Memahami Resesi Global Saat Ini
Penulis: Moh. Romli
Saat ini, ekonomi global tengah diselimuti deteriorasi dan resesi. Jika dirunut ke belakang, kondisi ini bermula pada 2003/2004, ketika harga minyak mentah dunia mulai merangkak naik akibat imbalansi supply-demand di pasar internasional.
Boleh jadi,gejolak politik di Timur Tengah akibat agresi militer Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu menjadi salah satu pemicu terganggunya mekanisme pasar minyak. Selanjutnya, lonjakan harga minyak menciptakan tekanan inflasi global dari sisi penawaran (supply side).
Di AS,The Fed merespons tekanan inflasi ini dengan menaikkan suku bunga. Tercatat, dalam periode Juni 2003 hingga Juni 2006, Fed Fund Rate (FFR) secara gradual telah mengalami peningkatan sebesar 425 bps dari 1% menjadi 5,25%. FFR sebesar 5,25% ini dipertahankan hingga Agustus 2007.
Dampaknya, memicu kenaikan suku bunga kredit di AS, termasuk suku bunga kredit properti. Akibatnya, debitor yang secara profil pembayaran memang sudah rendah, kian lemah dan terjadilah kredit macet (credit crunch) pada sektor properti. Selanjutnya,aset perumahan mengalami penurunan nilai (real estate deflations).
Sebagian ekonom memandang resesi yang terjadi saat ini sebagai resesi moderat atau ringan (mild recession). Namun, jika terus berlanjut dalam kurun waktu lebih setahun dan tanpa ada arah kebijakan ekonomi yang jelas, resesi ekonomi global ini berpotensi melahirkan stagflasi, yakni suatu momentum ekonomi di mana pertumbuhan stagnan pada saat tekanan inflasi tinggi. AS,sebagai salah satu negara yang paling merasakan dampak resesi, dilaporkan kini tengah melakukan overhaul atas sistem keuangan mereka.
Kegiatan ”turun mesin” ini merupakan yang terbesar sejak Great Depressionmelanda AS pada era 1930- an. Selain itu, untuk menyelamatkan institusi keuangan dari kebangkrutan, pada Maret lalu The Fed rela mengucurkan dana sebesar USD28,8 miliar pada berbagai institusi keuangan di AS seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc. Boleh dibilang,kucuran kredit kepada institusi keuangan nonbank di AS ini merupakan yang pertama kali dilakukan The Fed sejak 70 tahun terakhir.
Resesi Sebelumnya
Hingga kini, dunia sekurang-kurangnya telah mengalami sepuluh kali masa resesi.Namun, jika dilihat dari magnitudonya,paling tidak ada empat resesi hebat, yakni pada era 1930-an, 1970-an, 1990-an, dan saat ini. Dari keempat resesi hebat ini, pada dasarnya dipicu oleh penyebab yang sama, yakni lonjakan harga minyak, persoalan kredit macet, dan deflasi aset properti.
Sebagian ekonom menganggap resesi era 1930-an merupakan yang paling dahsyat dari segi dampak yang ditimbulkan dan durasi waktunya. Salah satu pemicu resesi era 1930- an adalah rontoknya pasar modal AS secara drastis pada 29 Oktober 1929 yang dikenal dengan Black Tuesday.
Milton Friedman, begawan moneter, berpendapat bahwa penyebab resesi adalah ketidakmampuan The Fed dalam menciptakan kestabilan di pasar uang pada saat itu. Selain AS,Jepang juga merupakan salah satu negara yang paling merasakan dampak resesi pada era 1930- an. Sebagian pihak menyebut resesi yang terjadi di Jepang kala itu sebagai modern-day recession.
Pada era 70-an juga pernah terjadi resesi ekonomi global. Secara karakteristik, sebagian pihak menyatakan bahwa resesi kala itu mirip dengan saat ini.Beberapa kemiripan karakteristik itu antara lain: (i) para ekonom tidak bisa memprediksikan kapan harga minyak akan kembali turun dan stabil; (ii) tekanan inflasi lebih bersumber dari supply side, yakni akibat lonjakan harga minyak dan kondisi ini mendorong kenaikan belanja pemerintah; (iii) terjadi deflasi pada berbagai aset properti; (iv) di tengah resesi justru lahir raksasa ekonomi baru.
