Mengurangi Risiko Volatilitas Harga Minyak
Penulis: Hidayat Amir
Harga minyak dunia semakin membubung tinggi. Tahun lalu, saya memperkirakan, jika harga minyak dunia segera mencapai angka USD 100 per barel, dan jika itu terjadi, harga minyak akan terus meroket. Kini, hal tersebut menjadi kenyataan.
Dalam kuartal pertama tahun ini, harga minyak telah naik sekitar 25 persen. Rekor mencatat nilai USD125,98 per barel untuk minyak light sweet pengiriman Juni di pasar New York per Jumat 9 Mei 2008. Dalam setahun terakhir, harga minyak dunia telah naik dua kali lipat atau lima kali lipat jika dihitung sejak 2003.
Adalah keniscayaan yang lambat kita pahami bahwa sumber energi minyak memang tidak murah lagi. Seketika harga minyak bergolak sebagai dampak perubahan pasar dunia, maka kita selalu kembali tergagap. Parahnya lagi, isu harga minyak di dalam negeri lebih menjadi konsumsi politik dibandingkan adanya suatu kewajaran perubahan dalam ekonomi. Seakan pemerintah yang tidak mampu menahan harga minyak dalam negeri (BBM) divonis sebagai pemerintah yang gagal.
Bagaimanakah seharusnya tindakan yang wajar yang harus dilakukan untuk merespons kondisi tersebut, mengingat volatilitas harga minyak internasional mengakibatkan dampak yang amat besar bagi beberapa pos dalam APBN, terutama pos subsidi? Mari bersama sejenak kita renungkan untuk mencoba mencari setitik solusi.
Risiko Harga Minyak
Dalam APBNP 2008 yang ditetapkan April 2008, asumsi harga minyak ditetapkan USD95/barel. Dengan asumsi tersebut, besaran subsidi energi mencapai Rp187 triliun, khusus untuk subsidi BBM saja Rp126 triliun atau melonjak tiga kali lipat dari nilai yang ditetapkan dalam APBN 2008, yaitu Rp45 triliun dengan asumsi harga minyak USD60/barel. Besaran subsidi BBM dalam APBNP setara 12,7 persen dari total belanja negara atau melonjak dari 5,3 persen yang ditetapkan dalam APBN.
Prediksi harga minyak dunia sepanjang sisa tahun 2008 masih akan bertahan pada kisaran di atas USD110/barel. Hal tersebut diindikasikan, antara lain, oleh transaksi di pasar future sampai awal 2009. Jika hal tersebut terjadi, besaran subsidi energi dalam APBN akan melambung ke angka Rp265,6 triliun. Suatu nilai yang sangat besar.
Nilai tersebut jauh lebih tinggi dan berlipat-lipat dari subsidi untuk pangan, pendidikan, atau kesehatan, suatu yang sangat penting bagi masyarakat miskin dan kurang mampu. Sementara subsidi BBM lebih banyak dinikmati kalangan masyarakat mampu.
Kenyataan tersebut tak perlu didiskusikan lagi. Komitmen pemerintah bersama wakil rakyat untuk mengurangi besaran subsidi BBM secara bertahap mendapat sandungan karena belum disiapkannya skema yang pasti bagaimana untuk mengurangi beban subsidi BBM ini. Kini, ketika harga minyak bertingkah, kita kembali terperangah.
Alasan lain mengapa subsidi BBM harus dikurangi atau bahkan dihapus, beban subsidi BBM ini termasuk beban yang tidak bisa dikontrol. Mekanisme dalam APBN yang ada saat ini sangat ditentukan oleh faktor eksternal. Ketika terjadi fluktuasi di pasar minyak dunia, besaran subsidi BBM pun akan bergolak. Hal tersebut tentu sangat mengganggu sistem perencanaan dan penganggaran yang pada gilirannya akan mengganggu efektivitas APBN dalam pencapaian tujuan pembangunan.
Uncontrollable Expenditure
Memvonis gagal bagi pemerintah gara-gara menaikkan harga BBM tidaklah tepat. Sebab, pos beban subsidi dalam APBN merupakan uncontrollable expenditure, yaitu beban yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan pemerintah.
Mengapa? Singkatnya, besaran beban subsidi dalam APBN dihitung berdasar harga pasar minyak internasional dikurangi harga pasar BBM dalam negeri. Dengan demikian, setiap kenaikan harga di pasar internasional yang tidak ditransmisikan ke dalam harga BBM dalam negeri berarti menjadi tambahan beban subsidi dalam APBN.
