Penulis: Andy Afandy, Benny Osta Nababan, Yoppie Christian, Andan Hamdani, Luthfa Jamila, M. Syarif Mulyadi, Aep Soleh, Ahmad Alif Rifan, Muh.Romli
Indonesia memiliki luas perairan laut 5,8 juta km2 (terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km2, luas perairan kepulauan 2,95 juta km2, dan luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia/ZEEI 2,55 juta km2), terbagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dengan jumlah potensi Sumber Daya Ikan (SDI) yang diperbolehkan (JTB/allowable catch) untuk ditangkap pada seluruh WPP sejumlah tertentu dari Maximum Sustainable Yield (MSY) - nya. Produksi perikanan tangkap Indonesia dalam kurun waktu 2013-2018 menunjukkan peningkatan, yaitu rata-rata 3,61 persen setiap tahunnya. Sementara itu kontribusinya terhadap PDB rata-rata 2,39 persen per tahun, dan secara nominal meningkat dari Rp210,67 triliun di tahun 2013 menjadi Rp385,9 triliun di tahun 2018. Obyek PNBP yang berasal dari pengambilan Sumber Daya Ikan (SDI) berupa pungutan hasil perikanan (PHP) menyumbang rata-rata sekitar 73 persen terhadap total PNBP di Kementerian Kelautan dan Perikanan, yaitu Rp491,03 miliar (2017), dan Rp448,03 miliar (2018). Capaian tersebut masih dibawah target yang ditentukan, yaitu Rp950 miliar (2017) dan Rp600 miliar (2018). Produksi perikanan tangkap yang tidak sebanding dengan capaian PNBP PHP terutama disebabkan oleh: (i) adanya kebijakan pembatasan skala kapal yang menjadi subjek wajib bayar PNBP PHP, yaitu armada penangkapan ikan, skala di atas 30 GT; (ii) formula perhitungan PNBP PHP yang belum dapat mengoptimalkan potensi penerimaan; dan (iii) implementasi operasionalisasi tata kelola yang masih memerlukan perbaikan. Mempertimbangkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian yang ditujukan untuk menganalisa tata kelola, mengkaji peluang optimalisasi dan potensi jenis pungutan baru, serta tindak implementasinya. Untuk menjawab kajian tersebut, kajian ini menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan data sekunder (publikasi/FGD) dan data primer (survey lapangan di 4 Pelabuhan Perikanan Samudera/PPS Belawan, Bungus, Nizam Zachman, dan Bitung).
Berdasarkan hasil analisis kajian tersebut diperoleh temuan hasil analisis sebagai berikut :
1. Peluang optimalisasi dilakukan melalui upaya: (i) updating Harga Patokan Ikan (HPI) yang saat ini masih menggunakan Permendag No.13/2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan; (ii) upgrading HPI, yaitu mendetailkan harga ikan berdasarkan bagian-bagian tubuh ikan, dan bukan hanya harga dagingnya; (iii) perhitungan PNBP PHP yang saat ini berdasarkan produktivitas kapal masih dapat dimodifikasi, yaitu berdasarkan pendekatan berbasis revenue (struktur biaya) dan willingness to pay (WTP). WTP ini dilakukan dengan mengukur kemampuan/kesediaan pelaku usaha membayar kewajiban PNBP PHP berdasarkan besaran PNBP PHP dibandingkan dengan keuntungan usaha yang diperoleh pelaku usaha. Temuan/analisis tersebut berdampak pada: pertama, dengan melakukan udating HPI berdasarkan rata-rata harga pendaratan ikan tahun 2018, dan harga Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) tahun 2020, maka realisasi PNBP PHP tahun 2018 diperkirakan dapat menghasilkan PNBP PHP Rp1,03 triliun (basis harga rata-rata pendaratan ikan tahun 2018), dan Rp1,3 triliun (basis harga PIPP 2020), yang berarti lebih tinggi dari realisasi PNBP PHP 2018 yang mencapai Rp441, 9 miliar. Kedua, dengan upgrading HPI untuk jenis ikan hiu/cucut (karena keterbatasan data) dapat diperoleh PNBP PHP lebih tinggi; dari Rp7,68 milyar di 2018 (menggunakan HPI Permendag 2011) menjadi Rp33,59 milyar. Ketiga, modifikasi angka perhitungan PNBP PHP berbasis revenue (struktur biaya) dan WTP, dimana datanya diperoleh berdasarkan data hasil survey. Berdasarkan data tersebut, maka pembayaran PNBP PHP didasarkan pada kemampuan/kemauan wajib bayar dengan tetap mempertimbangkan tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku usaha.
