Penulis: Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral
Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak negatif bagi perekonomian global termasuk kawasan ASEAN+3 dengan mempengaruhi elemen-elemen penting baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Dari sisi pasokan, gangguan produksi terjadi karena penurunan kesehatan tenaga kerja dan kematian dan terganggunya logistik akibat pembatasan mobilitas (karantina). Sementara dari sisi permintaan, gangguan terjadi akibat meningkatnya ketidakpastian, kenaikan biaya dan penurunan pendapatan tenaga kerja yang secara simultan berpotensi mengurangi kemampuan daya beli, penutupan usaha, dan pemutusan hubungan kerja.
Dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian di negara-negara kawasan ASEAN+3 juga dapat dilihat dari penurunan beberapa indikator makroekonomi seperti kontraksi pada pertumbuhan PDB di hampir seluruh negara di kawasan, melemahnya kinerja perdagangan internasional, serta melemahnya tingkat kepercayaan konsumen. Di sektor moneter dan keuangan, pandemi juga menyebabkan kondisi pasar modal ekuitas di kawasan mengalami tekanan yang cukup besar dan terutama periode bulan Januari – Maret 2020. Sementara, tekanan sektor keuangan akibat aliran keluar modal asing juga menyebabkan tingkat yield obligasi pemerintah jangka pendek di beberapa negara di kawasan cenderung meningkat di bulan Februari hingga Maret 2020.
Dalam memitigasi dan menangani dampak negatif penyebaran COVID-19 bagi perekonomian, pemerintah negara-negara di kawasan ASEAN+3 telah melakukan berbagai langkah-langkah kebijakan baik moneter, fiskal, maupun keuangan yang ditujukan untuk menahan penyebaran virus, mendukung penyediaan dan memperkuat sistem perawatan kesehatan, meningkatkan kepercayaan dan permintaan, melindungi kelompok masyarakat dan perusahaan yang rentan dan mengalami gangguan pendapatan, serta membatasi gangguan rantai pasokan yang merugikan.
Instrumen kebijakan stimulus fiskal yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN+3 berupa pemberian insentif perpajakan dan melalui belanja pemerintah. Penurunan pajak secara langsung akan menurunkan biaya produksi, namun tidak serta merta membuat produsen meningkatkan produksinya, karena terganggunya permintaan. Dalam hal ini, peran belanja pemerintah menjadi sangat penting untuk mendorong permintaan dan mendukung consumer confidence agar kembali melakukan konsumsi, yang pada akhirnya akan menyerap produksi dari perekonomian.
Dari paket kebijakan stimulus fiskal yang dikeluarkan oleh negara-negara di kawasan ASEAN+3 yang dianalisis, terdapat beberapa persamaan karakteristik, yaitu ditargetkan kepada konsumen dan produsen yang menitikberakan pada sektor yang terdampak langsung karena perlambatan ekonomi akibat wabah COVID-19. Namun demikian, terdapat perbedaan nilai stimulus yang tergantung dengan kemampuan fiskal dan struktur ekonomi dari masingmasing negara. Secara umum, sektor-sektor yang mendapatkan perhatian adalah kesehatan, UMKM, manufaktur, dan pariwisata. Adapun paket stimulus fiskal yang dikeluarkan oleh negara-negara di kawasan ASEAN+3 dapat dikategorikan ke dalam 3 tujuan, yaitu (i) stimulus untuk menghentikan dan mengatasi krisis kesehatan masyarakat, (ii) stimulus untuk tujuan konsumsi (sisi permintaan), dan (iii) stimulus untuk tujuan produksi (sisi penawaran). Stimulus untuk tujuan konsumsi dan produksi pemberiannya bersifat tunai dan non-tunai pada sektorsektor tertentu seperti sektor kesehatan, pariwisata, manufaktur, dan perdagangan retail tergantung pada seberapa besar sektor tersebut terkena dampak dari COVID-19. Hampir semua negara di ASEAN+3 memfokuskan stimulus produksi untuk