Penulis: Ragimun, Rudi Handoko, Makmun, Imran Rosjadi, Harun Prihananto (2021)
Pendirian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang telah ditandatangani bulan November 2020, merupakan gagasan untuk mengintegrasikan perdagangan bebas ASEAN dengan lima negara mitra dagang. Pada dasarnya RCEP memiliki tujuan progresif, yaitu menghapuskan tarif dan hambatan non-tarif serta memfasilitasi dan meningkatkan transparansi perdagangan antar negara anggota. Prinsip utamanya kerja sama dan pembentukan blok perdagangan bebas guna mendapatkan keuntungan atas kerja sama antar negara anggota.
Peluang kerja sama RCEP, antara lain mempunyai populasi lebih dari 2,2 milyar penduduk atau 29,6 persen dari seluruh anggota RCEP. Negara-negara anggota diharapkan akan menguasai pangsa pasar sebesar 27,4 persen dari perdagangan dunia dengan nilai USD 17 Triliun. Selain itu, menguasai PDB dunia sebesar 30,2 persen dan akan tumbuh rata-rata 6 persen pertahun, ditambah lagi akses pasar terutama dari China, Korea Selatan dan Jepang.
Hasil penelitian yang telah dilakukan beberapa lembaga, merekomendasikan bahwa keikutsertaan keanggotaan RCEP ternyata akan berpengaruh positif bagi Indonesia. Namun permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah selain adanya barang-barang ekspor Indonesia yang mempunyai daya saing tinggi tetapi banyak juga barang yang mempunyai daya saing lemah dan sulit masuk (akses) ke pasar negara anggota RCEP.
Kajian ini bertujuan memetakan kinerja ekspor Indonesia dan daya saing komoditas Indonesia ke negara anggota RCEP. Penelitian ini juga diharapkan dapat menggambarkan indikator dan posisi berbagai komoditas perdagangan Indonesia (HS 4 digit) terhadap 14 negara RCEP, sehingga dapat membantu
menegosiasikan serta menentukan strategi dagang Indonesia dengan negara anggota lainnya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Constant Market Share Analysis (CMSA). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan 14 negara anggota RCEP selama tiga tahun terakhir (2018-2020) bervariasi. Neraca perdagangan dengan RRT, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Singapura, Thailand, dan Laos mengalami defisit. Sedangkan dengan Filipina, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Brunei Darussalam dan Vietnam mengalami surplus. Oleh karena itu negosiasi yang dapat dilakukan dengan beberapa negara anggota RCEP mengenai imbal dagang sebagai salah satu langkah menutup defisit neraca perdagangan Indonesia, khususnya negosiasi dengan RRT, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru, Thailand, Singapura dan Laos.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan 14 negara anggota RCEP selama tiga tahun terakhir (2018-2020) mempunyai posisi sebagai berikut, dengan RRT, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru mengalami defisit yang cukup tajam. Sedangkan dengan negara-negara ASEAN bervariasi. Neraca perdagangan Indonesia dengan Filipina ternyata mengalami surplus. Hal ini diikuti oleh Kamboja, Malaysia, Myanmar, Brunei Darussalam dan Vietnam. Enam negara ASEAN ini mengalami surplus bagi Indonesia, sedangkan 3 negara lainnya mengalami defisit yakni Laos, Singapura dan Thailand. Singapura dan Thailand merupakan dua negara yang menyerap barang dari Indonesia relatif besar, namun sebaliknya impor dari kedua negara juga sangat besar.
Hasil RCA dan CMSA tahun 2014 dan 2019, jenis produk ekspor unggulan Indonesia berjumlah 4.122 produk yang tersebar pada seluruh negara anggota RCEP. Produk ekspor/sektor industri kimia merupakan sektor yang paling banyak jenis produk unggulan Indonesia ke negara RCEP, selain itu sektor mesin dan alat listrik, produk tekstil dan produk logam. Khusus produk ekspor unggulan Indonesia ke RRT, dari total produk ekspor Indonesia sebesar 1259 HS 4 digit ternyata hanya 454 produk unggulan atau 36% dan sisanya 805 atau sebesar 64 % produk bukan unggulan. Produk unggulan Indonesia masih didominasi oleh migas, batubara, lignite, nikel dan CPO yang merupakan barang-barang dengan kriteria great. Sedangkan beberapa barang bukan unggulan seperti produk tekstil, kertas, briket batubara, tembaga dan karet yang merupakan kriteria produk sunset.
Salah satu penyebab defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura adalah terjadinya defisit khusus produk migas. Hal ini disebabkan Indonesia mengekspor bahan minyak dan gas mentah ke kedua negara, akan tetapi mengimpor kembali minyak olahan sehingga nilainya lebih tinggi dibanding nilai ekspornya. Sedangkan kinerja neraca perdagangan non migas yang mengalami defisit dengan negara ASEAN adalah Thailand dan Laos. Hal ini disebabkan Indonesia masih banyak impor hasil pertanian seperti buah-buahan dan beras. Demikian juga produk manufaktur spare part otomotif, mesin pesawat mekanik serta produk plastik.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.