Penulis: M. Imron, Subkhan, Martini H, Afdi Nizar, Risyaf F, Risnandar, Ivana S, Frida N, Indah KJE, Masyitha MR, Priska Amalia, Pusat Kebijakan Sektor Keuangan dan Prospera (2022).
Usaha mikro dan kecil (UMK) memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah UMK yang relatif stabil, besarnya kapasitas serapan tenaga kerja dari UMK dan kontribusinya yang besar terhadap perekonomian. Sementara, dukungan bagi UMK dari sisi pembiayaan atau financing guna mendorong dan mengoptimalkan peranan penting UMK dirasakan masih belum optimal. Terdapat kebutuhan peningkatan akses pembiayaan terhadap UMK untuk mendorong perekonomian nasional. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), sebagai salah satu lembaga intermediari formal yang berfokus terhadap pembiayaan UMK, berpotensi sebagai wahana tersendiri dalam mengamplifikasi peranan UMK melalui peningkatan akses pembiayaan.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi BPR dan BPRS di lapangan, khususnya tantangan yang dihadapi oleh BPR dan BPRS dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan dan menggalang dana pihak ketiga (DPK). Selain itu, kajian ini telah mengidentifikasi lebih lanjut kinerja BPR dan BPRS dalam melaksanakan peran dan fungsinya menjadi lembaga jasa keuangan (LJK) untuk UMK di tingkat provinsi. Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui best practice dari BPR dan BPRS yang memiliki kinerja yang baik sebagai contoh bagi BPR dan BPRS lainnya dan sebagai masukan dalam pengembangan kerangka peta jalan pembiayaan UMK.
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder yang terdiri dari beberapa variabel ekonomi dengan menggunakan skala provinsi di Indonesia (34 provinsi) dan variabel kinerja industri BPR dan BPRS. Adapun metodologi yang digunakan mencakup analisa kuantitatif dan deskriptif berdasarkan hasil pengolahan data sekunder dengan menggunakan perhitungan matematika dan bantuan aplikasi Ms. Excel.
Berdasarkan hasil analisa yang didapat, didapatkan beberapa penemuan bahwa secara keseluruhan, aset dari BPRS/BPRS hanya mewakili 0,95 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (tahun 2021). Sementara itu, dalam kerangka rasio pembiayaan BPR/BPRS terhadap PDB nasional, total pembiayaan BPR/BPRS terhadap PDB nasional (tahun 2021) relatif kecil sebesar 0,73 persen. Dalam kerangka kinerja portofolio, portofolio pembiayaan BPR/BPRS terbesar ditujukan untuk pembiayaan modal kerja sebanyak 45,9 persen, lainnya (konsumsi) sebesar 45,7 persen dan investasi sebesar 8,4 persen.
Dari sisi kinerja, likuiditas pada BPR/BPRS nasional dapat dikatakan berlebih pada angka 99,89 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai wajar (>92 persen). Menurut data yang didapatkan, diidentifikasi bahwa besaran rata-rata nilai tabungan BPR/BPRS secara
nasional sebesar Rp2.800.208. Sementara, untuk besaran rata-rata nilai deposito BPR/BPRS nasional adalah Rp131.227.851.
Berdasarkan hasil survei BPS, hanya 30 persen UMK yang mendapatkan pembiayaan dari bank ketika didirikan. Kondisi ini mencerminkan bahwa akses pembiayaan terhadap UMK perlu terus didorong guna mendukung pengembangannya. Untuk memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai kondisi pembiayaan UMK dari lembaga keuangan (bank dan BPR/BPRS), dilakukan pemetaan kondisi pembiayaan UMK dan peran BPR/BPRS dalam perekonomian daerah. Dalam hal ini, dilakukan plotting seluruh provinsi dalam 4 (empat) kuadran atas persentase UMK yang mendapatkan pembiayaan dari bank dengan persentase aset BPR/BPRS dalam perekonomian daerah. Dari hasil plotting tersebut, sebagian besar provinsi wilayah (24 dari 34 provinsi) di Indonesia berada di kondisi tidak ideal (kuadran IV) dengan rasio pembiayaan UMK dari bank rendah dan peran BPR/BPRS dalam ekonomi juga rendah. Sementara itu, terdapat 7 (tujuh) provinsi yang memerlukan BPR/BPRS lebih banyak (kuadran I) yakni Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Papua Barat, NTT dan hanya terdapat satu provinsi yang berada dalam kondisi ideal (kuadran II), yakni Jawa Timur. Lebih lanjut, terdapat 2 (dua) provinsi dengan peran BPR/BPRS dalam ekonomi yang tinggi, namun rasio pembiayaan UMK dari bank rendah, yakni Bali dan Maluku. Kinerja BPR/BPRS pada kedua provinsi tersebut dalam kerangka pemberdayaan UMK melalui akses pembiayaan belum optimal dan jauh dari potensinya.
Sebagai catatan, penyampaian hasil kajian ini merupakan diagnosa awal atas kinerja Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah serta potensi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan masih terbatas pada analisa data sekunder. Ke depan, pengembangan kajian ini diharapkan akan terus dilanjutkan dengan melakukan survey langsung ke beberapa BPR/BPRS sehingga lebih mencerminkan kondisi dan potensi BPR/BPRS secara lebih komprehensif.
File Terkait:
File 1
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.