membantu UMKM yang terdampak. Bentuk-bentuk kebijakan stimulus fiskal yang dilakukan negara-negara di kawasan ASEAN+3 dalam menangani penyebaran pandemi COVID-19 mencakup antara lain: (i) pengalokasian dana untuk menghentikan dan mengatasi penyebaran virus, (ii) pemberian bantuan tunai/non-tunai dan subsidi bagi masyarakat rentan untuk mengurangi beban pengeluaran dan menjaga daya beli, (iii) mengurangi beban perusahaan yang terdampak melalui pemberian insentif tunai berupa pengurangan dan penundaan pembayaran pajak, serta pembebasan biaya registrasi bisnis, (iv) memberikan dukungan pembiayaan bagi perusahaan yang terdampak, dan (vi) pemberian insentif fiskal sementara untuk mendukung bisnis di sektor-sektor yang terkena penurunan tajam dalam perjalanan dan pariwisata seperti penerbangan, ritel, kuliner, dan transportasi darat. Terdapat beberapa perbedaan fokus dari kebijakan stimulus fiskal yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN+3. Beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, kebijakan stimulus yang dilakukan lebih diarahkan untuk mendorong sektor riil (supply). Sementara beberapa negara seperti Indonesia, Thailand, dan Viet Nam kebijakan stimulus fiskal lebih diarahkan untuk mendukung peningkatan konsumsi masyarakat (demand). Sebagai rekomendasi kajian ini atas pengalaman langkah-langkah kebijakan stimulus fiskal yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN+3 adalah:
• Negara-negara di kawasan ASEAN+3 termasuk Indonesia masih memiliki ruang fiskal yang cukup untuk penanggulangan dampak COVID-19 dan mendorong upaya pemulihan ekonomi. Namun demikian perumusan kebijakan fiskal tetap perlu dilakukan dengan berhati-hati dan terukur agar dapat tepat sasaran dan kredibel. Hal ini juga sejalan dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang ditetapkan berdasarkan PP No. 43 tahun 2020 (menggantikan Peraturan Pemerintah sebelumnya, yaitu PP No. 23 tahun 2020 terhitung mulai tanggal 4 Agustus 2020).
• Pemerintah perlu memprioritaskan sektor-sektor mana saja yang memerlukan stimulus fiskal dengan tetap menjaga kualitas belanja yang baik, agar stimulus tersebut dapat efektif dan memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan. Stimulus untuk tujuan konsumsi, seperti perluasan program-program bantuan langsung tunai, bantuan pangan non tunai, dan kartu pra kerja dapat diprioritaskan untuk mendorong daya beli masyarakat melalui konsumsi rumah tangga. Sementara stimulus untuk tujuan produksi, dapat diberikan melalui insentif pajak maupun dukungan penempatan dana pemerintah melalui BUMN.
• Pemerintah perlu memperhatikan potensi peningkatan defisit anggaran sebagai akibat dari pemberian stimulus kepada kelompak masyarakat dan dunia usaha yang terkena dampak COVID-19. Pemberian kebijakan stimulus tetap perlu mempertimbangkan kemampuan pembiayaan dari pemerintah. Untuk itu, pemerintah perlu memberi ruang fleksibilitas untuk memfasilitasi potensi perubahan alokasi anggaran dalam APBN tersebut termasuk merubah postur APBN apabila diperlukan yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan ekonomi.
• Perumusan kebijakan fiskal dalam bentuk insentif dan subsidi khususnya pada sisi produksi perlu memperhatikan kaidah Hukum terkait kegiatan bisnis universal seperti Hukum Persaingan Usaha dan Hukum dagang, serta kesepakatan dalam perjanjian internasional, seperti WTO dan GATTS. Hal ini diperlukan agar langkah kebijakan domestik terkait penanggulangan pandemi COVID-19 tidak menimbulkan implikasi lain yang mencederai prinsip-prinsip dalam upaya keterbukaan pasar dan persaingan usaha yang berlaku dan telah disepakati.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.