Penulis: Zulvia Dwi Kurnaini, Khaled Tuanida Parlaungan, Indria Syafelifitria, Hesty Handayani, Febri Vabiono Pasaribu, Muhammad Olgiano Paellorisky, Moch. Irfan, dan Een Permana Deswarja
Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) merupakan unit organisasi non eselon di bawah Kementerian Keuangan yang melakukan fungsi pengelolaan dana lingkungan hidup dengan menggunakan pola pengelolaan badan layanan umum (BLU). Pembentukan BPDLH dimandatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (Perpres 77/2018). Pembentukan BPDLH merefleksikan komitmen Pemerintah Indonesia menangani dan mendanai upaya-upaya pengeloaan lingkungan hidup, termasuk mitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Selain subsektor kehutanan dan penggunaan lahan yang mekanisme pendanaannya saat ini sudah terbangun di BPDLH, energi terbarukan (ET) juga merupakan subsektor yang memiliki potensi besar dalam upaya penurunan GRK nasional. BPDLH sesuai dengan mandatnya, dapat berperan melakukan penggalangan dan pengelolaan dana-dana lingkungan hidup (environmental funds), yang kemudian disalurkan untuk membiayai proyek-proyek ET dalam rangka untuk mendukung upaya percepatan transisi energi bersih. Untuk itu, dibutuhkan suatu kajian guna merancang strategi optimalisasi BPDLH yang komprehensif.
Kajian ini dimaksudkan untuk memberi panduan dalam mendesain Jendela Pendanaan Energi Terbarukan (JPET) untuk dapat dioperasionalisasikan oleh BPDLH secara transparan, akuntabel, tepat sasaran, dan efisien. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memastikan para pembuat kebijakan memiliki panduan yang rinci terkait dengan struktur kelembagaan, perencanaan dan pengadaan ET, analisis risiko proyek ET, jenis instrumen pendanaan, mekanisme penyaluran instrumen pendanaan, pipeline dan prioritisasi proyek ET, proyeksi pendanaan, serta prakondisi yang dibutuhkan. Adapun ruang lingkup teknologi ET yang dibahas dalam kajian ini meliputi tenaga surya, hidro, angin, biomassa, dan biogas. Struktur pelaksanaan BPDLH-JPET dibentuk oleh Komite Pengarah dengan melibatkan untuk melibatkan pemangku kepentingan terkait dalam suatu tim kerja yang disebut dengan Tim Kerja Energi Terbarukan. Tim ini bertugas menyiapkan segala hal terkait perencanaan, penyiapan kebijakan sektoral untuk mendukung implementasi proyek ET serta melakukan pemantauan dan evaluasi proyek yang didanai oleh BPDLH.
Dalam penyusunan rencana strategi bisnis, BPDLH mengacu pada peraturan dan kebijakan yang berlaku seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2012 tentang Ketenagalistrikan; Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional; Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Selain itu, perencanaan ketenagalistrikan yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan Listrik Desa PLN, serta National Determined Contribution juga menjadi acuan. Tipologi perencanaan program BPDLH meliputi proyek on-grid (terhubung dengan jaringan utama PLN), mini-grid (terhubung dengan jaringan lokal dan sistem pembangkit diesel PLN), dan off-grid (tidak terhubung dengan jaringan PLN).
BDPLH diharapkan dapat menjalankan fungsi pengurangan risiko (derisking) atas proyekproyek ET yang selama ini menjadi tantangan dan tidak cukup menarik minat investasi sektor swasta untuk terlibat dalam pengembangan ET. Risiko-risiko dari proyek ET ini meliputi risiko umum yang terkait dengan tahapan proyek, maupun risiko khusus sesuai jenis teknologi yang digunakan, yakni risiko di tahap identifikasi proyek seperti keterbatasan ketersediaan data dan akses terhadap lahan, tahap perizinan, tahap perjanjian dengan offtaker atau pembeli listrik dimana terdapat risiko Power Purchase Agreement (PPA) tidak bankable, tahap financial close yang berisiko tidak tercapai, tahap konstruksi, serta tahap operasionalisasi, seperti risiko pembatasan output energi yang dibangkitkan.
