerintah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan diberlakukannya undangundang tersebut, bank syariah yang sudah lama berdiri di Indonesia akhirnya memiliki dasar hukum kelembagaan atas organisasinya. Perkembangan industri perbankan syariah diharapkan dapat tumbuh lebih baik di masa yang akan datang setelah diberlakukannya undang-undang dimaksud.
Pasal 68 UU Perbankan Syariah menyatakan ketentuan yang mengatur mengenai pemisahan Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh bank konvensional di Indonesia, yaitu “dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki Unit Usaha Syariah yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan Unit Usaha Syariah tersebut menjadi Bank Umum Syariah”. Hal ini berarti bahwa Pemerintah mendorong untuk segera dilakukannya pemisahan Unit Usaha Syariah yang berada di bawah kendali Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah dengan badan hukum yang terpisah dari induknya. Ini merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mendorong perkembangan perbankan syariah nasional agar semakin meningkat dan mampu berkompetisi dalam perbankan nasional secara mandiri dan independen. Dalam pasal dimaksud, Pemerintah memberikan opsi bagi Bank Umum Konvensional yang memilik Unit Usaha Syariah agar dapat melakukan proses spin-off atas entitasnya tersebut, baik secara sukarela dengan pembatasan ketentuan total nilai aset UUS yang telah mencapai 50 persen dari total aset perusahaan induknya maupun dengan ketentuan yang bersifat memaksa melalui pembatasan 15 tahun sejak diberlakukannya UU Perbankan Syariah tersebut.
Sejak ditetapkannya UU Perbankan Syariah, terdapat beberapa UUS yang berhasil melakukan proses spin-off dari induk perusahaannya, antara lain PT BRI Syariah, PT BNI Syariah, PT Bank Jabar Banten Syariah, PT Bank Syariah Bukopin, PT BCA Syariah, PT Bank Victoria Syariah, PT Bank Panin Syariah, PT Maybank Syariah, dan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah. Setidaknya terdapat dua cara spin off yang ditempuh oleh UUS, yaitu:
Dari hasil kajian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Perlunya kesiapan baik dari sisi tata organisasi dan kelembagaan bagi UUS yang akan melakukan proses spin-off dari induk usahanya. Selain itu, diperlukan juga kesiapan dari sisi finansial dalam rangka memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku terutama mengenai total nilai aset UUS yang harus mencapai 50 persen dari total nilai aset Bank Umum Konvensional. Akselerasi dalam segala aspek, baik dari sisi kelembagaan maupun dari sisi volume usaha.
Mengingat ketentuan UU Perbankan Syariah mengenai spin-off UUS Bank Umum Konvensional yang dibatasi waktunya yaitu 15 tahun sejak ditetapkannya UU Perbankan Syariah atau sampai dengan tahun 2023, maka waktu yang tersisa bagi UUS Bank Umum Konvensional yang belum melakukan proses spin-off hanya 6 tahun. Untuk itu dibutuhkan usaha-usaha yang nyata, baik dari UUS maupun induk perusahaan serta dukungan Pemerintah agar proses spinoff dapat berjalan dengan lancar tanpa menyalahi aturan UU Perbankan Syariah yang berlaku saat ini. Beberapa rekomendasi yang dapat dikemukakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut :
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.