Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Latar Belakang
Indonesia memiliki target bauran energi yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mengamanatkan optimalisasi bauran energi primer dengan peran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, sepanjang keekonomiannya dipenuhi. Bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ini diperinci lebih lanjut dalam Peraturan Presiden 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Kontribusi sektor ketenagalistrikan (pembangkit listrik) dari RUEN tersebut sebesar 75% - atau setara dengan 45,2 GW – sedangkan sektor bahan bakar sebesar 25%. Kondisi bauran energi terbarukan pada akhir 2017, dari seluruh sektor baru mencapai 7%, sedangkan di sektor ketenagalistrikan mencapai 12,15%.
Selain itu, komitmen Indonesia untuk turut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang diatur oleh UU No. 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The UN Framework Convention on Climate Change adalah untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri (unconditional) atau 41% jika ada kerjasama internasional (conditional) dari kondisi tanpa aksi pada tahun 2030. Sektor energi turut menyumbangkan target penurunan hingga 11% (unconditional) dan 14% (conditional) pada tahun 2030. Sekitar 50% dari pengurangan emisi di sektor energi diharapkan berasal dari pembangkit listrik EBT. Sehubungan dengan sub-sektor listrik menjadi sumber emisi terbesar di sektor ini, upaya signifikan dalam transisi menuju teknologi energi bersih harus lebih agresif untuk memasukkan iklim ramah investasi yang memungkinkan untuk teknologi energi terbarukan (ET).
Pemerintah juga memiliki target pencapaian rasio elektrifikasi 99,98% pada akhir tahun 2019 yang pada tahun 2018 telah mencapai rasio elektrifikasi sebesar 98,05%. Rasio tersebut masih belum dapat menjangkau daerah-daerah terisolasi, dan diharapkan dapat dilakukan pengembangan sistem ketenagalistrikan dengan menggunakan sumber energi terbarukan setempat. Dengan adanya pemanfaatan sumber energi terbarukan, dapat memberikan dampak positif pada pertumbuhan PDB, neraca pembayaran dan lapangan kerja di Indonesia pada tahun 2030.
Namun demikian, lambatnya penetrasi EBT di sektor ketenagalistrikan dapat menghalangi pencapaian target-target bauran energi, pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), dan peningkatan rasio elektrifikasi. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain: (i) batasan tarif listrik dari sumber ET yang dirasa belum kompetitif oleh para pengembang; (ii) masih tingginya risiko investasi di sektor ET menyebabkan akses permodalan dari perbankan masih mahal dimana suku bunga pinjaman mengikuti suku bunga komersial; (iii) tidak adanya agunan (collateral) yang memadai sehingga mempersulit akses permodalan perbankan, (iv) mekanisme Build-Own-Operate-Transfer (BOOT) yang dirasa kurang menarik bagi pengembang, (v) skala proyek relatif kecil sehingga biaya operasional relatif lebih mahal, (vi) kapasitas pengembang proyek masih belum optimal, dan (viii) proses perizinan yang masih cukup rumit.
Pemerintah telah menyediakan dukungan untuk pengembangan EBT melalui APBN dalam bentuk alokasi belanja Kementerian/Lembaga, transfer ke daerah maupun skema KPBU. Selain itu, pada tahun 2010 Pemerintah mengeluarakan kebijakan pemberian insentif fiskal (perpajakan) dalam bentuk pemberian (i) fasilitas PPh berupa tax allowance, tax holiday dan pengecualian PPh pasal 22 impor; (ii) fasilitas impor berupa pembebasan PPN impor dan bea masuk; dan (iii) fasilitas pengurangan PBB khusus untuk sektor panas bumi. Namun demikian, dukungan dan insentif tersebut dirasa belum mampu mendorong percepatan investasi EBT secara maksimal. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk menyiapkan suatu dukungan pendanaan diluar APBN yang dapat mendukung percepatan investasi di sektor EBT, salah satunya dengan merumuskan skema dukungan pendanaan sebagai insentif percepatan pemanfaatan energi terbarukan, termasuk di dalamnya upaya efisiensi energi dan peningkatan rasio elektrifikasi.
Fokus objek kajian ini akan lebih membahas ET dibandingkan dengan EBT, meskipun dalam pelaksanaannya teknologi energi baru juga bisa didukung oleh inisiatif ini. Lingkup ET yang dimaksud meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Mikhrohidro (PLTM/H), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sementara tidak menjadi prioritas mengingat sektor PLTP telah memiliki perangkat dukungan yang relatif lebih lengkap dibandingkan dengan ET lainnya.
Kajian ini bertujuan untuk merumuskan skema Dana Energi Terbarukan (Dana ET) baik dari sisi kelembagaan, sumber pendanaan, jenis dukungan / fasilitas instrumen yang dapat diberikan, maupun pemanfaatannya. Konsep Dana ET ini dibangun berdasarkan: tantangan dan dukungan dalam pengembangan energi terbarukan, serta landasan hukum untuk pengembangan kelembagaan. Konsep yang dibangun meliputi: (i) tujuan dan key performance indicator (KPI) Dana ET, (ii) kerangka kerja Dana ET, (iii) pra-syarat dalam implementasi dan pengembangannya, serta (iv) instrumen-instrumen intervensi yang dapat disediakan.
Hasil Kajian: Konsep Dana Energi Terbarukan
Dukungan dan insentif yang diberikan Pemerintah untuk pemanfaatan ET diatur oleh Undang-Undang No. 30/2007 tentang Energi, yang menyebutkan bahwa penyediaan dan pemanfaatan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, badan usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan insentif fiskal dan non fiskal untuk mendorong peran ET.