Keberhasilan BPDLH dalam menyalurkan pendanaan melalui instrumen-instrumen di bawah kewenangannya akan bergantung pada terpenuhinya prakondisi dari institusi terkait, antara lain:
1. Adanya buy-in yang kuat dari kementerian dan lembaga sektoral, termasuk PLN, Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN
2. Ketersediaan anggaran untuk tenaga ahli teknis maupun finansial yang kompeten dalam melakukan evaluasi dan penilaian proyek termasuk ke dalam biaya operasional BPDLH
3. BPDLH memiliki platform untuk pemantauan dan evaluasi untuk pipeline proyek
4. Kesiapan dan sinergi dengan lembaga-lembaga pendukung, seperti Jamkrindo, Askrindo, dan Special Mission Vehicles Kementerian Keuangan.
Dari sisi proyek, prakondisi yang diperlukan antara lain yaitu proyek sudah memiliki offtaker, proyek yang sudah mendekati financial close, dan diberikan kepada pengembang yang sudah memenuhi kewajiban.
Beberapa alternatif instrumen keuangan yang dikaji untuk dilakukan oleh BPDLH JPET:
1) Viability Gap Fund (VGF) adalah dukungan bagi badan usaha pelaksana proyek untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek. Instrumen VGF yang dibahas dalam laporan ini adalah subsidi tarif.
2) Project Development Fund (PDF) adalah dukungan bagi pemilik proyek untuk meningkatkan kualitas proyek dan menurunkan biaya transaksi proyek. Instrumeninstrumen PDF yang diusulkan untuk BPDLH meliputi: 1) Upgrade Feasibility Study (FS) berstandar internasional; 2) Hibah biaya transaksi keuangan; dan 3) Program khusus PLTS Atap dengan mekanisme rebate.
3) Credit Enhancement Fund (CEF) adalah dukungan bagi pemilik modal untuk menurunkan persepsi risiko yang dihadapi lembaga pembiayaan dalam pembiayaan proyek. Instrumen-instrumen CEF yang diusulkan untuk BPDLH meliputi: 1) Pinajaman untuk Interest During Construction (IDC); 2) Pinjaman mezzanine; 3) Jaminan implementasi proyek; 4) Subsidi premi asuransi; 5) Fasilitas risiko likuiditas; 6) Partial credit guarantee; 7) Restricted two-step loans; 8) Subsidi bunga; dan 9) Program khusus PLTS Atap dengan mekanisme leasing atau channeling.
4) Technical Assistance (TA) Fund adalah dana hibah untuk mendukung persiapan dan pengembangan proyek termasuk peningkatan kapasitas institusi dan/atau pengembang proyek untuk kegiatan pengumpulan dan pengelolaan data, identifikasi dan seleksi pipeline proyek, serta penyaluran dana, dan pemantauan dan evaluasi proyek.
Mekanisme pengadaan yang didiskusikan dalam laporan ini mencakup tahap dari setiap jenis tender yang terdiri dari tahap perencanaan dan persiapan, tahap prakualifikasi, dan tahap transaksi. Pada tahap perencanaan dan persiapan, Tim Kerja Energi Terbarukan menentukan pipeline proyek-proyek ET dan alokasi pendanaan dalam bentuk paket/unit yang akan disalurkan untuk setiap instrumen, serta membentuk komite tender dari tenaga ahli teknis dan keuangan baik dari perwakilan direktorat-direktorat BPDLH maupun tenaga ahli dari luar yang direkrut oleh BPDLH. Tahap berikutnya dengan tahap prakualifikasi yang dimulai dari pengumuman Expression of Interest (EoI) serta evaluasi EoI. Bagi pengembang yang lolos kualifikasi, dapat melanjutkan ke tahap transaksi meliputi proses permintaan proposal, penilaian proposal, penetapan pemenang tender, penandatanganan perjanjian dan proses pencairan.
Dengan sistem pasar ketenagalistrikan Indonesia dimana PLN bertindak sebagai pembeli tunggal listrik, maka penetapan prioritas proyek akan sangat tergantung kepada kerjasama BPDLH-JPET dengan PLN dan KESDM. Oleh karena itu, studi daya dukung jaringan menjadi sebuah katalis penting untuk mengetahui tingkat kapasitas dan fleksibilitas jaringan untuk menerima pembangkit berbasis ET yang bersifat intermitten atau tidak kontinu, yang hasilnya dapat digunakan PLN untuk melakukan tender proyek. Selain itu, penyaluran pendanaan juga akan diutamakan untuk proyek -proyek yang sudah memiliki Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PLN tetapi menemukan kesulitan pendanaan.
File Terkait:
Download File
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.