Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
Indonesia telah menerapkan kebijakan pupuk bersubsidi sejak tahun 1969. Kebijakan ini bertujuan untuk meringankan beban petani dan sektor pertanian sebagai sektor yang menggunakan tenaga kerja terbesar. Namun, perbedaan harga yang muncul antara pupuk bersubsidi dan pupuk non-subsidi telah mengakibatkan penyalahgunaan dan melesetnya penyaluran pupuk bersubsidi selama ini. Sesuai dengan semangat pemerintah untuk mereformasi kebijakan subsidi, mekanisme pengganti skema subsidi pupuk yaitu bantuan langsung pupuk (BLP) sudah mulai dipersiapkan secara bertahap mulai tahun 2016. Bantuan langsung kepada petani diharapkan jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan menyalurkan subsidi pupuk kepada produsen, karena subsidi langsung memungkinkan petani untuk mengoptimalkan pilihan penggunaan input yang dimilikinya dan mendorong kompetisi produsen pupuk di pasar.
Meskipun subsidi pupuk telah diterapkan sejak lama, permasalahan umum yang ditemukan dari pelaksanaan subsidi pupuk sangat kompleks mulai dari segi pendataan, penganggaran, penyaluran/distribusi, hingga pengawasan. Pada segi pendataan, ditemukan permasalahan berupa data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang tidak valid, yaitu penggelembungan (mark-up) luas lahan dan jumlah petani. Pada segi penganggaran, ditemukan bahwa perhitungan subsidi menghitung jumlah volume pupuk Delivery Order (DO) yang belum disalurkan. Pada segi penyaluran/distribusi, ditemukan penjualan pupuk dengan harga di atas HET, penjualan pupuk kepada petani yang tidak terdaftar dalam RDKK, tidak dipasangnya spanduk pengumuman harga, penyaluran pupuk yang tidak sesuai dengan DO, keterlambatan distribusi, kelangkaan, penggantian kemasan, penimbunan, penjualan di luar wilayah distribusi, dan terdapat pengecer yang tidak resmi. Sedangkan terkait aspek pengawasan, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KPPP) di tingkat provinsi maupun kabupaten tidak menjalankan fungsi pengawasan secara optimal.
Penerapan mekanisme bantuan langsung pupuk sendiri bukan tidak akan menghadapi tantangan ke depannya. Tantangan utama yang akan muncul adalah mengenai bagaimana metode terbaik untuk mengidentifikasi petani yang termasuk sebagai penerima bantuan langsung pupuk. Kebijakan bantuan langsung pupuk memiliki target khusus yakni petani miskin dan hampir miskin. Kemudian, apabila dalam skema subsidi pupuk selama ini semua petani bisa membeli pupuk bersubsidi, nantinya hanya petani yang sesuai dengan amanat UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang dapat dikategorikan sebagai penerima bantuan. Sesuai dengan amanat UU No. 19 tahun 2013, petani yang dapat menerima bantuan langsung pupuk adalah mereka yang memiliki atau mengolah tanah/lahan tidak lebih besar dari 2 (dua) hektar.
File Terkait:
SOP Pupuk dan Perluasan Uji coba SLP (764 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.