Investasi China Sebelum dan Sesudah ACFTA
Penulis: Ragimun
Sudah hampir empat tahun, sejak tanggal 4 November 2004 di Phnom Pen Camboja ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation atau kerja sama ekonomi negara-negara Asean dengan China dalam bentuk Asean- China Free Trade Area (ACFTA). Kerja sama ini tentu mempunyai tujuan yang sangat ideal mengingat China sebagai negara yang mempunyai pertumbuhan tertinggi di dunia sekarang ini.
Dengan penduduk 1,2 miliar ditambah dengan penduduk Asean sekitar 500 juta maka menjadi sekitar 1,7 miliar penduduk dua kawasan ini. Penduduk yang sangat besar ini tentu menjadi pasar empuk produk dan jasa ke dua belah pihak. Tujuan lainnya adalah meliberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif serta mengembangkan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, termasuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif kedua belah pihak.
Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil pertanian, termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan yang semuanya dikelompokan dalam EHP (Early Harvest Programme). Kerja sama ini mempunyai target mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010 akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara Asean maupun dari China ke Indonesia.
Sekarang ini pun sudah banyak produk China yang ikut meramaikan pasar kita. Apalagi kalau produk–produk kita tersebut tidak bisa bersaing karena high cost maupun tidak efisien.
Hubungan perdagangan bilateral Indonesia China sendiri sebetulnya cukup bagus. Selama ini setelah pelaksanaan ACTFA, Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan China. Kalau kita bandingkan surplus perdagangan sebelum penandatanganan perjanjian ini rata-rata hanya mencapai US$ 608 pertahun, sedangkan setelah pelaksanaan perjanjian naik menjadi US$ 1.160 pertahun, atau hampir dua kali lipat.
Demikian juga kita mencatat peningkatan share perdagangan Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan Indonesia pada era pelaksanaan ACFTA.
Belum Berhasil
Rata-rata share total perdagangan Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan Indonesia sebelum ACFTA 6,87 persen, meningkat menjadi 9,40 persen pada pasca ACFTA. Atau bisa dikatakan telah terjadi pergeseran share sebesar 2,53 persen total perdagangan Indonesia-negara lain beralih ke Indonesia-China pada era ACFTA.
Pada ekspor terjadi pergeseran share sebesar 2,29 persen dan impor sebesar 2,81 persen beralih ke China pada era pelaksanaan ACFTA.
Dari sisi ekspor, rata-rata ekspor pada pelaksanaan ACFTA juga mengalami kenaikan berarti dibanding sebelum pelaksanaan ACFTA. Sebelum pelaksanaan ACFTA rata-rata ekspor per tahun hanya mencapai US$ 3.770 per tahun, kemudian naik menjadi US$ 7.940 per tahun pasca ACFTA. Ekspor migas sebelum pelaksanaan ACFTA rata-rata hanya sebesar US$ 954 per tahun, naik menjadi US$ 2.794 per tahun pasca ACFTA atau naik hampir tiga kali lipat. Di sisi lain, ekspor non migas sebelum pelaksanaan ACFTA sebesar US$ 2.815 per tahun, kemudian naik menjadi US$ 5.146 per tahun pada era pelaksanaan ACFTA.
Hal yang menarik diamati adalah pertumbuhan ekspor non migas lebih rendah dibanding pertumbuhan ekspor migas ke China. Berarti kita belum berhasil meningkatkan ekspor non migas ke China baik dari segi jumlah maupun nilai ekspor itu sendiri.
Apabila dilihat dari sisi impor, rata-rata impor sebelum pelaksanaan ACFTA sebesar US$ 3.162 per tahun , naik menjadi US$ pada US$ 6.780 per tahun pada pelaksanaan ACFTA. Impor migas sebelum pelaksanaan ACFTA rata-rata US$ 563 per tahun, naik menjadi US$ 1.001 per tahun pada pelaksanaan ACFTA. Sementara itu, impor non migas sebelum pelaksanaan ACFTA sebesar US$ 2.598 per tahun, menjadi US$ 5.779 pada era pelaksanaan ACFTA. Pertumbuhan impor migas lebih rendah dibanding pertumbuhan impor non migas.
Sementara itu menurut data BKPM, perkembangan realisasi investasi China ke Indonesia sebelum dan sesudah ditanda tanganinya Asean-China Free Trade Area (ACFTA) dapat dilihat dari realisasi investasi China ke Indonesia. Rata-rata jumlah investasi yang masuk pada era pelaksanaan ACFTA sebanyak 14,67 proyek pertahun, hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah investasi sebelum pelaksanaan ACFTA yang rata-rata sebesar hanya sebesar 7,67 pertahun. Namun demikian, dari nilai investasi tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Rata-rata realisasi investasi China di Indonesia pada era ACFTA sebesar US$ 35,17, tidak jauh berbeda dibanding sebelum pelaksanaan ACFTA yang besarnya US$ 32,43.
Investasi China ke Indonesia
Kalau dilihat dampak ditandatanganinya perjanjian belum mempunyai pengaruh besar terhadap arus investasi China ke Indonesia. Justru investasi negara-negara Asean, Jepang, ataupun Amerika Serikat jauh lebih tinggi ketimbang investasi China ke Indonesia.
Dari data BKPM menunjukan bahwa sebelum perjanjian ACFTA investasi negara-negara Asean ke Indonesia 18 kali lipat dengan rata-rata 559,83 juta US$ dan 33 kali lipat sesudah perjanjian AC FTA dengan nilai rata-rata 1.169,07 juta US$. Sedangkan rata-rata investasi China ke Indonesia sendiri hanya sebesar 32,43 juta US$ sebelum perjanjian AC FTA dan menjadi rata-rata hanya sebesar 32,57 juta US$ pasca ACFTA.
Demikian juga persentase investasi China ke Indonesia dibandingkan dengan total investasi dunia ke Indonesia masih kecil, sesudah perjanjian AC FTA hanya rata-rata sebesar 0,006 sedangkan sebelumnya juga rata-rata sebesar 0,006. Dengan melihat kondisi seperti itu, semestinya pemerintah lebih agresif dan tidak tinggal diam.
Langkah yang ditempuh, bisa saja dengan segera merealisasikan forum investasi. Forum ini nantinya mengakomodir semua kepentingan dengan jalan mengundang sebanyak mungkin investor China untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tentu saja forum ini menjembatani antara investor China dengan pemerintah pusat, swasta serta pemda-pemda.
Investasi-investasi apa saja yang dapat ditawarkan kepada mereka. Sebetulnya masih banyak sektor yang dapat ditawarkan kepada mereka terutama sektor energi, industri, infrastruktur, pertanian, kehutanan maupun kelautan.
Hal lain yang dianggap penting adalah kesiapan infrastruktur serta dunia usaha kita dalam menangkap peluang yang masih terbuka lebar untuk merealisasikan dan mengeksploitasi berbagai kegiatan yang ada dalam perjanjian ACFTA tersebut. Oleh karena jangan sampai peluang ini hanya banyak dimanfaatkan oleh negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia ataupun Thailand.
*Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Depkeu. (pernah dimuat di Sinar Harapan, 24 April 2008)