Kerja sama Keuangan Internasional Pasca Mundurnya Ibu Sri Mulyani
Penulis: Eko Nugroho
“Ibu Sri Mulyani kita kenal sebagai ujung tombak dalam diplomasi pada tingkat Internasional, utamanya dalam forum G-20 dan tentunya sejumlah forum penting lainnya� (Presiden SBY, 5 Mei 2010).
Demikian sekelumit pernyataan Presiden SBY dalam tanggapan atas pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai Menkeu Kabinet Indonesia Bersatu II. Begitu pentingnya Presiden melihat kerja sama keuangan internasional, hingga di akhir pernyataan tersebut, beliau menekankan kembali bahwa Menkeu yang baru akan mengemban kepentingan Indonesia di tingkat global dengan sebaik-baiknya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana prospek kerja sama keuangan internasional paska pergantian menkeu?
Telah menjadi kesadaran umum bagi masyarakat Indonesia bahwa kerja sama keuangan merupakan satu hal yang penting bahkan kadang kontroversial. Masih belum lepas dalam benak kita bahwa kerja sama keuangan yang dilakukan oleh rejim orde baru dinilai membawa banyak kerugian dibanding manfaatnya bagi rakyat Indonesia. Kerja sama dengan IMF adalah contoh yang paling gampang. Begitu sakit hatinya kita dengan IMF, yang kita nilai menjerumuskan kita dalam keterpurukan, hingga saat ini, apapun yang berbau IMF pasti akan kita tolak, meski mereka mati-matian berusaha menjual produknya dengan iming-iming menggiurkan sekalipun.
Lalu apa kontribusi SMI dalam kerja sama keuangan internasional?
Sedikit flash back di awal karirnya sebagai Menkeu pada kabinet Indonesia Bersatu jilid I, banyak yang menduga bahwa SMI akan tetap berkiblat kepada IMF yang notabene merupakan tempatnya mengabdi sebelum masuk pemerintahan. Alih-alih bekerjasama dengan IMF, bersama negara anggota ASEAN+3 SMI justru mengembangkan inisiatif pengelolaan dana cadangan bersama untuk menghadapi kesulitan likuiditas yang dapat berimplikasi pada ekonomi makro secara keseluruhan. Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) merupakan contoh konkrit bagaimana SMI bersama para Menteri Keuangan negara-negara ASEAN+3 berupaya membuat mekanisme pendanaan regional guna membantu negara-negara kawasan dari kesulitan likuiditas di masa krisis. Peran SMI begitu besar ditandai dengan diumumkannya inisiatif ini di Bali, di sela-sela pertemuan tahunan ADB, bulan Mei 2009.
Di forum multilateral, SMI ternyata mampu bersikap kritis dengan masuknya ia sebagai bagian dari sebuah tim yang bekerja untuk memperbaiki/merestukturisasi IMF. Sebagai orang memiliki cukup pengetahuan dan pengalaman dalam bekerja sama dengan institusi keuangan internasional, pandangan SMI dirasa perlu untuk memperbaiki mekanisme kerja maupun struktur organisasi IMF yang saat ini dinilai sudah tidak tepat.
Ketegasan SMI sebenarnya tidak hanya ditunjukkan manakala mengambil kebijakan di dalam negeri. Dalam berbagai forum internasional pun, SMI dikenal mempunyai sikap yang tegas dan jelas dalam mengambil posisi. Di forum kerja sama ASEAN, kehadiran dan pandangan SMI selalu ditunggu oleh Menteri Keuangan lainnya. Bahkan di sebuah forum APEC, SMI berhasil mengarahkan forum untuk tidak lagi berfokus pada bantuan proyek tetapi pada penguatan institusi, yang lebih menyentuh pada struktur dan sistem yang nantinya akan berefek luas kepada masyarakat. Reformasi birokrasi adalah salah satunya contohnya.
Tantangan Kerja Sama Keuangan Internasional ke depan
Disadari banyak pihak bahwa krisis keuangan global memang sudah semakin mereda. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju yang sempat tersendat sudah mulai menggeliat. Permintaan (demand) pun semakin menunjukkan angka-angka positif. Dalam konteks ini, diakui bahwa Asia berperan besar dalam menggerakkan roda-roda perekonomian dunia, sekaligus berkontribusi dalam pembuatan peta dunia baru setelah krisis global.
Namun demikian, disadari pula bahwa tantangan krisis masih terbuka, untuk tidak mengatakan “mengancam�. Apa yang terjadi di Yunani saat ini, diprediksi oleh sebagian kalangan dapat menjalar ke Asia, termasuk negara kita. Ancaman lain adalah kemungkinan munculnya inflasi akibat makin tinggi permintaan atas harga minyak dan komoditas. Alhasil, perlu tindakan preventif yang tidak hanya dilakukan secara individual per negara, tetapi juga secara kolektif di antara negara-negara lain. Hal ini penting mengingat seperti halnya krisis yang telah berlalu, komitmen kolektif untuk secara kompak mengambil kebijakan keuangan yang proporsional dan tepat, mampu menghadang badai krisis yang menerpa.
Pada level yang lebih tinggi, keputusan-keputusan yang telah diambil dalam forum G-20 sepertinya masih akan terus menjadi “trend setter� bagi kerja sama keuangan multilateral. Meski tidak bersifat mengikat (binding) layaknya di ASEAN misalnya, namun rekomendasi yang dihasilkan dalam forum G-20 efektif untuk mendorong negara-negara anggotanya untuk aktif mengikuti/menerapkan isi rekomendasi-rekomendasi tersebut. Hanya saja, Indonesia perlu memainkan peran yang lebih strategis dalam forum tersebut mengingat saat ini kepentingan negara maju melawan negara besar yang diwakili oleh BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) cenderung mengemuka. Dalam kaitan ini kalkulasi posisi teramat penting untuk dilakukan sehingga hasil yang maksimal akan selalu diperoleh bagi Indonesia.
Sementara itu, hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah liberalisasi jasa keuangan. Dalam konteks kerja sama Asean, pada tahun 2015, sektor asuransi, pasar modal, dan jasar keuangan lain diharapkan bisa mencapai target liberalisasi. Menyusul kemudian pada tahun 2020, sektor jasa perbankan ditargetkan siap untuk diliberalisasi. Hal ini merupakan peluang sekaligus tantangan yang memerlukan kelihaian untuk memanfaatkannya. Jika tidak, maka serbuan penyedia jasa asing akan menggerus sendi-sendi sektor jasa di Indonesia. Kita tentu tidak ingin Indonesia hanya akan dimiliki oleh pihak asing melalui fasilitas yang kita buat sendiri. Jika kini kita melihat bank-bank asing merebak di tanah air, sudah saatnya kita menyaksikan bank-bank nasional milik negeri berdiri di seantero Asia, bahkan dunia.
Dengan kompleksitas kerja sama keuangan internasional yang saat ini ada, diperlukan konsistensi dan kepiawaian mengambil posisi yang sudah tentu harus menguntungkan Indonesia. Ketegasan SMI dapat terus ditiru untuk menunjukkan konsistensi sikap Indonesia. Landasan kerja sama pun telah dibuatnya. Alhasil, tinggal bagaimana kita memanfaatkan landasan yang telah dibuat tadi sebagai pijakan untuk berdiri lebih tinggi lagi, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Semoga.
Oleh: Eko Nugroho MS
(staf Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional)