Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Energi baru dan terbarukan (EBT) berperan penting dalam meningkatkan ketahanan energi dan dekarbonisasi ekonomi global. Untuk mendukung hal tersebut, Pemerintah telah menetapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014. Sesuai PP tersebut, bauran EBT pada tahun 2025 ditargetkan mencapai 23% dan mencapai 31% pada tahun 2050. Target ini setara dengan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 45 GW dari total kapasitas 135 GW pada tahun 2025. KEN kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Sejauh ini, upaya pemerintah untuk mendorong pencapaian target EBT masih menghadapi tantangan, diantaranya berkaitan dengan pemanfaatan dukungan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum optimal dan penetapan tarif listrik yang berdasarkan pada Perjanjian Jual Beli (Power Purchase Agreement) Tenaga Listrik. Hal tersebut menyebabkan investasi di sektor EBT dianggap kurang menguntungkan atau tidak menarik. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendorong investor untuk berinvestasi di sektor EBT. Salah satunya adalah identifikasi pengaruh insentif fiskal terhadap investasi pembangkit EBT berdasarkan jenis EBT, yang selanjutnya dapat digunakan dalam melakukan penyesuaian perhitungan besaran harga keekonomian harga jual listrik EBT.
Tujuan dari kajian ini adalah mengidentifikasi komponen biaya investasi serta menyusun simulasi kebutuhan investasi EBT yang realistis berdasarkan jenis energi terbarukan dan wilayah. Hal tersebut digunakan untuk memproyeksikan harga jual keekonomian listrik serta menganalisis dampak insentif fiskal terhadap nilai investasi, harga listrik dan lingkungan. Hasil eksplorasi dampak insentif fiskal beserta beberapa alternatif penguatan kebijakan selanjutnya dapat diusulkan untuk menjadi bahan pertimbangan Kementerian Keuangan.
Fokus pada kajian ini adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH). Pembangkit yang menjadi fokus analisis adalah yang memiliki kapasitas terpasang cukup besar dan bersifat profit-oriented sehingga sangat membutuhkan insentif fiskal. Meskipun studi ini bermaksud untuk menjelaskan kondisi investasi pembangkit listrik EBT di Indonesia secara keseluruhan, pengumpulan data primer hanya dilakukan di daerah-daerah terpilih yang dianggap mewakili keadaan di masing-masing pulau besar di Indonesia (kecuali Papua, karena keterbatasan logistik dan waktu). Daerah-daerah sampel yang dipilih yaitu Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Purwakarta, Kalimantan Utara, Sumatera Utara, Banjarnegara, dan Sulawesi Utara.
Secara umum, insentif fiskal yang ditawarkan pemerintah kepada pengembang EBT adalah dalam bentuk keringanan pungutan perpajakan dan pembelanjaan pemerintah. Skema keringanan pajak dapat berupa (1) tax allowance, (2) fasilitas impor, dan (3) tax holiday. Tax allowance, atau keringanan pajak, merupakan insentif yang diberikan dalam bentuk pengurangan PPh badan. Fasilitas impor merupakan fasilitas pembebasan pungutan PPh 21, pembebasan bea masuk, dan pembebasan pengenaan PPN untuk barang-barang impor tertentu yang berhubungan dengan investasi pembangkit. Tax holiday adalah fasilitas pengurangan pungutan PPh terutang sebesar 100 persen dalam jangka waktu tertentu. Di sisi pembelanjaan, pemerintah memiliki pos anggaran untuk pengembangan pembangkit EBT yang diwujudkan dalam belanja Kementerian/Lembaga untuk pengembangan infrastruktur pembangkit berbasis EBT. Selain itu, skema lain yang tersedia bagi Pemerintan untuk menyediakan infrastruktur EBT adalah melalui program Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Melalui skema KPBU, pemerintah dapat menyediakan bagian dari total dana proyek pengadaan melalui beberapa fasilitas Project Development Facility (PDF), Viability Gap Fund (VGF), dan Political Guarantee Policy.
Kajian Analisis Dampak Insentif Fiskal terhadap Investasi dan Harga Jual Listrik dari Energi Terbarukan ini menggunakan tiga alat analisis yaitu (1) pembuatan cost-breakdown structure, (2) simulasi financial model, dan (3) pengukuran preferensi pengembang terkait insentif fiskal. Analisis cost-breakdown structure bertujuan untuk mengidentifikasi biaya investasi PLTMH dan PLTS, beserta keterkaitannya dengan kebutuhan investasi kedua pembangkit di berbagai wilayah untuk mencapai target EBT dalam bauran energi. Data cost-breakdown structure disusun melalui studi literatur dan pengumpulan data di lapangan melalui Focus Group Discussion (FGD), kuesioner, dan in-depth interview. Simulasi financial model mengambil informasi biaya investasi dari cost-breakdown structure untuk melihat dampak insentif fiskal terhadap feasibility dari investasi PLTS dan PLTMH. Teori biaya menjadi dasar penyusunan model sehingga model dapat menghasilkan estimasi harga keekonomian. Sementara itu, tingkat pengembalian investasi (IRR, NPV, payback period) dihitung menggunakan metode standar analisis finansial. Terakhir, pengukuran preferensi pengembang masing-masing pembangkit terhadap jenis-jenis insentif fiskal beserta faktorfaktor yang melatarbelakanginya dianalisis dengan analytical hierarchy process (AHP).