Pada era 70-an,Jepang menjadi raksasa ekonomi baru dan saat ini raksasanya adalah China; dan (v) ada komunitas babyboomers, yakni kelompok masyarakat yang tidak mempunyai pengaruh dalam penciptaan resesi dua periode ini. Dalam resesi 70-an, mereka masih terlalu kecil untuk berpartisipasi dalam dunia ekonomi dan kini 30 tahun kemudian, mereka sudah terlalu tua untuk memikirkan ekonomi.
Pada periode Juli 1990–Maret 1991, dunia juga pernah dilanda resesi. Namun, resesi saat itu terbilang sangat moderat dan jauh lebih ringan ketimbang sekarang. Pada saat itu, harga minyak dunia memang mengalami lonjakan tinggi dan menyebabkan tekanan inflasi.
Namun, hanya berlangsung selama lima bulan kemudian turun secara drastis. Persoalan subprime mortgage yang terjadi saat itu juga tidak separah kini. Penyebabnya, kala itu debitor melakukan fungsi mitigasi atas risiko dan biaya pada sektor properti kepada counterpart yang memang ahli di bidangnya dan penempatan dana dilakukan di luar sektor perbankan.
Terkait dengan subprime mortgage yang terjadi saat ini, sebagian pihak berpendapat bahwa debitor sektor properti juga sudah melakukan mitigasi risiko. Namun, karena persoalan kredit macet saat ini jauh lebih kompleks, maka dampak yang ditimbulkan pun jauh lebih hebat. Pada resesi 1990-an ini, The Fed melakukan intervensi pasar dengan memangkas suku bunga secara signifikan.
Tercatat, FFR mengalami penurunan sebesar 650 bps selama masa resesi, yakni dari level 9,50% pada awal resesi hingga menjadi 3% di akhir resesi; sementara saat ini FFR sudah berada pada level 2,25%. Penulis melihat ada beberapa hal penting yang bisa dijadikan pelajaran dari berbagai resesi ekonomi yang telah melanda dunia. Pertama, gejolak resesi biasanya dimulai dari lonjakan harga minyak,kredit macet,dan penurunan nilai aset properti.
Selanjutnya, hal ini akan memicu tekanan inflasi global diindikasikan dengan merangkaknya harga komoditas pangan di pasar internasional. Ini maknanya, inflasi lebih banyak bersumber dari sisi penawaran (supply side),bukan demand side. Dalam kondisi demikian, tekanan inflasi menjadi kurang efektif jika diperangi dari pendekatan moneter, yakni melalui kenaikan suku bunga.
Karenanya, adalah kurang tepat jika tekanan inflasi saat ini diredam hanya dengan menaikkan suku bunga BI Rate. Ini mengingat, inflasi bukan semata-mata bersumber dari persoalan moneter. Kedua, pengalaman resesi pada era 1990-an menunjukkan bahwa kebijakan moneter atau kebijakan fiskal yang berjalan sendirian biasanya tidak efektif meredam gejolak resesi.
Diperlukan koordinasi dan sinkronisasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Bentuknya bisa melalui paket kebijakan ekonomi. Pada waktu terjadi resesi di AS dalam era 1990-an, Pemerintah AS membentuk Resolution Trust Corporation (RTC) yang berfungsi sebagai katalisator dan akselerator.
Ketiga, dalam rangka akselerasi penyelesaian resesi,diperlukan paket kebijakan ekonomi yang berorientasi jangka panjang dan berkesinambungan. Ini mengingat butuh waktu yang relatif lama untuk mengembalikan kondisi ke kondisi normal setelah terjadinya masa resesi.
*Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (pernah dimuat di Koran Sindo, 9 April 2008)