Meredam Imbas Harga Minyak
Penulis: Hidayat Amir
Oleh : Hidayat Amir
Harga minyak dunia semakin membubung tinggi. Dalam kuartal pertama tahun ini harga minyak naik 25 persen mencapai angka 127 dolar Amerika Serikat per barel. Padahal, tahun lalu harga minyak masih dalam kisaran 60 dolar AS per barel.
Dalam setahun terakhir harga minyak dunia naik dua kali lipat atau lima kali lipat jika dihitung sejak 2003. Adalah keniscayaan yang lambat kita pahami bahwa sumber energi minyak memang tidak murah lagi. Seketika harga minyak bergolak sebagai dampak perubahan pasar dunia maka kita selalu kembali tergagap.
Sangat terasa bahwa kebijakan kita terkait harga minyak masih sangat reaktif dan oleh karenanya perlu diperbaiki. Bagaimanakah seharusnya kebijakan yang sewajarnya diambil oleh pemerintah sehingga risiko dampak fluktuasi harga minyak dapat lebih dikendalikan?
Harga minyak dalam APBN
Dalam APBN-P 2008 yang ditetapkan April 2008, asumsi harga minyak sebesar 95 dolar AS/barel. Dengan asumsi ini maka besaran subsidi BBM mencapai Rp 126 triliun atau melonjak tiga kali lipat dari nilai yang ditetapkan dalam APBN 2008, yaitu Rp 45 triliun dengan asumsi harga minyak 60 dolar AS/barel. Besaran subsidi BBM dalam APBN-P ini setara dengan 12,7 persen dari total belanja negara atau melonjak dari 5,3 persen dari yang ditetapkan dalam APBN.
Prediksi harga minyak dunia sepanjang sisa 2008 masih akan bertahan pada kisaran di atas 110 dolar AS/barel. Hal ini diindikasikan antara lain oleh transaksi di pasar future sampai awal 2009. Jika hal ini terjadi maka besaran subsidi BBM dalam APBN akan melambung di atas angka Rp 190 triliun.
Memang kenaikan harga minyak dunia tidak hanya memberikan dampak di sisi belanja negara, tetapi juga di sisi pendapatan. Namun, yang menjadi masalah adalah tingginya subsidi BBM sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dunia akan mengubah postur APBN.
Desain awal APBN memberikan porsi yang lebih besar bagi alokasi program kemiskinan daripada subsidi BBM. Hal ini sebagai pengejawantahan visi pemerintah untuk menekan angka kemiskinan. Namun, tatkala harga minyak dunia bergerak naik maka keseimbangan ini berubah.
Nilai subsidi BBM membubung mengikuti gerak kenaikan harga minyak dunia. Padahal, sebagian besar subsidi BBM lebih dinikmati oleh golongan masyarakat mampu dibanding golongan masyarakat miskin.
Menurut data Susenas, distribusi konsumsi BBM sebesar 70 persen BBM dinikmati oleh 40 persen kelompok masyarakat golongan atas. Apabila harga minyak sepanjang 2008 mencapai 110 dolar AS per barel maka nilai subsidi BBM dalam APBN yang dinikmati golongan atas ini akan mencapai Rp 186 triliun atau kurang lebih sebesar tiga kali alokasi untuk program pengentasan kemiskinan.
Menanti kebijakan tepat
Distorsi subsidi BBM atas nama keadilan semestinya segera diakhiri. Komitmen pemerintah bersama wakil rakyat untuk mengurangi besaran subsidi BBM secara bertahap mendapat sandungan karena membubungnya harga minyak dunia serta belum disiapkannya skema yang pasti untuk mengurangi beban subsidi BBM ini.
Idealnya harga BBM disesuaikan dengan harga pasar. Namun, menyesuaikannya saat harga minyak dunia bergolak juga tidak tepat. Penyesuaian harga dalam jumlah besar akan membawa dampak ikutan yang tidak bisa sepenuhnya dikontrol atau diperhitungkan. Kebijakan pemerintah 2005 cukup dijadikan pelajaran.
