Pilihan Pahit Menaikkan Harga BBM
Penulis: Ragimun
Kalau kita simak perekonomian dunia sekarang ini, tentu ada beberapa hal yang perlu dicatat, ada beberapa faktor sebagai pemicu pergolakan (turbulance) ekonomi global. Pertama, kondisi ekonomi dunia tentu banyak dipengaruhi faktor "perebutan" energi dunia di mana bahan bakar minyak (BBM) sebagai faktor dominan yang memicu krisis ekonomi di berbagai belahan dunia, yang kemudian diikuti krisis pangan. Krisis pangan banyak disebabkan karena penggunaaan energi alternatif akibat melonjaknya harga minyak dunia.
Yang kedua adalah konsentrasi pengembangan teknologi energi alternatif yang agak terlambat seiring berkurangnya bahan bakar minyak yang berasal dari fosil. Hal ini tentu menyebabkan demand BBM dunia tidak seimbang dengan supply-nya, apalagi ditambah dengan spekulan harga minyak dunia banyak bermain.
Diduga pembentukan harga minyak dunia lebih banyak didominasi karena harga kontrak (forward contract), bukan harga riil. Tentu, kondisi seperti ini banyak memengaruhi ekonomi negara-negara yang masih sangat tergantung pada energi tidak terbarukan seperti halnya Indonesia.
Pada awal tahun 2007 kondisi ekonomi Indonesia ditandai dengan adanya perbaikan ekonomi yang cukup bagus. Namun, berbeda dengan kondisi 2008 ini, kondisi ekonomi Indonesia dipengaruhi tekanan yang cukup berat akibat kenaikan harga BBM dunia yang saat ini telah melampaui 120 dolar AS per barel. Sementara asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2008 kita masih meggunakan patokan harga minyak 90 dolar AS per barel yang sebelumnya menggunakan asumsi APBN sebesar 65 dolar AS per barel.
Naiknya harga komoditas pangan juga menambah berat tekanan ekonomi Indonesia. Harga komoditas pangan ini meningkat sekitar 50%-100% dalam tahun terkhir. Demikian juga kondisi pasar keuangan dunia, yang diawali Amerika Serikat mengalami krisis akibat subprime mortgage. Hal ini tentu menyebabkan likuiditas pasar keuangan global mengalami penurunan. Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh juga terhadap kondisi ekonomi nasional. Dan, dampaknya pun bisa kita rasakan sekarang ini.
Dari sisi APBN makin sulit sustainbilitas keuangan kita. Subsidi makin membengkak, defisit anggaran makin melambung dari 1,7% dari PDB tahun 2007 naik menjadi 2,1% dari PDB tahun ini.
Oleh karena itu, target-target pertumbuhan serta penyerapan pengangguran serta pengentasan kemiskinan makin sulit dicapai. Satu hal lagi yang paling berbahaya adalah bila tingkat kepercayaan publik menjadi semakin menurun. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan serta ekspektasi masyarakat dan pasar.
Defisit anggaran bisa saja ditomboki dengan penerbitan surat utang negara atau utang luar negeri. Namun, hal ini pun akan membawa konsekuensi buruk pada sustainbilitas APBN kita. Sementara beban subsidi untuk BBM sangat tinggi, maka tidak ada jalan lain yang lebih rasional kecuali menyesuaikan harga BBM. Walaupun langkah ini merupakan langkah pahit bagi perekonomian kita, karena jelas membawa konsekuensi tersendiri.
Kalau tidak ada alternatif lain secara ekonomis, kebijakan ini akan lebih baik bila dibanding dengan membiarkan pemberian subsidi yang akan banyak menyedot keuangan negara. Dampak buruk lainnya adalah terjadinya disparitas harga BBM dalam dan luar negeri makin melebar yang tentu sangat menggiurkan spekulan untuk menyelundupkan BBM.
Untuk saat ini saja, beberapa negara telah melakukan kenaikan harga BBM. Seperti Malaysia merencanakan mencabut subsidi solar dan premium. Vietnam merencanakan kenaikan 30%. China telah menaikan harga BBM pada bulan November tahun lalu ketika harga BBM dunia mulai merangkak naik. Artinya, semakin lebar disparitas harga BBM dalam dan luar negeri.
Kenaikan harga BBM tentu membawa risiko. Terlepas dari dampak sosial maupun politis, justru penyelamatan ekonomi harus menjadi prioritas nomor wahid. Tentu, kebijakan pengurangan subsidi dan kebijakan kenaikan harga BBM ini harus tepat waktu, tepat sasaran serta tepat implementasinya.
Hal lain yang perlu diikutinya adalah langkah-langkah penghematan penggunaan BBM baik di pihak swasta, apalagi dipihak pemerintah, penghematan dapat dilakukan dengan cara pengurangan penggunaan BBM maupun penghematan anggaran.
Kenaikan harga BBM jelas akan mengakibatkan target inflasi tidak tercapai di mana target inflasi 2008 sebesar 6,5%. Dengan asumsi APBN harga minyak dunia sebesar 110 dolar AS per barel, penyesuaian kenaikan harga rata-rata jenis BBM sekitar 30% saja dapat mengakibatkan inflasi lebih dari 11%. Namun, inflasi akan lebih parah menjadi lebih dari 13% apabila pemerintah tidak melakukan tindakan penyesuaian harga. Demikian juga pertumbuhan ekonomi akan menurun dari target 6,4% menjadi sekitar 5%.
Tapi, bila pemerintah melakukan tindakan penyesuaian harga BBM, maka ekonomi masih tumbuh sekitar 6%. Defisit anggaran tahun 2008 akan membengkak menjadi 2,5%, namun dengan penyesuaian ini akan dapat ditekan menjadi sekitar 1,9%.
Di samping itu, berdasarkan pengalaman, keragu-raguan pemerintah menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM akan mengakibatkan ketidakpastian masyarakat yang tinggi yang mengakibatkan ekspektasi inflasi meningkat, sehingga sangat rentan terhadap rumor, termasuk terjadinya spiral inflation.
Hal ini juga berbahaya bagi kondisi sosial politik nasional. Apabila tingkat kepercayaan masyarakat menurun, maka langkah-langkah koreksi yang telah dilakukan tidak akan berarti karena dampak buruknya terlampau besar.
Salah satu paket mekanisme kebijakan penyesuaian harga BBM tentu program bantuan langsung tunai (BLT) dan progam-program kemiskinan lainnya sebagai peredam program penyesuaian harga BBM dapat segera dilakukan. Namun, kebijakan ini akan tidak berarti apabila dalam tataran implementasinya tidak sesuai dengan janji-janji pemerintah. Jangan sampai warga miskin kita hanya menelan pil pahit saja sebagai imbas kebijakan yang salah sasaran.
*Penulis adalah peneliti Badan Kebijakan Fiskal Depkeu (pernah dimuat di Suara Karya 22 Mei 2008)