Penulis:
Pandemi Covid-19 berdampak luas terhadap semua negara di dunia. Dampak yang paling dirasakan yaitu pertumbuhan ekonomi di setiap negara mengalami tekanan yang cukup besar. Beberapa negara seperti AS, Jepang, Singapura, Thailand, dan lain sebagainya bahkan sudah mengalami pertumbuhan negatif pada dua triwulan pertama di tahun 2020.Tak terkecuali Indonesia, tekanan ekonomi akibat pandemi Covid ini juga dirasakan pada tingkat pertumbuhan PDB Indonesia yang merosot menjadi 2,97 persen pada triwulan I tahun 2020 dan bahkan mengalami kontraksi 5,32 persen pada triwulan II tahun 2020.
Di dalam sistem perekonomian suatu negara, pandemi Covid ini secara makro akan mengganggu aliran arus barang/jasa dan uang terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam sistem. Sebagai salah satu stakeholders, sektor bisnis sangat terpukul dengan pandemi ini, terutama sebagai akibat kebijakan “containment” yang diberlakukan untuk mencegah meluasnya penyebaran virus COVID. Di satu sisi, pendapatan penjualannya merosot tajam karena berkurangnya pembelian konsumen. Sementara di sisi lainnya, sektor bisnis terganggu produksinya akibat kurang lancarnya pasokan bahan baku/penolong. Tersendatnya pasokan bahan baku/penolong berlaku baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Akibatnya, tidak sedikit sektor bisnis yang terpaksa menutup operasinya.
Sektor bisnis di Indonesia masih didominasi oleh usaha berskala mikro kecil dan menengah (UMKM). Jumlahnya mencapai 99,9 persen dari total 64,2 juta unit usaha. Jika dirinci lebih dalam, usaha berskala mikro (memiliki omzet/tahun maksimal 300 juta dan memiliki aset maksimal 50 juta) adalah yang terbesar jumlahnya, mencapai 63,3 juta unit. Tentunya dengan variasi karakteristiknya yang khas membuat kelompok usaha ini juga sangat terdampak.
Berdasarkan data yang dimiliki, 89 persen pelaku usaha mikro kecil di Indonesia tidak menyelesaikan perguruan tinggi. Selain itu, 61 persen pelaku usaha ini memiliki usia di atas 40 tahun dan 64 persen merupakan wanita. Tingkat literasi digital pun baru terbatas untuk kebutuhan sosial dan belum menyentuh aspek bisnis. Sedangkan untuk tingkat literasi keuangan, para pelaku usaha ini masih terbatas pada memiliki rekening dan belum mengakses pinjaman. Pendampingan pun belum cukup efektif karena bentuknya baru pertemuan biasa saja. Dengan mempertimbangkan itu semua, program pemulihan ekonomi bagi pelaku usaha ini harus dilakukan dengan tepat namun tidak menyulitkan.
Dalam menentukan faktor apa yang dibutuhkan UMKM, perlu diidentifikasi dampak pandemi ini terhadap sektor UMKM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ABDSI (2020), 68 persen usaha mikro memutuskan untuk menghentikan usahanya. Meskipun terdapat 28 persen usaha yang masih berjalan, banyak dari mereka yang harus melakukan penghematan dengan mengurangi karyawan. Hal ini tentu tidak terlepas dari kondisi usaha mikro dimana 53 persen usaha mikro tidak memiliki persediaan kas sama sekali. Sedangkan 32 persen lainnya hanya memiliki persediaan kas bagi kegiatan operasional rumah tangganya. Hal ini menunjukkan pentingnya dorongan bagi pelaku usaha berkaitan dengan ketersediaan kas.
