Penulis: PKSK BKF
“Indonesia Emas”, sebagai salah satu visi pembangunan jangka panjang Indonesia, memerlukan adanya reformasi program pensiun yang bertujuan untuk menciptakan kemandirian di hari tua serta mengurangi penduduk lansia yang berada pada kondisi rentan. Reformasi program pensiun dimaksud ditujukan untuk memberikan manfaat jaminan hari tua yang memadai, yang ditunjukkan oleh indikator replacement ratio (RR) paling sedikit sebesar 40% (Konvensi ILO Nomor 102). Reformasi juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan seluruh pihak dalam membiayai program pensiun agar program dapat berkesinambungan.
Berdasarkan definisi program pensiun pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK),saat ini terdapat tiga program pensiun yang bersifat wajib di Indonesia yaitu program Jaminan Hari Tua (JHT) SJSN, Jaminan Pensiun (JP) SJSN, dan Pesangon Pensiun. Reformasi yang diusulkan dalam kajian ini adalah dengan menata ulang kembali program-program wajib tersebut. Salah satu kunci kesuksesan reformasi ini adalah dengan mengintegrasikan manfaat Pesangon Pensiun dengan program JHT dan JP SJSN.
Kebutuhan pembiayaan manfaat Pesangon Pensiun secara prefinancing, yang sepenuhnya ditanggung pemberi kerja, diperkirakan sebesar 4,3% atas upah pekerja. Beban pemberi kerja ini diusulkan diintegrasikan dengan cara menambahkan porsi iuran pemberi kerja sebesar 0,3 persen pada program JHT dan 4 persen pada program JP. Untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik, diusulkan juga kenaikan iuran pekerja sebesar 2 persen pada program JP. Dengan demikian, setelah integrasi iuran program JHT akan menjadi 6 persen dan iuran program JP menjadi 9 persen. Selain itu, besaran accrual rate pada program JP juga diusulkan naik menjadi 1,5%. Penyesuaian iuran dan manfaat tersebut dilakukan secara gradual dalam sembilan atau sepuluh tahun agar tidak ada kenaikan beban yang signifikan yang dirasakan oleh seluruh pihak.
Dengan usulan ini, simulasi menunjukkan terjadinya peningkatan manfaat yang signifikan dari saat ini sebesar 9,7% RR menjadi 40,4%. Ketahanan dana program JP juga diperkirakan jauh membaik dengan penurunan unfunded sebesar 64% s.d 70%. Dari sisi pemberi kerja, kenaikan iuran porsi pemberi kerja beserta akumulasi dan hasil pengembangannya dapat dijadikan faktor pengurang kewajiban pemberi kerja bagi pekerja yang mengalami PHK. Terhadap kewajiban kenaikan upah minimum, kenaikan iuran porsi pemberi kerja diberlakukan secara bergantian setiap tahun sebagai faktor pengurang kewajiban kenaikan upah minimum dan sebagai penambah kewajiban tersebut.
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk melengkapi kajian ini antara lain kajian mengenai: (1) besaran penyesuaian iuran program JP tahap kedua dalam mencapai program dengan pendanaan penuh, (2) usulan hanya sebagian dana JHT yang dapat diambil lump sum bagi pekerja baru dan lamanya waktu untuk penarikan sisa dana yang tidak diambil lump sum, dan (3) kemungkinan penyesuaian manfaat PHK dengan alasan selain mencapai usia pensiun.
File Terkait:
File 1
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.