Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memiliki porsi yang yang besar dan strategis dalam struktur APBN khususnya PNBP lainnya. Secara umum PNBP pada Kemenkominfo berasal dari dua sumber utama yakni Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi dan Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi dengan besaran kontribusi terhadap PNBP Kemenkominfo masing-masing 92,8% dan 5,8%. Selain itu, PNBP yang dipungut dan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Bakti, yang berada dibawah Kemenkominfo, merupakan BLU kedua terbesar di dalam APBN setelah Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
PNBP pada Kemenkominfo memiliki kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan nilai realisasi yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Struktur wajib bayar (waba) PNBP Kemenkominfo cukup menarik. Lebih dari 80% dari total PNBP Kemenkominfo (baik itu BHP Frekuensi, BHP Telekomunikasi, dan BHP USO) bersumber dari perusahaan telekomunikasi yang sama, yakni Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Telkom. Empat perusahaan telekomunikasi ini memberikan kontribusi utama terhadap PBNP Kemenkominfo.
Perkembangan kinerja PNBP sektor telkomunikasi ini antara lain dipengaruhi oleh pandangan atau persepsi dari perusahaan terkait sebagai waba PNBP Kemenkominfo. Penelitian yang dilakukan PKAPBN-BKF tahun 2019 membuktikan bahwa persepsi waba terhadap BHP Telekomunikasi dan BHP USO tergolong positif. Persepsi ini khususnya mencakup besaran tarif dan metode perhitungan gross revenue yang menjadi faktor pengali dalam penentuan PNBP. Bahkan, willingness to pay (WTP) wajib bayar berada di atas tarif PNBP yang berlaku. Mereka para waba masih bersedia membayar dengan besaran tarif 0,576% untuk BHP Telekomunikasi (0,076% lebih tinggi dari tarif yang berlaku) dan 1,275%, untuk BHP USO (0,025% lebih tinggi dari tarif yang berlaku).
Disisi lain, persepsi regulator terhadap pungutan PNBP Kemenkominfo, dari hasil studi tersebut menunjukkan bahwa regulator memandang bahwa penyesuaian tarif PNBP pada Kemenkominfo adalah strategi yang paling prioritas untuk dilakukan. Selain itu, regulator memandang tiga faktor utama yang perlu menjadi perhatian dan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan PNBP yaitu peningkatan penerimaan negara, pengaturan laju inflasi, dan perbaikan iklim usaha.
Dengan mempertimbangkan dinamika penerimaan PNBP Kemenkominfo, persepsi waba, dan persepsi regulator, maka terdapat paling tidak tiga strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengoptimalkan PNBP Kemenkominto, yaitu penyesuaian tarif, peningkatan produktivitas, dan kombinasi dari dua opsi kebijakan di atas. Untuk memahami kemungkinan dampak ekonomi yang ditimbulkan, maka dilakukan simulasi kebijakan dengan menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE). Terlepas dengan beberapa kelemahan dari pendekatan yang digunakan, yakni tidak dimodelkannya PNBP secara terpisah, dan lebih memperhatikan aliran uang yang terjadi antar sektor dengan pemerintah (sebagaimana layaknya pajak), hasil simulasi dari penelitian PKAPBN BKF tahun 2019 menunjukkan beberapa temuan yang sangat menarik.
Strategi pertama yakni penerimaan pemerintah dari sektor telekomunikasi dinaikkan (melalui penyesuaian tarif PNBP). Simulasi ini berdampak pada output nasional, konsumsi rumah tangga riil, dan upah riil diprediksi akan mengalami kontraksi namun dengan besaran yang sangat kecil. Selain itu, inflasi juga diprediksi akan naik dengan besaran yang sangat kecil. Kedua, penyesuaian tarif dengan besaran yang berbeda (besar atau kecil) tidak terlalu memiliki dampak yang berbeda terhadap perekonomian. Ketiga, pendekatan kebijakan yang berbeda dari pemerintah, yakni dengan menciptakan iklim usaha yang baik untuk sektor telekomunikasi, terbukti memiliki dampak positif terhadap perekonomian yang jauh lebih besar, dan pada saat yang bersamaan juga mampu meningkatkan penerimaan pemerintah.
Berdasarkan hasil temuan dari studi ini, disusun beberapa rekomendasi bagi pemerintah. Pertama, dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini masih mengalami tekanan ekonomi global dan adanya potensi perlambatan ekonomi nasional, serta melihat estimasi dampak penyesuaian PNBP dan atau perbaikan iklim usaha sektor telekomunikasi terhadap makroekonomi nasional maka opsi kebijakan terbaik adalah tidak melakukan penyesuaian tarif. Kedua, jika perekonomian dalam kondisi yang baik (potensi resesi ekonomi turun) maka opsi kebijakan penyesuaian tarif terbuka lebar bagi pemerintah untuk dipilih, mengingat WTP waba masih lebih tinggi dibandingkan tarif yang saat ini berlaku. Ketiga, mempertimbangkan waba dari PNBP Kemenkominfo, baik itu BHP Frekuensi, BHP Telekomunikasi, dan BHP USO, dapat ditunjukkan bahwa waba yang berkontribusi besar adalah pelaku usaha yang sama maka jika Pemerintah mengambil opsi penyesuaian tarif, maka sebaiknya dipertimbangkan hanya untuk menaikkan salah satu jenis PNBP Kemenkominfo. Keempat, dengan mempertimbangkan struktur penerimaan PNBP Kemenkominfo berdasarkan jenis PNBP-nya, maka jika opsi penyesuaian tarif diambil dengan tujuan utamanya adalah meningkatkan penerimaan pemerintah maka penyesuaian BHP Frekuensi merupakan pilihan yang paling optimal.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.