Kehadiran negara untuk menolong usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang sedang mengalami keterpurukan sangat jelas. Kebijakannya dikenal dengan nama Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang salah satunya diperuntukan bagi UMKM. Total anggaran yang dialokasikan untuk menolong UMKM juga cukup besar yaitu Rp123,5 triliun, atau 17,7 persen dari total stimulus anggaran biaya penanganan Covid-19 nasional Rp695,2 triliun di tahun 2020. Sayangnya program PEN UMKM yang ada saat ini masih bersifat “cost deferral” (menunda biaya) dan hanya bisa dinikmati oleh UMKM yang sudah punya pinjaman perbankan dan punya NPWP. Pendeknya, hanya dinikmati oleh UMKM yang sudah berstatus formal. Padahal mayoritas UMKM didominasi oleh usaha mikro yang hampir seluruhnya berstatus informal (tidak berbadan hukum) dan subsisten.
Dengan mempertimbangkan variasi karakteristik usahanya yang khas, diperlukan design program khusus untuk membantu kelompok usaha mikro. Programnya harus bersifat “cash injection” (bantuan kas tunai/hibah) yang memang sangat diperlukan mereka untuk menggerakkan kembali usahanya ataupun untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru. Di samping itu, program ini harus bisa cepat direalisasikan karena kebutuhannya yang mendesak. Oleh sebab itu persyaratan dan kriterianya juga tidak boleh terlalu sulit, namun sambil tetap menjaga aspek akuntabilitasnya.
Beberapa kelemahan, kelebihan, peluang serta tantangan terdapat pada program bantuan kas tunai bagi UMKM. Kelebihan dari program tersebut, antara lain: berbentuk uang tunai yang dibutuhkan oleh UMKM di masa pandemi Covid-19, kemudahan verifikasi UMKM yang terdampak Covid-19 dari Sistem Informasi Kredit Program, peningkatan literasi keuangan, serta adanya surat pernyataan tanggung jawab mutlak. Kelemahan dari program tersebut, antara lain: sulitnya mendapatkan data UKM, kesulitan verifikasi, moral hazard (baru membentuk usaha agar mendapatkan bantuan), kesulitan evaluasi penggunaan dana, jumlah pengajuan yang kurang/lebih dari kuota dan lamanya waktu pengajuan. Beberapa faktor peluang dari pihak luar, adalah tersedianya alternatif sumber pendanaan selain APBN, potensi terafiliasi dengan program pendampingan UKM dan momen pembenahan data UKM. Terakhir, tantangan program bantuan tunai adalah sulitnya koordinasi dengan pemda, adanya pungutan liar kepada penerima dana, tumpang tindih program, adanya potensi menerima banyak bantuan modal usaha mikro serta beban pekerjaan kementerian yang bertambah.
Sebagai rekomendasi, mitigasi risiko dilakukan dimulai dari fase pendaftaran hingga evaluasi. Permasalahan pada fase pendaftaran dapat diatasi dengan sosialisasi yang luas dengan memperhatikan alur dan konten, sosialisasi pada level kecamatan serta komunitas, adanya jalur langsung untuk mendaftar ke Kemenkop, sistem kuota dan pengusul harus aware dan memiliki SOP khusus untuk group lending. Pada fase pendataan, rekomendasi yang dapat diberikan adalah sosialisasi. Pada fase verifikasi serta validasi data mitigasi yang dapat dilakukan, antara lain adanya sentralisasi proses verifikasi data di deputi penanggung jawab program, prinsip (1 NIK, 1 usaha serta 1 nomor rekening), adanya MoU antara Kemenkop UKM dengan OJK dan Ditjen Perbendaharaan serta Kemendagri terkait sharing data nasabah kepada Dinkop serta pengecekan usaha dilakukan di level komunitas dan kecamatan. Pada fase penyaluran mitigasi yang dapat dilakukan, antara lain adanya sosialisasi bahwa program ini gratis, diskresi dari pemda (Dinkop) dan perlunya tambahan anggaran pelaksanaan. Fase terakhir adalah evaluasi. Pada fase ini, rekomendasi yang dapat dilakukan adalah membuat media center termasuk hotline pengaduan.
File Terkait:
Download File
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.