Penulis: Syahrir Ika; Tim Editor: Lokot Zein Nasution, Bitra Suyatno, dan Nugroho Agung Wijoyo
Inklusi keuangan berarti para individu dan pelaku usaha memiliki kemampuan untuk mengakses produk dan layanan keuangan seperti transaction, payments, savings, credit dan insurance. Akses keuangan memfasilitasi kehidupan sehari-hari, dan membantu keluarga dan bisnis merencanakan segalanya mulai dari tujuan jangka panjang hingga keadaan darurat yang tidak terduga. Karena itu, inklusi keuangan merupakan faktor pendorong utama untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta meningkatkan kemakmuran rakyat.
Saat ini tidak kurang dari 1,2 miliar orang di dunia tidak memiliki rekening (account), sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mengakses produk dan layanan keuangan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 80 juta orang dikategorikan sebagai unbanked population atau excluded population. Kondisi inilah yang membuat masih banyak penduduk yang hidup dalam kondisi miskin. Pemusatan kekayaan yang terbatas pada kelompok masyarakat tertentu telah menimbulkan masalah lebarnya kesenjangan antarpenduduk dan antardaerah. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mendorong percepatan inklusi keuangan. Komitmen itu terefleksi dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2020 Tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), di mana Presiden RI memimpin langsung Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI). Strategi nasional inklusi keuangan pun sudah dibangun dengan baik. Lembaga-lembaga keuangan bank dan non-bank juga semakin banyak dan aktivitasnya semakin berkembang. Namun, indeks inklusi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah. Global Findex Database Bank Dunia melaporkan indeks inklusi keuangan Indonesia tahun 2017 hanya sebesar 48,9 persen. Artinya, ada banyak kendala bagi sebagian besar penduduk dewasa di Indonesia untuk mengakses produk dan layanan keuangan serta menggunakannya untuk berbagai kebutuhan. Perlu ada upaya yang lebih sistematis untuk mempercepat inklusi keuangan. Presiden Joko Widodo juga telah menetapkan target inklusi keuangan 90 persen harus dicapai pada tahun 2024. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi strategi inklusi keuangan di Indonesia dan perkembangannya serta merekomendasi kebijakan dan program kreatif yang perlu dilakukan otoritas (Pemerintah, BI, dan OJK).
Adapun kesimpulan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Inklusi keuangan merujuk pada individu-individu dan pelaku usaha yang memiliki akses untuk menjangkau dan menggunakan produk dan layanan keuangan seperti melakukan transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi secara bertanggungjawab dan berkesinambungan. Inklusi keuangan merupakan basic financial services untuk semua orang. Individu dan pelaku usaha yang memiliki rekening menggunakan layanan keuangan untuk mengembangkan bisnis, berinvestasi dalam pendidikan atau kesehatan, mengelola risiko, dan mengatasi guncangan keuangan, yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan, sehingga inklusi keuangan menjadi faktor pendorong utama dalam mengurangi kemiskinan serta meningkatkan keadilan dan kemakmuran rakyat.
2. Dalam mengukur inklusi keuangan, ada tiga dimensi pengukuran yang biasanya digunakan secara internasional. Ketiga dimensi itu adalah penetrasi (accessibility), ketersediaan layanan keuangan (availability), dan penggunaan layanan keuangan (usage). Dimensi accessibility mengandung makna bahwa inklusi keuangan harus memiliki pengguna sebanyak mungkin, yang tergambar dari besarnya proporsi orang dewasa yang memiliki rekening bank (banked population) dan menyimpan uang di lembaga keuangan formal (bank umum, serikat kredit/bank koperasi, dan lembaga keuangan mikro atau LKM). Dimensi availability mengandung arti kehadiran layanan lembaga keuangan mendekati masyarakat, yang tergambar dari jumlah kantor layanan keuangan dan/atau ATM yang tersedia di suatu wilayah. Sedangkan dimensi usage dimotivasi oleh adanya persoalan 'underbanked' atau 'marginally banked'. Dimensi usage lebih menekankan pada penggunaan rekening atau akun lembaga keuangan secara bertanggung jawab dan berkesinambungan.
3. Pengukuran inklusi keuangan menggunakan hanya satu dimensi pengukuran tidak memberikan gambaran yang sempurna mengenai kondisi inklusi keuangan yang sesungguhnya, bahkan berpotensi bias interpretasi sehingga menimbulkan bias kebijakan. Mengukur inklusi keuangan hanya dengan indikator proporsi populasi orang dewasa atau rumah tangga dari suatu perekonomian yang memiliki akses ke layanan keuangan formal atau memiliki rekening bank, mengandung kelemahan karena biasanya bank tidak memberikan informasi tentang jumlah nasabah mereka. Bank biasanya hanya mengungkapkan jumlah rekening bank yang dimiliki di bank. Karena itu, ukuran aksesibilitas hanya dapat diperoleh melalui survei primer yang dirancang khusus.
