Penulis: Pusat Kebijakan Kerja Sama Regional dan Bilateral
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara anggota ASEAN yang telah berkomitmen untuk mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN melalui visi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2025. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, secara gradual Indonesia akan memperluas hubungan kemitraan ekonomi dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN dan ASEAN+3, termasuk meningkatkan arus investasi keuangan. Peningkatan arus investasi keuangan lintas negara dimaksud memiliki potensi mendorong pendanaan perusahaan melalui pasar modal sehingga Indonesia perlu memiliki pre-conditions investasi yang lebih kondusif dengan mengatasi hambatan transaksi yang ada. Adapun salah satu wacana untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menghapus hambatan perpajakan berupa withholding tax (WHT) atas penghasilan dari dua instrument investasi keuangan: ASEAN Collective Investment Scheme (CIS) dan ASEAN+3 Multi-Currency Bond Issuance Framework (AMBIF).
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui opsi kebijakan yang tepat bagi pemerintah Indonesia dalam menyikapi wacana pembebasan WHT atas instrumen investasi keuangan CIS dan AMBIF. Kajian dilakukan dengan menggunakan tujuh perspektif analisis, yaitu: 1) pemetaan keuntungan bagi pemerintah Indonesia dari wacana pembebasan WHT dimaksud; 2) studi perbandingan dengan Uni Eropa; 3) distribusi tax incidence dari aspek perpajakan atas instrumen investasi CIS dan AMBIF; 4) keterkaitan wacana tersebut dengan peraturan domestik; 5) pertimbangan dari aspek ekonomi dan fiskal pemerintah; 6) pemenuhan prinsip keadilan dan netralitas sistem pajak; dan 7) potensi perilaku penghindaran pajak jika wacana tersebut diterapkan.
Analisis Pembebasan Withholding Tax
Analisis yang digunakan dalam mengkaji wacana pembebasan WHT atas investasi keuangan lintas negara khususnya di kawasan ASEAN dan ASEAN+3 adalah perspektif International Tax on Utility Maximization Modelling (Zodrow, Mieszkowski, dan Wilson, 1986). Berdasarkan analisis dan pemetaan keuntungan pemerintah Indonesia yang dilakukan, ditemukan bahwa wacana pembebasan WHT justru berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan pajak pemerintah tanpa disertai menurunnya beban pajak investor subjek pajak luar negeri (SPLN) karena adanya pemajakan dari negara mitra apabila negara mitra dimaksud menerapkan sistem perpajakan yang sama dengan Indonesia yakni rezim worldwide1.
Berbeda dengan SPLN, bagi subyek pajak dalam negeri (SPDN) pemberlakuan pembebasan WHT justru akan menginsentif mereka untuk melakukan investasi di luar negeri karena jika negara mitra menganut rezim territorial2 maka total pajak yang dibayarkan investor dalam negeri akan lebih kecil dari total pajak yang dibayarkan bila Indonesia menerapkan pembebasan WHT. Meskipun demikian, pembebasan WHT bukan berarti menghilangkan beban pajak SPDN. Hal tersebut hanya menunda pembayaran pajak terutang dalam tahun berjalan oleh SPDN di akhir tahun. Dengan kata lain, pembebasan WHT bukan hanya tidak mengurangi beban pajak SPDN, namun justru dapat meningkatkan beban pajak yang ditanggung dengan dikenakannya tarif pajak penghasilan umum.
Wacana pembebasan WHT juga berpeluang menimbulkan persepsi ketidakadilan dan ketidaknetralan terhadap sistem pajak yang berlaku. Hal ini dikarenakan wacana tersebut menimbulkan perbedaan perlakuan pajak atas jenis penghasilan yang sama. Selain itu, pembebasan WHT juga akan mendistorsi keputusan ekonomi investor yang disebabkan oleh pertimbangan perpajakan. Lebih lanjut, wacana ini juga akan menimbulkan kesempatan bagi investor untuk melakukan penghindaran pajak. Dengan dibebaskannya WHT atas penghasilan dari instrumen CIS dan AMBIF, maka investor akan terinsentif untuk mengatur ulang kepemilikan instrumen investasi dengan menggunakan instrumen CIS dan AMBIF sehingga bebas dari pemungutan pajak.
