Pajak dan Kebijakan Fiskal Kita
Penulis: Sunarsip
Oleh Sunarsip
Kini, pajak menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Saya kira, ini tidak terlepas dari munculnya dua fakta berikut. Pertama, isu mafia pajak yang diduga melibatkan oknum aparat pajak dan aparat hukum. Kedua, minggu ini adalah batas akhir penyampaian surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Kedua fakta yang terjadi secara bersamaan ini mungkin sebuah kebetulan. Namun, justru karena faktor kebetulan inilah, kini banyak orang yang 'peduli' bicara pajak. Saya kira, akibat kejadian ini, Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, menghadapi suasana yang tidak mengenakkan. Di satu sisi, pemerintah mengimbau wajib pajak segera menyelesaikan kewajiban pajaknya. Di sisi lain, muncul berita mafia pajak yang berpotensi melemahkan semangat membayar pajak.
Pajak merupakan bagian penting dalam kebijakan fiskal kita. Tidak hanya karena kontribusinya yang tinggi bagi penerimaan APBN, tetapi pajak juga bisa menjadi instrumen fiskal yang efektif dalam mengarahkan perekonomian. Berdasarkan siaran pers Ditjen Pajak, realisasi penerimaan pajak tahun 2009 yang dikelola Ditjen Pajak (termasuk PPh Migas) hingga 31 Desember 2009 mencapai Rp 565,77 triliun. Sementara itu, target penerimaan pajak Ditjen Pajak dalam APBN 2009 mencapai Rp 577,4 triliun, berarti masih kurang Rp 11,6 triliun. Total target penerimaan perpajakan (termasuk penerimaan perpajakan dari Ditjen Bea Cukai) pada APBN 2009 mencapai Rp 652 triliun atau sekitar 75 persen dari Penerimaan Dalam Negeri atau sekitar 65,2 persen dari volume APBN 2009.
Pada tahun 2010, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp 742,7 triliun, sekitar 78 persen dari Penerimaan Dalam Negeri atau 71 persen dari volume APBN 2010. Target penerimaan perpajakan sebesar Rp 742,7 triliun tersebut naik sebesar Rp 90,7 triliun dibandingkan target dalam APBN 2009. Dari target sebesar Rp 742,7 triliun tersebut, sebesar Rp 658,2 triliun merupakan pajak yang dikelola Ditjen Pajak. Dari fakta-fakta ini, terlihat bahwa kontribusi penerimaan perpajakan dalam APBN sangat dominan. Oleh karena itu, sangat penting menjaga lingkungan perpajakan yang kondusif agar masyarakat turut menyukseskannya.
Selain sebagai kontributor terbesar bagi APBN, pajak juga menjadi instrumen penting dalam kebijakan fiskal. Salah satu peran pentingnya tersebut sudah dibuktikan pada 2009. Di tengah krisis ekonomi global, ekonomi kita ternyata masih bisa tumbuh positif. Salah satunya disebabkan efek dari insentif pajak, seperti penurunan tarif PPh, pajak ditanggung pemerintah, peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dan sebagainya. Melalui insentif pajak ini, daya beli masyarakat tetap terjaga sehingga konsumsi masyarakat tetap tumbuh. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi 2009 mencapai 4,5 persen yang didukung oleh konsumsi rumah tangga (RT) yang tumbuh di atas 5,0 persen. Kontribusi konsumsi RT terhadap PDB mencapai 60 persen.
Namun, apakah ini berarti peran pajak dalam kebijakan fiskal telah optimal? Saya berpendapat bahwa optimalisasi pajak masih terbuka untuk ditingkatkan. Perlu diketahui bahwa pajak merupakan faktor yang tidak bisa lepas dari produk domestik bruto (PDB). Itulah mengapa untuk mengetahui optimalisasi penerimaan pajak selalu dikaitkan dengan PDB dalam sebuah rasio yang disebut
tax ratio. Idealnya, setiap peningkatan PDB atau terjadi pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak juga harus meningkat.