Dalam manajemen bisnis, kinerja seorang manajer akan dinilai berdasar berbagai variabel ukuran keberhasilan. Ukuran yang sangat umum dalam suatu bisnis adalah laba atau value perusahaan. Apa pun kondisi eksternal yang terjadi, misalnya kenaikan harga-harga atau munculnya kompetitor baru, ukuran keberhasilannya tetap laba atau value perusahaan tersebut. Terhadap perubahan faktor eksternal -yang dia tidak bisa mengontrol sepenuhnya- seperti harga dan kompetitor baru tersebut, yang dituntut dari seorang manajer adalah bagaimana dia melakukan langkah reaktif dan antisipatif untuk mengamankan target perusahaan.
Begitupun dalam sebuah negara, pemerintah semestinya tidak dihakimi dengan -apakah dia menaikkan harga BBM atau tidak. Tapi, semestinya dihakimi dengan kinerjanya dalam mengentas rakyat dari kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran. Itulah yang ditargetkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintahan SBY-Kalla.
Mengenai fluktuasi harga minyak, yang dituntut adalah langkah-langkah pemerintah dalam mengamankan target tersebut. Menaikkan harga BBM atau tidak adalah pilihan langkah kebijakan yang akan diuji apakah tepat atau tidak dalam mengamankan target utamanya tersebut.
Pilihan Kebijakan
Isu mengenai harga minyak -subsidi BBM- bukanlah isu baru. Hal tersebut telah terjadi berkali-kali. Namun, cara penanganannya pun masih sama, reaktif dan tidak antisipatif. Idealnya, harga BBM dalam negeri menyesuaikan harga pasar. Sebab, dengan demikian, ada insentif bagi para konsumen untuk segera sadar bahwa harga minyak tidak murah lagi. Dengan demikian, budaya masyarakat akan terbangun untuk menghemat dan secara sukarela melakukan konversi ke berbagai sumber energi alternatif.
Di sisi APBN, pos subsidi BBM dapat dialokasikan ke pos anggaran lain yang lebih penting dan manageable. Dengan direduksinya pos subsidi BBM, APBN mendapat tambahan ruang fiskal yang cukup besar. Hal tersebut memberi keleluasaan kepada pemerintah untuk berkreasi dalam mewujudkan target-target dalam visi dan misinya. Dengan demikian, suatu saat nanti, ketika dimintai pertanggungjawaban atas kinerjanya, tingkah si emas hitam tidak dijadikan si kambing hitam.
Menyesuaikan harga BBM sekaligus ke harga pasar juga sangat tidak mungkin. Sebab, perubahan yang dramatis dan cukup besar juga akan berdampak psikologis dan dampak ikutan lain yang sering tidak mampu dikalkulasi secara ekonomi.
Pengalaman 2005 cukuplah memberi pelajaran. Hal yang paling mungkin adalah memberlakukan kembali mekanisme harga yang disesuaikan berdasar MOPS (Mid Oil Platts Singapore) sebagaimana 2002/2003. Penyesuaian harga bisa dilakukan pekanan dan penyesuaian batas atas -batas bawah bisa dievaluasi setiap bulan.
Dengan sistem tersebut, akan diperoleh tiga keuntungan sekaligus. Pertama, besaran subsidi BBM dalam APBN bisa ditetapkan sebagai plafon, sehingga tidak selalu harus berubah-ubah. Jika terjadi perubahan harga minyak yang sangat besar, pemerintah masih bisa mengevaluasi dalam pembahasan APBNP. Besaran subsidi BBM menjadi lebih manageable.
Kedua, proses adaptasi terhadap dampak kenaikan harga BBM menjadi inheren dalam dinamika ekonomi, sehingga besaran inflasi lebih dapat diantisipasi. Ketiga, masyarakat diedukasi dengan mekanisme pasar, sehingga muncul kesadaran dan budaya positif dalam menghadapi perubahan.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa mereka juga perlu belajar agar lincah menghadapi kenyataan dan perubahan. Jangan terus dibelai dan dininabobokan seperti seorang anak yang dipasung dalam gendongan.
*Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu RI; PhD Student pada School of Economics University of Queensland, Australia (tulisan pendapat pribadi dimuat di Jawa Pos, 22 Mei 2008)