Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dan peningkatan kemandirian fiskal daerah, telah ditetapkan UU No. 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk meningkatkan local taxing power melalui penguatan basis perpajakan daerah dan peningkatan kepatuhan (compliance) wajib pajak. Fleksibilitas penerapan jenis dan tarif PDRD di daerah, diharapkan dapat mendorong pendapatan PDRD menjadi lebih optimal dalam meningkatkan kapasitas fiskal daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam arti yang lebih luas.
Sejak diberlakukannya UU 28/2009 pada tanggal 1 Januari 2010 dengan ketentuan peralihan masing-masing pajak daerah yang beragam, perkembangan nominal PDRD menunjukkan peningkatan dari Rp63,9 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp167,3 triliun pada tahun 2016 atau meningkat sebesar 262%. Meskipun secara nominal PDRD mengalami peningkatan dan merupakan komponen terbesar dari PAD, perkembangan PDRD sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2016 dirasakan belum optimal dalam meningkatkan tax effort atau rasio perolehan pajak terhadap potensi/kapasitas pajaknya (Fenochietto & Pessino, 2013) dan juga peranannya sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.
Perkembangan rasio PDRD terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menunjukkan peningkatan dari 0,93% di tahun 2010 menjadi 1,32% pada tahun 2016. Meskipun meningkat, rasio tersebut masih relatif rendah, sejalan dengan tingkat elastisitas PDRD yang merupakan cerminan bagaimana perubahan pada pajak merespon perubahan pada tingkat pendapatan (PDRB) (Tahir, 2004) dimana dalam dua tahun terakhir (2015-2016) tingkat elastisitas PDRD terhadap PDRB yang kurang dari satu (inelastis). Hal ini menunjukkan masih terdapat ruang yang luas untuk meningkatkan pendapatan daerah yang bersumber dari PDRD.
Di sisi lain, perkembangan PDRD sebagai bagian sumber pendapatan daerah dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun total pendapatan secara keseluruhan masih perlu ditingkatkan lagi. Rasio PDRD terhadap Total Pendapatan Daerah sebagai cerminan kemandirian daerah meningkat dari 14,23% pada tahun 2010 menjadi 16,51% pada tahun 2016, tetapi peningkatan tersebut belum merata di seluruh wilayah di Indonesia terutama Indonesia bagian timur yang mempunyai rasio di bawah 5%. Rasio PDRD terhadap PAD sebagai komponen utama PAD menunjukan hal yang sama, PDRD yang seharusnya menjadi komponen utama PAD menunjukkan rasio yang menurun dari 78,64% pada tahun 2010 menjadi 72,94% pada tahun 2016, penurunan rasio terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Hal ini harus menjadi perhatian bagi seluruh pihak terkait untuk meningkatkan optimalisasi PDRD sebagai sumber pendapatan daerah.
Beberapa hal yang menjadi penyebab kurang optimalnya PDRD adalah: (i) kendala internal, yang meliputi sumber daya manusia yang terbatas, kurangnya sarana prasarana pemungutan pajak, dan sistem informasi dan teknologi yang belum merata, (ii) kendala eksternal yang meliputi aturan hukum pemungutan PDRD yang belum jelas, kurangnya sinergi eksekutif dan legislatif daerah, dan tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, serta (iii) terdapat beberapa isu teknis lain pemungutan PDRD seperti Nilai Jual Kena Pajak yang belum dapat diterapkan optimal di semua daerah, pembatasan pemungutan PDRD oleh aturan hukum lain (seperti Peraturan Menteri Kesehatan mengenai pajak reklame rokok dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai reservoir migas), serta makin terbatasnya lahan parkir yang berdampak pada penurunan penerimaan dari pajak parkir.
Dalam rangka meningkatkan optimalisasi pendapatan PDRD serta mengatasi permasalahan dalam pemungutan PDRD, diusulkan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut: 1) peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur pemungut pajak daerah melalui rekrutmen, pelatihan serta kebijakan mutasi dan transfer knowledge; 2) peningkatan sarana, prasarana dan ketersediaan perangkat teknologi informasi yang dapat mendukung proses bisnis pemungutan PDRD melalui pelaksanaan belanja modal yang efektif dan monitoring serta evaluasi anggaran secara berkala; 3) peningkatan efisiensi dan efektifitas penerbitan peraturan daerah (perda) tentang PDRD dengan memberikan sosialisasi dan pendampingan tata cara penyusunan perda PDRD yang baik bagi pemerintah daerah; 4) peningkatan sinergi melalui dialog berkelanjutan antara eksekutif dan legislatif daerah mengenai perhitungan target PDRD, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi dari Pemerintah Pusat atas penetapan target tersebut; 5) penyempurnaan aturan hukum pemungutan PDRD dengan menuangkan penjelasan yang lebih rinci dan mudah dipahami oleh aparatur pemungut PDRD; serta 6) harmonisasi aturan pemungutan PDRD dengan aturan hukum lain yang saling bersinggungan.
Melalui perbaikan kualitas dan kuantitas aparatur pemda, kejelasan aturan hukum, serta tersedianya sarana prasarana penunjang pemungutan PDRD yang memadai, diharapkan dapat lebih meningkatkan kemudahan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban membayar pajak. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses pemungutan PDRD yang pada akhirnya dapat meningkatkan optimalisasi penerimaan PDRD sebagai sumber pendapatan daerah dan mendorong peningkatan kemandirian fiskal daerah.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.