Dana ET ditujukan untuk memberikan insentif bagi peningkatan peran badan usaha dan perbankan dalam percepatan investasi ET di sektor ketenagalistrikan dan investasi efisiensi energi di seluruh sektor, khususnya sektor industri. Bentuk dukungan pendanaan tidak harus melalui pembentukan lembaga baru, namun disinergikan dengan lembaga yang sudah ada. Untuk mempercepat implementasi, fungsi Dana ET dapat dilebur dalam fungsi operasional PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) maupun Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPD LH) yang akan dibentuk dalam waktu dekat:
Dalam PT SMI, Dana ET bisa disinergikan dalam platform SDG Indonesia One yang salah satunya mempunyai tujuan pengembangan energi terbarukan. Dalam platform ini PT. SMI menyiapkan berbagai instrumen yang dapat dipakai untuk mendorong investasi sektor ET. Platform SDG Indonesia One tersebut memiliki mekanisme yang seirama dengan konsep Dana ET yang dirumuskan dalam kajian ini.
Dalam BPD LH, dalam jangka pendek ini, Dana ET bisa menjadi bagian dari window Adaptasi Perubahan Iklim dalam sub-window Mitigasi. Dalam jangka menengah dan panjang Dana ET dapat dipertimbangkan untuk menjadi window tersendiri dalam BPD LH.
Secara umum kerangka kerja (skema) Dana ET adalah sebagai berikut:
Definisi: Dana ET ini adalah dana yang dihimpun, dikelola, dialokasikan dan disalurkan bagi percepatan investasi ET di sektor ketenagalistrikan dan investasi efisiensi energi di seluruh sektor, khususnya sektor industri.
Tujuan: memberikan insentif bagi peningkatan peran badan usaha dan perbankan dalam percepatan investasi ET di sektor ketenagalistrikan dan investasi efisiensi energi di seluruh sektor, khususnya sektor industri.
Target, prioritas dan ukuran keberhasilan akan ditetapkan oleh pembina sektor – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan akan terkait dengan: (1) tercapainya target bauran energi yang optimal, (2) tercapainya target elektrifikasi yang mendorong perekonomian, serta (3) tercapainya target efisiensi energi pada sektor-sektor prioritas.
Penerima manfaat instrumen intervensi Dana ET adalah investor – baik sebagai pengembang maupun pemberi pinjaman untuk pembangkit listrik ET – dan para pemangku kepentingan melalui technical assistance maupun capacity building. Pemangku kepentingan dimaksud termasuk PLN. Selain itu, berdasarkan masukan dari pembina sektor, penerima manfaat bisa meliputi pengembang, produsen dan pengguna teknologi ET dan efisiensi energi.
Dana ET memiliki instrumen-instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan intervensi dalam mengatasi permasalahan ET di sektor ketenagalistrikan di Indonesia, seperti:
Intervensi berupa Project Development Funding (PDF): ditujukan untuk mengatasi permasalahan besarnya biaya transaksi, besarnya risiko pada tahap pengembangan pembangkit ET, kapasitas pengembang yang tidak memadai dan kapasitas perbankan yang terbatas. Instrumennya terdiri dari project development grants, project development risk finance, technical assistance dan capacity building.
Intervensi berupa Viability Gap Funding (VGF): instrumennya adalah Insentif Tarif untuk mengatasi kesenjangan profit akibat tarif beli listrik PLN yang rendah berdasarkan regulasi yang berlaku saat ini. Instrumen ini memiliki dua komponen, yaitu top-up premium di atas harga yang didapatkan dari Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan investment grant.
Intervensi berupa Credit Enhancement Funding (CEF): ditujukan untuk mengatasi permasalahan terkait dengan tingginya persepsi risiko di kalangan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya terhadap sektor ET di ketenagalistrikan. Instrumennya terdiri dari: partial credit guarantee, credit line, syndication, stand-alone debt funding, technical assistance dan capacity building.
Setiap intervensi yang diberikan tentu memiliki kriteria eligibilitas khusus yang harus dipenuhi serta dukungan pendanaan spesifik untuk setiap intervensi yang ada.
Rekomendasi Tindak Lanjut: Implementasi
Dengan keterbatasan anggaran Pemerintah dan besarnya kesenjangan antara realisasi dengan target bauran energi, rasio elektrifikasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, penurunan emisi gas rumah kaca dan target efisiensi energi; implementasi Dana ET perlu segera dilakukan untuk bisa mencapai target-target nasional tersebut.
Konsep Dana ET dalam kajian ini diharapkan dapat menjadi menjadi referensi awal bagi implementasi Dana ET melalui PT SMI dan BPD LH. Agar dapat terimplementasi, diperlukan koordinasi keterlibatan antar sektor terkait program dan target prioritas, seleksi proyek, tata kelola Dana ET dan prosedur operasi standar untuk proses pengambilan keputusan.
Dalam waktu dekat ini, fokus implementasi dapat lebih dikonsentrasikan pada sinergi fungsi Dana ET dalam platform SDG Indonesia One yang ada di PT SMI, dengan segera mempersiapkan landasan hukum dan prosedur operasi standar yang diperlukan sebagai dasar PT SMI dalam menjalankan penugasannya. Diperlukan pengawalan terhadap perancangan regulasi terkait perubahan PT SMI sebagai persero menjadi lembaga pembiayaan pembangunan; agar indikator-indikator kinerjanya akan sejalan dengan upaya pencapaian target-target Dana ET.
Dalam persiapan pemanfaatan BPD LH sebagai salah satu kendaraan Dana ET, perlu ditentukan sumber pendapatan BLU, tata kelola organisasi, landasan hukum, serta standar operasi untuk menjalankan fungsi Dana ET, serta mencari sumber-sumber pendanaan lainnya yang non APBN.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.