4. Survei inklusi keuangan di Indonesia yang dilakukan DNKI dan OJK, hanya mengukur inklusi keuangan dari satu dimensi pengukuran, yaitu dimensi accessibility sesuai dengan definisi inklusi keuangan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2020. Metode ini hanya memberikan penjelasan atau gambaran dari dimensi aksesibilitas dan tidak mampu memberikan penjelasan yang baik tentang dua dimensi lainnya (availability dan usage) sebagaimana yang dilakukan secara international. Pengukuran inklusi keuangan hanya dengan menggunakan indikator parsial atau satu dimensi dapat menyebabkan salah tafsir tentang tingkat inklusi keuangan dalam suatu perekonomian. Aksesibilitas sebenarnya hanya merupakan ‘tiket masuk’ ke layanan keuangan, karena itu tidak menggambarkan kualitas penggunaan produk dan layanan keuangan. Survei DNKI-IFI Indonesia mengonfirmasi indeks inklusi keuangan Indonesia pada tahun 2019 telah melewati 70 persen, berbeda jauh dengan yang dilaporkan Global Findex Database.
5. Presiden Joko Widodo selaku Ketua Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) telah menetapkan target inklusi keuangan secara nasional sebesar 90 persen pada tahun 2024. Target tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden No.114 Tahun 2020. Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian DNKI berkewajiban melaporkan perkembangan inklusi keuangan secara periodik kepada Presiden. Untuk itu, DNKI dan/atau OJK melakukan survei indeks inklusi keuangan dalam periode tiga tahun sekali dan memantau perkembangan inklusi keuangan setiap tahun untuk dilaporkan kepada Presiden.
6. Survei Financial Inclusion Insight (FII) Indonesia bekerja sama dengan DNKI menemukan bahwa sebanyak 70,3 persen orang dewasa di Indonesia pernah menggunakan produk atau layanan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan formal, tetapi hanya 55,7 persen di antaranya yang memiliki akun. Dengan kata lain, banyak populasi orang dewasa menggunakan produk dan layanan keuangan, akan tetapi meminjam akun orang lain. Survei IFI juga menemukan bahwa akses masyarakat ke layanan keuangan non-bank lebih rendah lagi, di bawah 30 persen. Akses penduduk ke layanan asuransi 26 persen dan layanan dana pensiun 19 persen, layanan Koperasi dan LKM 13,3 persen, layanan Pegadaian 10 persen, dan layanan investment fund kurang dari 1 persen. Dengan demikian, ada persoalan dari sisi supply maupun demand.
7. Salah satu strategi pemerintah Indonesia untuk mendorong percepatan inklusi keuangan adalah membuka akses layanan keuangan sebanyak mungkin kepada UMKM, khususnya unbanked population, melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Dana KUR bukan berasal dari pemerintah, melainkan dari lembaga penyalur KUR seperti Bank-Bank Komersil, Bank Pembangunan Daerah, dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Sementara, dana UMi berasal dari APBN yang dikoordinasikan oleh BLU Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Dalam program KUR, peran pemerintah adalah memberikan subsidi bunga dan penjaminan risiko kredit macet. Komitmen pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan melalui dua program ini tercermin dari plafon KUR yang terus dinaikkan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020 plafon KUR sebesar Rp190 Triliun dan akan ditingkatkan secara bertahap sampai dengan Rp325 Triliun pada tahun 2024. Khusus KUR Mikro, plafonnya ditingkatkan dari Rp25 juta menjadi Rp50 juta per debitur. Presiden juga meminta proporsi kredit kepada UMKM terhadap total kredit minimal 30 persen pada tahun 2024. Realisasi KUR hingga 31 Desember 2020 realisasi sudah mencapai Rp 670,5 Triliun. Program UMi memberikan fasilitas pembiayaan kepada unbanked population maksimal Rp10 juta per nasabah. Realisasi penyaluran hingga 30 September 2020 sudah mencapai Rp 4,8 triliun kepada sekitar 1,46 juta debitur. Namun, survei FII-Indonesia menemukan jumlah orang dewasa yang akses ke kredit mikro melalui KUR dan UMi masih sangat sedikit, masing-masing KUR 6,9 persen dan UMi hanya 0,9 persen.
