Kredibilitas RAPBN Diuji
Penulis: Hidayat Amir
Oleh : Hidayat Amir
Pemerintah dibuat pusing tujuh keliling oleh fluktuasi harga minyak. Setelah menembus level US$ 111 per barel, kemudian turun di bawah US$ 110, bukan mustahil harga minyak mentah dunia bergerak naik lagi.
Ketidakpastian itu membuat pemerintah dan DPR kesulitan menetapkan asumsi harga minyak yang dianggap rasional. Faktor harga minyak pula lah yang membuat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan 2008 molor terus.
Dalam revisi awal, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak US$ 83 per barel, naik dari US$ 60 yang dipatok dalam APBN 2008. Angka itu kemudian direvisi menjadi US$ 85 per barel. Namun, ketika harga minyak mentah dunia tembus level US$ 110 per barel, pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati asumsi baru sebesar US$ 95 per barel.
Perubahan asumsi harga minyak bakal merombak seluruh struktur APBN 2008. Bahkan, asumsi pertumbuhan ekonomi pun harus direvisi lagi. Pemerintah yang sudah mengubah asumsi pertumbuhan dari 6,8% menjadi 6,4% dalam RAPBN-P, kemungkinan akan menurunkan lagi menjadi 6,3%, atau sama dengan target pertumbuhan tahun lalu.
Meski ketidakpastian global sangat tinggi dan sulit diprediksi, pemerintah memang harus cermat membuat perhitungan dan prediksi. Jangan seperti sebelumnya, ketika kondisi global sudah tidak karuan, pemerintah masih terlalu optimistis mematok asumsi-asumsi makro. Kritik dari ekonom dan DPR bahwa asumsi yang dibuat pemerintah tidak realistis dan kelewat optimistis kurang ditanggapi.
Gejolak eksternal dan ketidakpastian global bukan berarti menjadi alasan pembenaran bagi pemerintah untuk terus mengubah asumsi-asumsi dalam RAPBN. Asumsi makro APBN menjadi acuan bagi pelaku bisnis, analis, ekonom, atau siapa pun yang berkepentingan dengan angka-angka tersebut.
Itu sebabnya, daya analisis tim pemerintah maupun DPR perlu dipertajam, agar diperoleh angka asumsi yang mendekati kondisi riil. Kredibilitas asumsi-asumsi APBN 2008 memang menghadapi ujian berat saat ini.
Dalam situasi yang tidak pasti ini, ada baiknya mekanisme pembahasan APBN antara pemerintah dan DPR perlu diperbaiki. Selama ini, proses pembahasannya terlalu lama. Proses politik untuk mengegolkan APBN butuh waktu sekitar enam hingga delapan bulan. Konsekuensinya, ketika RAPBN itu disahkan dan kemudian diberlakukan, asumsi-asumsi yang disepakati sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terbaru, karena pergerakan global begitu dinamis.
Percepatan pembahasan RAPBN antara pemerintah dan DPR juga beralasan mengingat APBN merupakan dasar acuan bagi pemerintah daerah untuk menyusun APBD.
Pemerintah perlu pula menerapkan fleksibilitas anggaran, terutama untuk pos-pos yang tidak terlalu penting dan mengikat. Sebagai contoh, pemerintah sangat berhati-hati menetapkan asumsi harga minyak, karena terkait dengan dana bagi hasil (DBH) migas ke daerah. Untuk itu, DBH bisa saja tidak diserahkan secara penuh dulu kepada daerah. Kekurangannya diserahkan pada kuartal IV atau menjelang akhir tahun, setelah bisa diketahui perkiraan realisasi rata-rata harga minyak tahunan.
Lebih dari itu, penghematan anggaran mutlak dilakukan, untuk berjaga-jaga dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Kebijakan pemotongan anggaran 15% hingga kini belum jalan karena beberapa departemen dan instansi menolak.
Sebaiknya pihak departemen menghilangkan ego-sektoral. Di lain pihak, pemotongan anggaran sebaiknya hanya menyangkut anggaran yang bukan mendesak. Anggaran yang sifatnya menggerakkan perekonomian, terutama yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, tak boleh dipangkas.
Dalam kondisi sulit dan tidak pasti saat ini, semua pihak perlu berkorban agar bangsa ini selamat. APBN sebagai jantung perekonomian pun harus diselamatkan. Itu sebabnya, kredibilitasnya patut dijaga. ***
Pernah dimuat di Investor Daily, 24 Maret 2008