Penulis: Pusat Kebijakan Sektor Keuangan
Latar Belakang
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni seluruh pelaku usaha sektor keuangan diwajibkan membayar iuran (pungutan), termasuk profesi penunjang.
Namun, kebijkan pungutan OJK menimbulkan polemik. Pihak yang setuju mengatakan pungutan sangat penting bagi operasionalisasi OJK. Sementara pihak yang tidak setuju karena pelaku sektor jasa keuangan akan menjadi terbebani.
Maka dari itu, dibutuhkan masukan yang mendalam dan konstruktif bagi implementasi kebijakan pungutan yang lebih baik. Pendalaman ini dilakukan melalui kajian dari perspektif teoritis dan analisis empiris. Temuan dari pendalaman ini diharapkan dapat menjadi masukan pada pengimplementasian kebijakan pungutan yang lebih baik.
Tujuan Kajian
Metode Kajian
Kajian ini menggunakan desain studi literatur kritis (critical literature). Desain literatur kritis berfungsi untuk mengangkat berbagai fenomena dan realitas sosial menjadi lebih mendalam melalui analisa teoritis. Teori yang dimaksud adalah: (i) teori pungutan pemerintah; (ii) teori perdebatan dalam tugas dan fungsi OJK; dan (iii) teori strategi untuk mengoptimalkan kebijakan pungutan. Analisa dari ketiga teori ini sangat penting dilakukan, yang berfungsi untuk mengeksplorasi dan mempertajam analisis narasi dan isu kebijakan pungutan OJK yang berkembang.
Hasil Pembahasan
Tugas dan Fungsi OJK Relevansinya dengan Kewenangan dalam Melakukan Pungutan
Analisis pertama dalam kajian ini adalah mendalami kebijakan pungutan dari sisi kewenangannya, yakni kebijakan pungutan merupakan salah satu kewenangan OJK dalam rangka mengoptimalkan tugas dan fungsi OJK. Upaya untuk mengoptimalkan tugas dan fungsi OJK merupakan sebuah keharusan, mengingat terdapat 4 (empat) landasan yuridis yang melatarbelakanginya, yaitu: (i) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999; (ii) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004; (iii) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009; dan (iv) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Kesemuanya mengamanahkan beban berat OJK dalam rangka mengembangkan sektor keuangan. Beberapa landasan yuridis ini bertujuan agar kebijakan pungutan dilakukan dalam rangka kemandirian pembiayaan OJK.
Analisis Tingkat Kepatutan Kebijakan Pungutan OJK dari Pendekatan Kebijakan Publik
Dari perspektif teori kebijakan publik, kasus pungutan OJK kepada para pelaku sektor jasa keuangan dapat dikategorikan sebagai pungutan lain selain pajak. Pungutan dari OJK juga hampir mirip dengan konsep retribusi, yang dalam teori kebijakan publik adalah semacam pungutan sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan pribadi/badan. Selain konsep retribusi, kebijakan pungutan dari OJK juga dapat didekati dari konsep iuran atau tarif. Adopsi dari beberapa pendekatan teoritis tersebut menyimpulkan bahwa pungutan OJK bagaimanapun adalah bersifat wajib (memaksa) dalam rangka mengembangkan sektor keuangan pada umumnya, dan memberikan pelayanan kepada pelaku sektor jasa keuangan pada khususnya.
Kritik Terhadap Kebijakan Pungutan OJK dari Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Analisis ini menemukan bahwa meski kebijakan pungutan dianggap penting bagi operasionalisasi OJK, namun pendekatan ekonomi kelembagaan menganggap bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan risiko persoalan yang cukup dalam. Analisis ini menilai kebijakan pungutan sebagai kebijakan yang mencerminkan ketidaksiapan tata kelola OJK dalam menghadapi biaya transaksi OJK yang notabene sangat tinggi. Atas persoalan ini, maka kebijakan pungutan harus dilakukan secara cermat karena bagaimanapun sebelum adanya OJK, aspek pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan tidak menimbulkan beban biaya apapun.
Menilai Kebijakan Pungutan OJK dari Pendekatan Studi Komparasi di Beberapa Negara
Berdasarkan hasil studi komparasi di beberapa negara, kebijakan pungutan yang diterapkan oleh lembaga sejenis OJK menunjukkan 3 (tiga) rezim kebijakan yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Rezim 1.