8. Fintech merupakan inovasi layanan keuangan dengan sentuhan teknologi modern. Di Indonesia banyak bermunculan perusahaan-perusahaan teknologi finansial (Fintech Company). Data OJK mengonfirmasi hingga tahun 2020 jumlah Fintech Company yang terdaftar di OJK sebanyak 149 perusahaan, akan tetapi baru 38 perusahaan di antaranya yang memperoleh izin operasi. Perusahaan Fintech ini menawarkan layanan keuangan digital seperti crowdfunding, mobile payment, dan pembiayaan berbasis peer to peer Lending (P2PL). Model bisnis ini dapat membantu UMKM dalam mendapatkan akses keuangan dan juga dapat meningkatkan kinerja lembaga keuangan formal itu sendiri sehingga keberadaannya menjadi komplementer. OJK mengonfirmasi akumulasi pinjaman P2PL dalam periode 2018-2020 sudah mencapai Rp155,9 triliun dan mencakup jumlah rekening pinjaman sebanyak 43,5 juta entitas. Fintech mendapat perhatian masyarakat yang membutuhkan dana karena memiliki banyak kelebihan seperti proses peminjaman yang jauh lebih cepat dan mudah serta persyaratannya yang lebih ringan, di antaranya fleksibilitas pada agunannya. Namun, jangkauan Fintech masih terbatas di pulau Jawa, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). OJK mengonfirmasi sekitar 94% dari total penyelenggara Fintech berada di kawasan ini.
Kajian ini memberikan beberapa rekomendasi sbb.
1. Pemerintah perlu meredefinisikan inklusi keuangan dengan menyesuaikan dengan definisi keuangan yang berlaku secara internasional, tidak hanya melihat dari sisi aksesibilitas. Bila merujuk pada definisi Bank Dunia (2016), maka inklusi keuangan adalah ‘akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan yang bermanfaat dan terjangkau dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun usahanya dalam hal ini transaksi, pembayaran, tabungan, kredit dan asuransi yang digunakan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan’. Atau, bila merujuk pada definisi Peterson K. Ozili (2020), maka inklusi merujuk pada the ease of access to, and the availability of, basic financial services to all members of the population. Bisa juga menggunakan definisi dari Consultative Group to Assist the Poor (CGAP, 2016), yaitu ‘akses yang dimiliki oleh rumah tangga dan bisnis terhadap penggunaan produk dan layanan jasa keuangan secara efektif’.
2. Dalam mengukur inklusi keuangan yang tepat harus memasukkan informasi tentang sebanyak mungkin aspek (dimensi) inklusi keuangan, harus mudah dan sederhana untuk dihitung, dan oleh karena itu dapat dibandingkan dari waktu ke waktu bahkan dengan negara lain. Disarankan kepada DNKI agar dalam survei yang akan datang sebaiknya menggunakan tiga dimensi pengukuran inklusi keuangan yang berlaku secara internasional, yaitu aksesibilitas (accessibility), ketersediaan layanan keuangan (availability), dan penggunaan layanan keuangan (usage).
3. Strategi Indonesia untuk mendorong percepatan inklusi keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 114 Tahun 2020 sudah tepat. Ke depan, otoritas perlu lebih fokus mengawal implementasi dari kebijakan dan program-program inklusi keuangan, di antaranya peningkatan literasi keuangan dan peningkataan peran program-program kreatif seperti KUR dan Pembiayaan UMi untuk lebih banyak menggarap unbanked population atau excluded population. Holding BUMN Ultra Mikro yang di-lead oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), harus dikawal dengan key performance indicators (KPIs) agar tidak mengurangi peran PT Pegadaian (Persero) dan PT (PNM) persero untuk berkontribusi dalam percepatan inklusi keuangan.
4. Koperasi, khususnya KSP juga harus didorong untuk menyalurkan KUR dan Pembiayaan UMi. Karena itu, beberapa peraturan dan perundangan terkait Koperasi dan UKM perlu direvisi atau disesuaikan agar memberikan jalan bagi Koperasi berperan dalam medorong inklusi keuangan dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama. Pengawas aktivitas KSP sebaiknya dilakukan oleh OJK, dan karena itu perlu diperkuat aturannya dengan Undang-Undang.
5. Pembinaan terhadap perusahaan Fintech juga harus lebih ditingkatkan lagi agar lebih banyak lagi yang mendapatkan izin operasi dari OJK. Fokus pemerintah dan OJK bukan pada memberikan sanksi kepada perusahaan fintech yang ‘nakal’ tetapi memberdayakan mereka dan memberikan dukungan fiskal maupun non fiskal kepada perusahaan-perusahaan Fintech yang sudah berizin untuk memberikan layanan keuangan kepada masyarakat.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.