Berdasarkan perspektif ekonomi dan stabilitas fiskal, pembebasan WHT juga kurang efektif dalam menurunkan beban pajak investor sehingga kebijakan tersebut juga tidak akan terlalu berdampak terhadap investasi dalam negeri . Pembebasan pajak justru akan meningkatkan return atau yield dari instrumen investasi CIS dan AMBIF—karena baru akan dipajaki pada akhir tahun, yang berimbas pada meningkatnya ekspektasi investor terhadap return atau yield dari instrumen investasi lainnya, termasuk salah satunya Surat Berharga Nasional (SBN). Jika hal demikian yang terjadi, maka hal tersebut akan menekan pemerintah untuk meningkatkan yieldnya untuk menjaga ketertarikan investor sehingga pada akhirnya berpotensi memberatkan fiskal pemerintah.
Kajian ini juga mengidentifikasi pembebasan WHT tidak serta merta akan memberikan insentif/keuntungan secara langsung kepada investor melainkan justru dapat menguntungkan bagi pihak pemungut pajak karena adanya tax incidence. Dengan membebaskan WHT atas instrumen investasi CIS dan AMBIF, manfaat justru dirasakan oleh pemungut pajak — dalam hal ini manajer investasi CIS atau entitas yang menerbitkan obligasi dalam AMBIF. Dengan kata lain, pembebasan WHT tersebut tidak semata-mata berimbas pada kenaikan penghasilan atau return bagi investor, namun juga penghasilan atau return bagi pemungut pajak tersebut.
Untuk menurunkan beban pajak investor dan meminimalisir berbagai permasalahan terkait WHT, hasil kajian mendapati bahwa penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dirasakan lebih efektif dalam mengurangi beban pajak investor dibandingkan dengan wacana pembebasan WHT. Pemerintah Indonesia saat ini telah memiliki P3B dengan hampir seluruh negara ASEAN+3, kecuali Kamboja dan Myanmar. Melalui P3B, pemerintah Indonesia dapat menyepakati total beban pajak yang menjadi tanggungan investor dan menentukan alokasi hak pemajakannya. Dengan demikian, manfaat penurunan beban pajak yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia benar-benar dapat dirasakan oleh investor dan tidak dimanfaatkan oleh negara mitra. Berdasarkan studi perbandingan di kawasan Uni Eropa, solusi P3B juga dilakukan untuk menurunkan beban perpajakan atas penghasilan dari investasi keuangan lintas negara. Dalam contoh yang digunakan, yaitu Belgia, P3B dengan negara mitra di Uni Eropa digunakan untuk menurunkan tarif yang harus ditanggung oleh investor untuk meningkatkan arus investasi dalam kawasan tersebut.
Rekomendasi Kebijakan
Kajian ini merekomendasikan bahwa dengan menggunakan solusi melalui P3B, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menerapkan penurunan tarif atas penghasilan dari dividen dan bunga dengan negara mitra. Terlebih, dalam pemanfaatan P3B sendiri, pemerintah sudah mengeluarkan PER-10 Tahun 2017 yang bermanfaat untuk mencegah penyalahgunaaan P3B. Dengan begitu, beban pajak investor yang mendapat fasilitas pajak benar-benar merupakan beneficial owner dari penghasilan atas investasi dalam CIS dan AMBIF. Selain itu, melalui Pasal 24 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan P3B telah diatur pencegahan pajak berganda atas penghasilan SPDN dari hasil investasinya di luar negeri, yang mana pajak yang sudah dibayar di luar negeri dapat dikreditkan untuk mengurangi kewajiban pajaknya di dalam negeri. Dengan demikian, opsi terbaik bagi pemerintah adalah tetap mengenakan WHT atas penghasilan dari kedua instrumen investasi tersebut.
File Terkait:
Analisis Pembebasan Withholding Tax atas Investasi Keuangan Lintas Negara di Kawasan ASEAN Dan ASEAN+3
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.