Pada rezim ini, pembiayaan lembaga sejenis OJK murni (100%) dibiayai oleh anggaran negara atau APBN. Kelebihan rezim ini adalah tidak adanya beban biaya yang ditanggung oleh pelaku sektor keuangan. Namun, rezim ini cukup menguras biaya APBN sehingga jika terjadi pembengkakan anggaran maka pemerintah akan menggenjot sektor pajak sehingga masyarakat akan terkena imbasnya. Rezim ini bisa menekan terjadinya pertentangan atau protes dari pelaku sektor jasa keuangan. Tetapi, rezim ini juga memberikan ketergantungan yang besar terhadap anggaran negara dan menjadikan lembaga sejenis OJK dinilai kurang mandiri.
Rezim 2.
Pada rezim ini, pembiayaan lembaga sejenis OJK dibiayai melalui dua saluran, yakni dari anggaran negara (APBN) dan kedua adalah dari pungutan yang dibebankan kepada pelaku sektor jasa keuangan. Persentasenya lebih berat dari saluran yang kedua, yakni lebih dibebankan kepada pelaku sektor jasa keuangan dengan komposisi rata-rata sebesar 40:60, yakni 40% dari APBN dan 60% dari pungutan. Syarat dalam memberlakukan rezim 2 ini adalah tuntutan adanya kinerja yang optimal dari lembaga sejenis OJK yang dimaksud.
Rezim 3.
Pada rezim ini, pembiayaan lembaga sejenis OJK murni (100%) dibiayai oleh kebijakan pungutan yang diambil dari lembaga yang diawasi. Kelebihan dari rezim ini adalah terciptanya independensi lembaga sejenis OJK karena biaya operasional tidak menggantungkan dari lembaga lain atau dari negara. Namun, pemberlakuan rezim 3 ini harus dilakukan secara hati-hati (prudent), terutama pentingnya memperhatikan kinerja lembaga sejenis OJK yang dimaksud dalam rangka memuaskan para pelaku sektor jasa keuangan, sehingga pemberlakuan pungutan tidak membebankan para pelakunya.
Optimalisasi Kebijakan Pungutan OJK: Refleksi dari Pendekatan Teoritis dan Masukan dari Hasil Studi Komparasi di Beberapa Negara
Untuk mengoptimalkan kebijakan pungutan, maka yang harus dilakukan bahwa target pungutan tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pungutan yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pungutan yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pungutan yang meminimalkan penghindaran pungutan. Upaya meminimalkan penghindaran ini dilakukan melalui strategi perbaikan tata kelola dan meningkatkan kinerja pelayanan bagi lembaga yang diawasi. Langkah ini merupakan strategi moderat dalam rangka meminimalkan penghindaran pungutan. Tujuannya agar kebijakan pungutan dapat menciptakan total penerimaan yang maksimum tanpa memberatkan pihak yang dipungut.
Agar pengenaan tarif pungutan OJK lebih optimal, sebaiknya model yang diadopsi lebih bersifat moderat, yakni dengan komposisi berimbang antara sumber pembiayaan dari APBN dan dari pemberlakuan pungutan. Model ini dinilai cocok bagi sumber pembiayaan OJK karena pembebanan secara utuh (100%) dari pungutan cukup berisiko menimbulkan friksi. Sementara jika 100% mengandalkan APBN juga cukup berisiko karena menandakan bahwa OJK tidak bisa mandiri. Syarat dalam memberlakukan model ini adalah tuntutan adanya kinerja yang optimal dari OJK.
Penutup
Perlu dilakukan kajian lanjutan terkait tiga hal, yaitu: (i) perlu dilakukan kajian yang bisa mendalami harapan pelaku sektor jasa keuangan terhadap aturan pungutan OJK; (ii) perlu dilakukan kajian mendalam terkait dengan opsi besaran pungutan dan jangka waktunya beserta dampak yang ditimbulkan; dan (ii) perlu dilakukan kajian yang bisa mendalami kelebihan dan kelemahan atas skenario dari penggunaan masing-masing rezim dalam pembiayaan institusi pengawas sektor keuangan.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.