Tax ratio kita pada 2010 diperkirakan mencapai 12,4 persen terhadap PDB. Tax ratio 2010 ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 12 persen, tetapi lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 13,3 persen. Masih rendahnya
tax ratio ini tentunya menjadi catatan tersendiri. Pada 2007, pemerintah pernah membuat target
tax ratio pada akhir 2009 mencapai 16 persen. Sayangnya, pada tahun 2009, justru terjadi krisis, yang tentunya akan bertentangan dengan semangat menggenjot pertumbuhan ekonomi bila pajak harus pula digenjot. Persoalannya bukan di situ, tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya agar
tax ratio bisa ditingkatkan.
Pemerintah biasanya melihat rendahnya
tax ratio sebagai bukti bahwa masih banyak bidang usaha yang belum terkena pajak. Penilaian ini tidak keliru karena faktanya
tax coverage ratio kita memang tergolong rendah (yaitu sekitar 70 persen) dibandingkan negara-negara lain. Namun, juga tidak terlalu tepat bila argumentasi ini kemudian dijadikan dasar peningkatan perpajakan semata-mata melalui ekstensifikasi pajak. Upaya ekstensifikasi pajak itu penting untuk meningkatkan basis perpajakan. Akan tetapi, langkah ini juga perlu mempertimbangkan dampaknya bagi perekonomian bila kemudian upaya ekstensifikasi difokuskan pada usaha-usaha kecil yang sesungguhnya membutuhkan lebih banyak insentif.
Selain melakukan ekstensifikasi, ada baiknya bila pemerintah lebih menekankan upaya intensifikasi pada basis perpajakan yang dimiliki saat ini. Intensifikasi ini khususnya diarahkan untuk mengejar wajib pajak besar. Di sini, selain perlu meningkatkan kepatuhan (
compliance) wajib pajak, pemerintah juga perlu fokus pada
law enforcement terhadap aparat pajaknya. Karena, pada kedua titik inilah sering terjadi berbagai bentuk penghindaran pajak (
tax avoidance). Mengingat besarnya
magnitude jumlah pajak yang harus dibayar, tentunya hal ini berpotensi menggoda wajib pajak dan aparat pajak untuk melakukan penghindaran pajak. Saya kira, terungkapnya kasus mafia pajak saat ini penting dijadikan momentum untuk menegakkan
law enforcement terhadap aparat pajak dan wajib pajak besar yang nakal.
Mengapa isu
tax ratio ini, sekalipun penggunaannya sebagai indikator banyak digugat, penting dicermati? Faktanya bahwa faktor pembentuk PDB tidak hanya berasal dari swasta, tetapi juga berasal dari pemerintah melalui APBN. Faktanya bahwa APBN kita sebagian dibiayai dengan utang. Pemerintah mengatakan bahwa posisi utang kita aman sekalipun jumlahnya terus meningkat karena rasio utang terhadap PDB (
debt ratio to GDP) terus menurun. Pemerintah menyebut bahwa rendahnya rasio utang mengindikasikan bahwa jumlah utang yang ditarik pemerintah setiap tahun telah dilakukan secara hati-hati, terencana, dan tepat sasaran sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional telah mendorong peningkatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan peningkatan utang itu sendiri.
Karena utang pemerintah dikatakan telah memberikan dampak positif bagi perekonomian, tentunya kita juga berharap peningkatan perekonomian kembali ke APBN melalui peningkatan pajak. Dengan peningkatan pajak, jumlah utang pemerintah dapat dikurangi sehingga APBN kita menjadi semakin lebih sehat. Saya memiliki keyakinan bahwa jika kita fokus pada pembenahan internal aparat pajak dan pada peningkatan kepatuhan wajib pajak besar, sekalipun dengan tingkat
tax coverage ratio saat ini, sesungguhnya
tax ratio kita bisa lebih tinggi dari yang dicapai sekarang.
Oleh karena itu, kita sangat berharap bahwa reformasi birokrasi dan perpajakan betul-betul diimplementasikan secara konsisten dengan
law enforcement yang kuat agar peran pajak dalam kebijakan fiskal bisa lebih optimal.