Exit Strategy
Penulis: Anggito Abimanyu
GRAHAM Bird dan Dane Rowland dalam survei yang mereka lakukan terhadap beberapa manajer investasi (fund manager), lembaga peringkat (rating agencies), dan CEO bank-bank (bankers) yang ditulis dalam paper berjudul Do IMF Program Have a Catalytic Effect on Other International Capital Flows? diterbitkan oleh Oxford Development Studies pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa para investor dalam beberapa hal memang memperhatikan peran IMF. Namun, mereka lebih memperhatikan kebijakan yang diambil oleh negara yang bersangkutan dan komitmen negara tersebut untuk melakukan reformasi.
KESIMPULAN BIRD Rowland tersebut didukung studi dilakukan (2003) metode ekonometri utang. Hasil riset Mody dan Savaria menyimpulkan bahwa di negara-negara terkena krisis keuangan, keberadaan kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) adalah salah satu kunci dari perilaku pasar keputusan investasi mereka. Semakin besar program yang dijalankan oleh sebuah negara akan meningkatkan kemungkinan minat investor terhadap penerbitan surat utang negara.
Namun, di sisi lain, mereka juga menyimpulkan bahwa akses ke pasar modal global lebih tergantung dari persepsi pasar terhadap program reformasi yang dilakukan daripada keterlibatan IMF pada negara yang bersangkutan.
Berangkat dari hasil riset yang telah dilakukan oleh beberapa kalangan terkait dengan program IMF, kemudian belajar dari pengalaman negara-negara krisis yang sudah mengakhiri program IMF, sudah saatnya bagi kita untuk menfokuskan perhatian pada konsekuensi dari berakhirnya kontrak IMF serta program-program strategis yang perlu diambil.
Hal yang cukup penting untuk diperhatikan dalam masa pascaprogram kerja sama IMF adalah bagaimana mempertahankan kepercayaan pasar (market confidence) dan pelaku ekonomi. Membangun dan mempertahankan kepercayaan pelaku ekonomi merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan pemerintah, khususnya pada masa transisi ini. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan dalam pembukaan rapat koordinasi pembangunan tingkat pusat bahwa masa transisi pascaprogram IMF sangat rawan. Kerawanan itu bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa kepercayaan pasar (Kompas, 24 Juni 2003).
Membaiknya beberapa indikator ekonomi makro Indonesia, seperti apresiasi nilai tukar, penurunan suku bunga dan inflasi, serta penguatan cadangan devisa (kini sekitar 34 miliar dollar AS), tidak terlepas dari meningkatnya kepercayaan pasar terhadap kebijakan fiskal maupun moneter yang telah ditempuh.
Para pelaku pada dasarnya akan memberikan respons yang positif terhadap kebijakan yang kredibel dan konsisten. Pasar juga melihat tentang kemauan pemerintah untuk mereformasi dirinya sendiri. Kredibilitas suatu kebijakan ditentukan oleh bagaimana pemerintah dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakannya sendiri. Penetapan target yang terlalu optimistis, misalnya, dikhawatirkan justru bisa menghancurkan kredibilitas dari kebijakan itu sendiri bila target yang dicanangkan pada akhirnya tidak tercapai.
Pemerintah sebaiknya menetapkan target yang rasional dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan masukan yang ada. Kebijakan yang konsisten dan kredibel, misalnya keputusan tidak berubah-ubah setiap saat, merupakan salah satu hal penting dalam meningkatkan kepercayaan para pelaku.
Pengalaman Korsel dan Thailand.
Dalam rangka mempersiapkan langkah-langkah konkret dalam rangka exit dari program IMF, kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara krisis yang telah sukses, seperti Korea Selatan dan Thailand.
Berdasarkan pengalaman, setelah mengakhiri kontrak kerja sama dengan IMF, negara-negara krisis tersebut selanjutnya memasuki tahap post-program monitoring (PPM). Makna dari tahap ini adalah mengangsur sisa pinjaman (outstanding) IMF sampai dengan batas kuota 100 persen, tanpa adanya pencairan pinjaman (purchases) baru.
Dalam masa PPM, diadakan diskusi antara staf IMF dan pengambil kebijakan mengenai perkembangan kondisi ekonomi makro serta kebijakan yang diambil oleh negara bersangkutan. Selanjutnya hasil diskusi tersebut disampaikan kepada Direktur (board of) IMF. Diskusi tersebut merupakan mekanisme IMF untuk memastikan agar proses pemulihan ekonomi dapat berjalan dengan baik. Namun, yang lebih utama adalah mereka ingin memastikan bahwa negara bersangkutan dapat menyelesaikan pembayaran kembali sisa pinjamannya ke IMF.
Korea Selatan yang menandatangani kontrak tiga tahun dengan IMF pada Desember 1997 mampu mengakhiri kontrak tersebut sebelum batas waktu yang telah ditetapkan. Keberhasilan itu tidak terlepas dari usaha keras Pemerintah Korea Selatan dalam melakukan perbaikan di berbagai sektor. Perbaikan itu antara lain melaksanakan kebijakan makro-ekonomi yang mendukung, menciptakan nilai tukar won yang kompetitif, dan reformasi struktural. Selain itu, juga meningkatkan orientasi dan kepercayaan pasar sebagai hasil dari implementasi kebijakan ekonomi makro yang kuat, serta perbaikan dan peningkatan posisi cadangan devisa.
Hasilnya terjadi perbaikan fundamental ekonomi makro Korea Selatan, yaitu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang sustainable, tingkat inflasi yang cukup terkendali, serta meningkatnya cadangan devisa bruto dari 20 miliar dollar AS pada tahun 1997 (awal krisis, yang turun 14 miliar dollar AS dibandingkan tahun sebelumnya) menjadi 96 miliar dollar AS pada tahun 2000.