Saat ini ada beberapa pilihan kebijakan yang mungkin dilakukan. Pertama, memberlakukan kembali mekanisme harga yang disesuaikan berdasarkan MOPS (Mid Oil Price Singapore) sebagaimana tahun 2002/2003. Penyesuaian harga dapat dilakukan tiap pekan dan penyesuaian batas atas dan batas bawah bisa dievaluasi setiap bulan. Jika terjadi perubahan dramatis harga pasar minyak dunia, pemerintah masih memiliki keleluasaan untuk meninjau besaran subsidi BBM pada saat pembahasan APBN Perubahan.
Dengan mekanisme ini akan diperoleh beberapa manfaat. Pertama, masyarakat diedukasi untuk menyesuaikan perubahan harga yang merupakan faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol secara penuh oleh pelaku ekonomi mana pun. Ini menjadi langkah awal sebelum subsidi BBM benar-benar dicabut sepenuhnya.
Kedua, APBN terlindungi dari risiko volatilitas harga minyak. Dengan demikian, perencanaan pembangunan melalui APBN akan lebih terarah dan pasti. Ketiga, besaran subsidi BBM dapat ditetapkan pada besaran yang pantas. Konsekuensinya apabila terjadi kenaikan harga minyak dan pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan dari minyak, maka APBN mendapat tambahan ruang fiskal yang cukup luas untuk membiayai program-program unggulan lain yang telah ditunggu kehadirannya, tetapi tertunda karena kekurangan dana, seperti anggaran pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan subsidi kesehatan.
Mungkin ada yang mempertanyakan tentang bagaimana dampaknya terhadap inflasi jika harga BBM fluktuatif mengikut harga pasar. Memang akan berdampak terhadap besaran inflasi, tetapi justru akan lebih manageable dibandingkan jika melakukan penyesuaian sekaligus.
Biasanya penyesuaian harga sekaligus akan memunculkan polemik dan diikuti oleh dampak psikologis yang sukar untuk dikalkulasi. Hal ini berbeda dengan fluktuatif terkontrol -- melalui batas atas dan batas bawah -- dampak terhadap inflasi dapat ditekan melalui instrumen kebijakan lain, yang biasanya sangat jeli dilakukan oleh Bank Indonesia.
Kebijakan kedua melanjutkan kebijakan subsidi langsung tunai (SLT). Hal ini diperlukan dalam jangka pendek untuk meminimalkan beban kenaikan harga BBM bagi golongan masyarakat kurang mampu.
Secara teoritis subsidi langsung lebih tepat sasaran daripada subsidi produk sebagaimana subsidi BBM. Hal ini pun didukung oleh bukti empirik hasil kajian 56 perguruan tinggi bahwa SLT merupakan program yang cukup baik: 90,51 persen tepat sasaran; 97,14 persen tepat jumlah; 89,10 persen tepat waktu, dan 75,93 persen tingkat pemenuhan.
Untuk menjawab kritik Ibu Megawati tentang kesedihannya melihat rakyat diperlakukan seperti pengemis ketika proses SLT perlu dijawab dengan tindak lanjut bahwa program SLT secara tidak langsung akan memperbaiki database pemerintah tentang penduduk miskin. Ini penting untuk digunakan dalam mendesain program pengentasan kemiskinan lanjutan agar lebih tepat sasaran.
Kebijakan ketiga, secara simultan menyeriusi program diversifikasi sumber energi. Banyak pilihan untuk kebijakan ini, tentu perlu dikaji mana yang paling tepat untuk Indonesia baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Namun yang pasti, penyesuaian harga BBM menuju harga pasar akan mendorong proses diversifikasi energi secara lebih cepat. Kita semua harus segera menyadari bahwa harga minyak memang sudah tidak murah lagi.