2. Berdasarkan hasil survey terhadap responden pelaku usaha penangkapan ikan di 4 PPS, menunjukkan tata kelola masih perlu diperbaiki. Beberapa hal terkait tata kelola yang berhubungan dengan upaya optimalisasi PNBP PHP, diantaranya yaitu: (i) penetapan besaran indeks produktivitas kapal (termasuk komposisi hasil tangkapan dan penetapan volume hasil tangkapan); (ii) pemungutan dan pembayaran PHP dimuka/front load; (iii) harga patokan ikan; dan (iv) percepatan proses pengurusan perijinan (SIPI).
3. Hasil survey juga menunjukkan adanya potensi jenis pungutan baru, yaitu pengenaan skema Resources Rent Tax (RRT) terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan yang memiliki nilai ekonomi penting (harga dan permintaan tinggi) melalui mekanisme user fees berbasis NPV (Net Profit Value). Skema ini diperuntukkan bagi armada penangkapan dengan ukuran1, Net B/C > 2, investasi > 500 juta, payback periods < 5 tahun, dan keuntungan >Rp120 juta/tahun).
4. Berdasarkan beberapa hasil temuan dan analisis diatas, terdapat 9 (sembilan) opsi kebijakan yang dapat dilakukan untuk optimalisasi PNBP PHP yaitu : (i) updating harga patokan ikan (HPI) tahun 2011; (ii) upgrading HPI 2011; (iii) modifikasi angka perhitungan PNBP PHP berbasis revenue dan WTP (willingness to pay); (iv) updating indeks produktivitas kapal; (v) penetapan komposisi tangkapan berdasarkan musim; (vi) perubahan waktu pemungutan; (vii) penetapan volume hasil tangkapan; (viii) pelayanan perijinan satu pintu di daerah; dan (ix) pengenaan resource rent tax (RRT). Berbagai opsi optimalisasi dan perbaikan tata kelola PNBP tersebut di atas berimplikasi baik terhadap perubahan berbagai regulasi seperti Permendag No.13/2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan (HPI), Permen Kelautan dan Perikanan No. KP No. 86/2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, Permen KP. No.38/2015 tentang Tata Cara Pemungutan PNBP pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan PP 75 No. 2015.
Berdasarkan uraian hasil analisis/temuan diatas, beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai berikut: (a) perlunya penguatan aspek kebijakan dengan melakukan penyesuaian operasionalisasi kebijakan yang terkait dengan PNBP PHP berupa regulasi tentang produktivitas kapal penangkap ikan, regulasi tentang tata cara pemungutan PNBP PHP, dan regulasi tentang penetapan harga patokan ikan (HPI); (b) perlunya penyempurnaan mekanisme perizinan melalui peningkatan harmonisasi/koordinasi/sinergi lintas kementerian/lembaga termasuk dengan pemerintah daerah; (c) perbaikan pendataan hasil penangkapan ikan dengan penetapan armada penangkapan ukuran >5 GT melaporkan hasil tangkapan melalui logbook; (d) harmonisasi tata kelola pengawasan perairan laut; serta (e) pengenaan resource rent tax yang berhati-hati dan selektif sesuai kriteria dan harmonis dengan ketentuan yang ada. Secara umum, keseluruhan rekomendasi hasil kajian ini dapat dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan kegiatan usaha/dunia usaha penangkapan ikan.
File Terkait:
Download File
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.