Untuk investasi PLTMH, komponen pembangunan konstruksi fisik menyumbang porsi terbesar (67,94 persen). Komponen pembangunan ini di antaranya meliputi pengeluaran untuk pembangunan water way tertutup (19 persen dari CAPEX), powerhouse (14,1 persen dari CAPEX), bendungan (13,2 persen dari CAPEX), dan penstock (12,7 persen dari CAPEX).
Komponen terbesar kedua adalah turbin yang menyumbang 25 persen dari keseluruhan CAPEX. Berdasarkan data yang dihimpun (lokasi Sumatera Utara), ditemukan bahwa nilai CAPEX per 1 MW kapasitas terpasang untuk PLTMH adalah sekitar Rp42,1 miliar. Nilai kebutuhan investasi PLTMH sangat bervariasi di lapangan, tergantung pada kondisi alam (debit aliran sungai, topografi), lokasi, dan teknologi turbin yang digunakan.
Insentif fiskal yang dapat menghasilkan dampak terbesar terhadap investasi PLTMH adalah insentif penurunan emisi (menaikkan IRR 8,13 persen poin), diikuti oleh subsidi bunga 3 persen (menaikkan IRR sebesar 3,04 persen poin) dan tax holiday 5 tahun (menaikkan IRR sebesar 2,19 persen poin). Insentif yang memberikan dampak paling kecil adalah pembangunan infrastruktur (hanya menaikkan IRR sebesar 0,02 persen poin).
Harga jual keekonomian estimasi masih berada di bawah pengaturan BPP yang ditetapkan oleh pemerintah kecuali di Kalimantan. Dengan pengaturan saat ini, pengembang PLTMH akan mendapatkan margin keuntungan antara 0,7 persen hingga 28,6 persen, tergantung pada lokasi. Namun, hal ini tidak berlaku di daerah Kalimantan di mana pengaturan BPP masih 11,2 persen lebih rendah daripada harga jual listrik PLTMH keekonomian.
Selanjutnya untuk investasi PLTS, komponen biaya investasi PLTS terdiri atas komponen EPC yang menyumbang 71,2 persen keseluruhan CAPEX, diikuti oleh pre-investment sebesar 15,5 persen dan pekerjaan jasa sebesar 13,3 persen. Komponen solar module menyumbang pangsa terbesar di antara komponen EPC, yaitu 33,9 persen dari seluruh CAPEX. Kebutuhan investasi PLTS akan sangat dipengaruhi oleh jenis teknologi panel surya yang digunakan, lokasi konstruksi, dan potensi energi surya di daerah tersebut. Perbedaan kebutuhan investasi tersebut telah diakomodasi dalam model dengan memasukkan koefisien daerah.
Insentif yang akan memberikan dampak terbesar terhadap kelayakan finansial PLTS adalah insentif emisi (menaikkan IRR 5,63 persen poin), diikuti oleh fasilitas impor (menaikkan IRR sebesar 3,62 persen) dan tax holiday 5 tahun (menaikkan IRR sebesar 2,11 persen). Insentif yang memberikan dampak paling kecil adalah pembebasan PPN jasa konstruksi (hanya menaikkan IRR sebesar 0,11 persen).
Tanpa pemberian insentif, estimasi harga keekonomian PLTS di hampir semua daerah masih jauh berada di atas BPP rata-rata daerah, baik BPP yang telah dikenai aturan 85 persen maupun BPP yang belum dikenai aturan 85 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa insentif, BPP yang ditentukan belum dapat menarik investor untuk melakukan investasi PLTS di semua daerah. Namun, hal ini tidak berlaku di daerah Ambon-Maluku di mana BPP rata-rata daerah sudah sesuai dengan estimasi harga keekonomian PLTS.
Dari kriteria-kriteria seperti kemudahan administrasi, potensi penurunan biaya dan periode insentif, mayoritas pengembang lebih mementingkan insentif fiskal yang memiliki potensi penurunan biaya, diikuti dengan kemudahan administrasi dan periode insentif menjadi prioritas terakhir.
Secara keseluruhan, studi ini merekomendasikan kelanjutan pemberian insentif fiscal existing beserta penambahan beberapa bentuk insentif baru seperti subsidi bunga, insentif penurunan emisi, dan pembebasan PPN bagi jasa konstruksi untuk mencapai target bauran di tahun 2025. Selain itu, hambatan administratif pemanfaatan insentif perlu diatasi agar pengembang lebih mudah mengakses fasilitas insentif tersebut.
File Terkait:
Kajian Analisis Dampak Insentif Fiskal (5.666 KB)
Ringkasan Kajian Analis Dampak Insentif Fiskal (1.331 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.