Penulis: Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral
Di tahun 2018, PKRB berhasil menyusun Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB). Strategi PARB merupakan manisfestasi dari upaya untuk mengelola berbagai isu yang terkait dengan PARB baik di tingkat nasional dan internasional, serta menentukan peta jalan kebijakan PARB Indonesia ke depan. Strategi ini juga mencakup peran dari masing-masing pemangku kepentingan dalam PARB.
Strategi PARB muncul dipicu dari kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki risiko tinggi akibat dampak bencana. Menurut Bank Dunia, Indonesia termasuk 35 negara di dunia yang memiliki risiko tinggi akan terjadinya korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat dampak berbagai jenis bencana. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas sembilan bencana utama, yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim dan kekeringan. Beberapa kejadian bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera bagian utara pada tahun 2004, serta rentetan tiga bencana besar yang terjadi di Indonesia di tahun 2018 (gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu dan Donggala, serta tsunami Selat Sunda), memberikan gambaran dan fakta yang jelas betapa rentannya negeri ini terhadap bencana alam.
Sejarah kejadian bencana alam di Indonesia, menunjukkan besarnya potensi korban jiwa, kerusakan fisik dan kerugian ekonomi yang diakibatkan bencana alam. Antara tahun 2000 s.d. 2016, rata-rata kerugian ekonomi langsung berupa rusaknya bangunan dan bukan bangunan akibat bencana alam yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan sekitar Rp22,8 triliun (USD1,55 miliar)[1]. Di masa mendatang, kerugian akibat bencana akan semakin membesar, apabila tidak dilakukan upaya mitigasi, kesiapsiagaan dan transfer risiko.
Strategi PARB
Penyusunan strategi PARB ditujukan untuk menghasilkan solusi dan inovasi skema keuangan yang mampu memberikan alternatif pembiayaan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam pembiayaan bencana. Kemampuan Pemerintah dalam menyediakan pembiayaan untuk bencana dengan dampak yang besar, cenderung terbatas pada saat terjadi bencana. Setiap tahunnya, Pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan bencana sebesar Rp3,1 triliun (USD214 juta). Sementara kerugian akibat bencana alam besar, seperti gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004 mencapai Rp51,4 triliun (USD3,5 miliar), sehingga membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun untuk pemulihan seperti kondisi sebelum bencana. Kesenjangan pembiayaan tersebut yang menyebabkan Indonesia terpapar risiko fiskal yang tinggi akibat bencana alam. Oleh karena itu, alternatif pembiayaan dengan melibatkan sumber pembiayaan di luar APBN, diantaranya asuransi, diperlukan agar Indonesia dapat memiliki ketahanan atas bencana. Selain itu, Pemerintah juga bermaksud memperkuat ketahanan industri dan masyarakat Indonesia terhadap risiko bencana alam.
Penyusunan Strategi PARB melalui serangkaian proses diskusi dan konsultasi yang intensif dengan para pemangku kepentingan terkait yang berasal dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi, sektor swasta, dan lembaga internasional. Agenda-agenda utama yang didiskusikan mencakup:
Terdapat beberapa prinsip mendasar yang perlu diperhatikan dalam membangun strategi pembiayaan risiko bencana ini. Pertama, pembiayaan ini dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan yang besar, terencana, tepat waktu dan sasaran, berkelanjutan, yang dikelola dengan transparan untuk melindungi keuangan negara. Ketepatan waktu dan besaran dana menjadi sangat krusial ketika terjadi bencana, kecepatan penyaluran dana menjadi penting. Kedua, Pemerintah harus dapat mengelola pembiayaan bencana untuk beragam program seperti kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam hal ini, pembagian (layering) bencana sesuai dengan frekuensi dan besaran dampaknya, akan membantu Pemerintah untuk mengambil kebijakan pembiayaan yang tepat bagi masing-masing layer tersebut. Seringkali kementerian/lembaga (K/L) terkait telah mengalokasikan dana yang cukup untuk bencana, namun tantangan dan kesulitan timbul pada saat penyaluran dana tersebut.
Dalam proses penyusunannya, Strategi PARB merujuk kepada kebijakan dan praktik terbaik yang dilakukan oleh banyak negara. Namun demikian, prioritas dan implementasi di Indonesia disesuaikan dengan dinamika perkembangan regulasi, kebijakan, dan kesiapan lingkungan (enabling environment) pada pihak-pihak terkait.