Demikian pula dengan Thailand. Meski tidak secepat Korea Selatan, negeri ini telah mengakhiri 34 bulan stand-by arrangement (SBA) dengan IMF pada bulan Juni 2000 dan post-monitoring program pada bulan Agustus 2002. Tingkat pertumbuhan PDB-nya tahun 2002 telah setara dengan pertumbuhan PDB sebelum krisis tahun 1997.
Faktor utama yang mendorong pertumbuhan PDB yang cukup baik antara lain adalah adanya kerangka kebijakan ekonomi makro yang suportif, termasuk di dalamnya adalah stimulus fiskal di tahun 2001-2002, serta kondisi eksternal yang cukup mendukung.
Kebijakan moneter yang akomodatif diambil dengan tetap menjaga agar tidak terjadi gejolak inflasi yang berlebihan. Hal tersebut antara lain dilakukan dengan menetapkan kisaran target inflasi. Selanjutnya, penambahan cadangan devisa dan pembayaran sebagian besar utang luar negeri (terutama utang jangka pendek) telah menurunkan ketidakpastian eksternal. Perbaikan sektor eksternal ditunjukkan antara lain dengan berkurangnya capital outflow serta surplus transaksi berjalan.
Sentimen pasar yang positif juga menguat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keuntungan di bursa saham, rendahnya bond yield, serta meningkatnya kepercayaan konsumen (lihat Tabel).
Langkah-langkah yang perlu diambil pasca-IMF
Dua contoh konkret di atas paling tidak memberikan pelajaran kepada kita bahwa kebijakan ekonomi makro yang kredibel dan konsisten merupakan salah satu faktor penting bagi peningkatan kepercayaan pasar. Aspek utama dari kebijakan yang kredibel adalah kebijakan yang diambil harus transparan, koheren dalam pelaksanaan programnya, serta konsisten (tidak berubah setiap saat). Selanjutnya, untuk mendukung terciptanya kebijakan yang kredibel, pemerintah perlu melakukan penetapan target, reformasi struktural, pengawasan, dan penegakan disiplin.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan target adalah pemerintah harus dapat mengendalikan target yang dipilihnya dan perlu ditetapkan kerangka waktu yang jelas, yaitu target jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.
Dalam kerangka exit strategy itu, Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia kini tengah mempersiapkan program pascakerja sama dengan IMF, khususnya program spesifik yang menjadi perhatian pelaku ekonomi. Payung program itu sudah ada, yakni Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Secara garis besar, program tersebut meliputi:
Pertama, dalam kerangka ekonomi makro, program yang perlu ditetapkan antara lain meliputi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang memadai, pengendalian laju inflasi, penurunan suku bunga, dan menciptakan surplus APBN, serta memupuk cadangan devisa.
Kedua, ketahanan dan reformasi sektor keuangan, meliputi penyehatan perbankan dan lembaga keuangan lainnya (asuransi, pasar modal, dana pensiun, dan lain-lain), pembentukan lembaga penjamin simpanan (LPS), pengawasan jasa keuangan (OJK), jaring pengaman keuangan (financial safety nets), dan lain-lain.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi investasi dan ekspor, serta penciptaan lapangan pekerjaan yang meliputi antara lain aspek legal, peraturan, perubahan institusional menyangkut kepentingan sektoral, seperti perpajakan, penyelundupan, ketenagakerjaan, keamanan, otonomi daerah, dan lain-lain.
Langkah selanjutnya yang diperlukan adalah menciptakan sistem pengawasan kinerja yang juga harus kredibel. Pengawasan dapat dilakukan secara institusi dalam negeri maupun luar negeri. Namun, pengawasan di dalam negeri hendaknya perlu lebih ditekankan mengingat pengawasan dalam negeri yang komprehensif dapat diartikan sebagai berkurangnya pengawasan luar negeri. Pengawasan di dalam negeri dilakukan oleh DPR, BPK, maupun institusi privat (pasar) dan publik, seperti LSM dan media massa.
Pihak luar negeri bisa dilakukan antara lain oleh lembaga donor, seperti CGI maupun multilateral, serta oleh pasar internasional. Di samping adanya pengawasan, pemerintah sendiri harus menetapkan regulasi dan aturan main demi terciptanya penegakan disiplin. Demi tercapainya penegakan disiplin, pemerintah seyogianya membuat daftar tanggung jawab masing-masing institusi terkait secara jelas, mengulas kebijakan yang telah diambil, terutama yang terkait dengan kegagalan pencapaian target yang telah ditetapkan, memperbaiki rencana kerja, mengonsultasikan hasil-hasil kegiatannya, baik dengan DPR maupun lembaga donor dan multilateral. Secara inter intern mendiskusikan dan merumuskan langkah selanjutnya yang perlu diambil.
Dengan agenda kegiatan yang terstruktur dengan baik, paling tidak kita akan lebih optimistis dalam menghadapi masa-masa pascaprogram IMF, yang diperkirakan oleh banyak kalangan sebagai masa-masa yang berat bagi bangsa Indonesia.
Tahun 2004 adalah tahun yang penuh dengan tantangan sekaligus potensi ketidakpastian, yakni melaksanakan program pemulihan pascakerja sama dengan IMF, pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehati-hatian pemerintah dalam memilih opsi yang akan diambil harus dilakukan, namun yang lebih penting lagi adalah merencanakan program-program yang menjadi perhatian pelaku ekonomi. Hal ini merupakan sesuatu yang mutlak dikaji. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak bisa bekerja sendiri tanpa partisipasi masyarakat karena pada akhirnya pemulihan ekonomi adalah buah karya masyarakat.