Tantangan Perbankan Syariah
Penulis: Makmun
Sistem ekonomi syariah dewasa ini semakin populer. Tak hanya di negara negara Islam, tetapi juga di negara Barat. Ini ditandai dengan makin banyaknya bank-bank menerapkan konsep syariah.
Melihat perkembangan itu, tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah. Ini menunjukkan nilai-nilai Islam dapat diterima di berbagai kalangan karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif.
Nilai-nilai itu, misalnya keadilan dan perlakuan yang sama dalam meraih kesempatan berusaha. Di Indonesia konsep ekonomi syariah mulai diterapkan sejak 1991 yang diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Pada awalnya berdirinya, BMI belum mendapatkan perhatian yang luas. Dalam perjalanannya, khususnya sejak MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, bank berbasis Syariah bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah lainnya, seperti asuransi syariah yang memang belum menjamur seperti bank syariah. Dalam tiga tahun terakhir ini industri perbankan syariah mengalami perkembangan yang pesat dan diiringi dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan dan tantangan.
Secara industri pada akhir 2005 terdapat tiga Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 92 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Hingga Desember 2007 jumlah BUS tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah UUS meningkat menjadi 26 dan BPRS menjadi 114.
Sejalan dengan bertambahnya jaringan kantor bank, pada periode 2005-2007 industri ini mengalami peningkatan volume usaha cukup besar, dari Rp 20,9 triliun pada akhir 2005 menjadi Rp 36,5 triliun tahun 2007. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga meningkat dari Rp15,6 triliun pada 2005 menjadi Rp 28,0 triliun pada 2007.
Kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan yang diberikan (PYD) perbankan syariah juga meningkat dari Rp 15,2 triliun pada akhir 2005 menjadi Rp 27,9 triliun pada 2007. Berdasarkan jenis penggunaannya, sebagian besar pembiayaan masih terfokus pada tiga jenis pembiayaan, yakni piutang mudharabah 59,24 persen, pembiayaan mudharabah 19,96 persen, dan pembiayaan musyarakah sebesar 15,77 persen. Pertumbuhan pembiayaan yang masih cukup tinggi dalam kondisi sektor riil yang kurang kondusif akibat meningkatnya tekanan inflasi, berdampak pada meningkatnya jumlah pembiayaan bermasalah (NPL).
Pada akhir 2005 NPL bertahan pada level terkendali, rasio NPF (gross) sebesar 2,8 persen. Namun, pada 2007 meningkat menjadi 4,05 persen. Dari sesi profitabilitas, pada 2005 perbankan syariah mampu mencatatkan tingkat keuntungan Rp 238,6 miliar, meningkat menjadi Rp 540,08 miliar pada 2007. Sejalan dengan peningkatan profitabilitas ini, rasio keuntungan terhadap aset yang dikelola meningkat dari 1,35 persen pada 2005 menjadi 1,78 persen tahun 2007.
Tantangan ke depan
Kondisi perbankan syariah pada tahun mendatang diperkirakan akan terus membaik. Ini terbukti dengan masih tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah.
Dalam rangka peningkatan jangkauan melalui kemudahan untuk membuka kantor pelayanan, diharapkan dapat memberikan pengaruh pada minat masyarakat. Di sisi lain, secara internasional peluang memanfaatkan investasi asing, khususnya dari Timur Tengah ke dalam sistem perekonomian Indonesia masih terbuka lebar.
Industri keuangan syariah secara internasional menunjukkan pertumbuhan sangat tinggi yang memberikan peluang besar bagi sistem keuangan syariah. Harapan dapat menerbitkan sukuk menjadi semakin besar dengan minat pemerintah menerbitkan global sukuk berdenominasi valuta asing.
Hal ini berpotensi meningkatkan variasi instrumen keuangan syariah yang akan sangat berguna bagi likuiditas sistem keuangan syariah. Sejalan dengan perkembangan ekonomi global dan meningkatnya minat masyarakat, perbankan syariah menghadapi tantangan besar.
Dalam usia relatif muda, setidaknya ada tiga tantangan besar ekonomi Islam. Pertama, ujian atas kredibiltas sistem ekonomi dan keuangannya. Kedua, bagaimana ekonomi syariah dapat meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi kemiskinan serta pengangguran. Ketiga, perangkat peraturan, hukum, dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional. Ahli ekonomi Islam di Indonesia yang terdiri dari akademisi dan praktisi telah membentuk organisasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang berdiri dan dideklarasikan pada 3 dan 4 Maret 2004 di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia dalam momentum Konvensi Nasional Ahli Ekonomi Islam Indonesia.
RUU Perbankan Syariah
Dewasa ini pemerintah tengah berusaha mengembangkan perbankan syariah. Pemerintah mengharapkan sistem perbankan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional yang dapat merespons agenda nasional.
Mengingat pentingnya pembangunan ekonomi syariah, pemerintah memberikan dukungan sepenuhnya bagi pengembangan sistem ekonomi syariah dengan melakukan perubahan Undang-Undang No 7/1992 tentang Perbankan menjadi UU No 10/1998. Undang-undang ini mengatur pranata hukum bagi keberadaan bank syariah di Indonesia.
Berdasarkan UU ini pula, bank umum konvensional diperbolehkan berusaha dengan prinsip syariah melalui pembukaan Unit Usaha Syariah. Pada 1999 pemerintah mengeluarkan UU No 23/1999 yang kemudian diamendemen dengan UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada BI untuk menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah.
Dalam mempercepat pertumbuhan perbankan syariah, keberadaan UU Perbankan Syariah mutlak diperlukan. Untuk mewujudkannya, pemerintah dengan DPR tengah menyelesaikan RUU tersebut. Hingga kini pembahasan RUU Perbankan Syariah masih menyisakan beberapa pasal krusial.
Adapun pasal-pasal krusial itu antara lain pasal berkenaan dengan 1) keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS), 2) keberadaan Unit Usaha Syariah (UUS), 3) masalah perizinan, 4) lembaga penyelesaian sengketa, 5) kepemilikan asing, 6) kewenangan penyidikan, dan 7) lembaga yang berwewenang menetapkan fatwa.
Pembahasan RUU ini diharapkan segera selesai. Dengan ditetapkannya UU Perbankan Syariah ini, nantinya diharapkan dapat menjadi faktor pemacu pertumbuhan perbankan syariah, baik dalam membuka jaringan bank umum syariah, UUS, maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pertumbuhan perbankan syariah ini selanjutnya diharapkan dapat membawa multiplier effect dalam perekonomian nasional. Selama ini perbankan syariah telah teruji kemampuannya dalam menciptakan stabilitas ekonomi bangsa secara menyeluruh.
Secara faktual perbankan syariah telah terbukti keunggulannya dalam masa krisis. Pada waktu bank konvensional mengalami guncangan akibat badai krisis pertengahan 1997, perbankan syariah dengan sistem bagi hasil terbukti selamat dari badai tersebut. Untuk itu, dengan keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan akan semakin menumbuhkan perekonomian nasional. Akhirnya, keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan pula dapat membawa dampak pada aliran dana investasi ke Indonesia yang semakin meningkat, terutama dari negara-negara Timur Tengah.
*Peneliti Bidang Pengelolaan Risiko Fiskal, Depkeu