Prioritas Pemerintah dalam Strategi PARB adalah: (1) Perlindungan terhadap Barang Milik Negara (BMN) dan Barang Milik Daerah (BMD); (2) Perlindungan terhadap rumah tangga dan masyarakat yang terkena dampak bencana, khususnya kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah: (3) Pemulihan kehidupan sosial dan masyarakat yang terkena dampak bencana; (4) Penguatan peran pemerintah daerah (pemda), swasta dan masyarakat dalam pembiayaan risiko bencana; (5) Pemberdayaan industri asuransi dalam negeri; dan (6) Perlindungan terhadap keuangan negara. Sebagai tambahan, Pemerintah juga menerapkan lima prinsip utama, yaitu: (1) Sinergi/kolaborasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemda), partisipasi swasta, dan masyarakat dalam pembiayaan risiko bencana; (2) Layering risiko dan bauran kebijakan/instrumen; (3) Ketepatan waktu dan besaran dana; (4) ketepatan pilihan mekanisme penyaluran dana; dan (5) Data dan informasi yang akurat.
Strategi PARB yang disusun menghasilkan lima strategi utama, yaitu:
Strategi ini juga dilengkapi dengan peta jalan atau roadmap pelaksanaan strategi jangka pendek dan menengah, yang mempertimbangkan prioritas penganggaran bagi kebutuhan pemangku kepentingan dan penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan. Untuk periode jangka pendek (2018 s.d. 2019), beberapa kebijakan dan program yang akan dilakukan adalah: (1) Implementasi Proyek Percontohan Asuransi BMN; (2) Pemilihan Skema dan Pembentukan Pooling Fund Bencana; (3) Penguatan dan Pengembangan Instrumen Asuransi Perlindungan Masyarakat; (4) Eksplorasi Kerja sama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda); (5) Eksplorasi Skema Pembiayaan Alternatif; dan (6) Edukasi dan Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Terkait Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana.
Dalam periode jangka menengah, agenda kebijakan dan program yang akan dilakukan adalah: (1) Pemantauan dan Evaluasi Implementasi Asuransi BMN, serta Perluasan Skema Pembiayaan untuk Perlindungan BMN dan BMD; (2) Penguatan Kelembagaan Pooling Fund Bencana; (3) Penerbitan Instrumen Pinjaman Siaga; (4) Penguatan Kerangka Kebijakan Fiskal Pembiayaan Risiko Bencana; (5) Pemanfaatan Skema Pembiayaan Risiko Bencana Alternatif Lainnya; (6) Peningkatan Efisiensi Penyaluran Dana; dan (7) Sinergi dengan Pemangku Kepentingan yang Terkait.
Lebih lanjut, sinergi antara Pemerintah Indonesia dengan aktor-aktor internasional lainnya, melalui tata kelola pemanfaatan kerja sama regional dan internasional, baik dalam kerangka tukar pengalaman, pengetahuan dan keahlian maupun dalam kerangka inisiatif modalitas keuangan, sangat dibutuhkan untuk menambah wawasan serta akses terhadap pengetahuan serta skema-skema PARB Indonesia. Beberapa inisiatif kerja sama regional dan internasional, seperti Understanding Risk Forum, APEC Working Group on DRFI, dan inisiatif baru Southeast Asia Disaster Risk Financing Facility (SEADRIF), dapat dimanfaatkan Indonesia dalam memperkaya berbagai program aksi Strategi PARB.
Kebijakan-kebijakan dan program-program pada peta jalan Strategi diyakini akan memperkuat ketahanan fiskal dan intervensi Pemerintah dalam kesiapsiagaan dan mitigasi risiko bencana. Keberhasilan peta jalan memerlukan komitmen bersama seluruh pelaku kepentingan terkait untuk melakukan sinergi dan berbagi risiko sesuai kapasitas masing-masing baik di lingkungan Pemerintah Pusat (kementerian/lembaga terkait), Pemda (provinsi, kabupaten, dan kota), industri perbankan dan asuransi, pelaku usaha, dan masyarakat.
[1] Dengan asumsi USD1 setara dengan IDR14.500,-
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.