Management by Exception
Penulis: Hidayat Amir
Di penghujung tahun 2007 bahkan mengawali tahun 2008, banyak sekali para ahli dan pengamat melakukan evaluasi, untuk membuat catatan akhir tahun yang telah berlalu. Seakan kaset yang diputar ulang. Berbagai kritik, dari yang santun sampai yang pedas, menghias berbagai media.
Rezim berkuasa pun tak tinggal diam. Berbagai tangkisan terhadap kritik dikemukakan. Sederet fakta keberhasilan dikibarkan. Untuk memelihara dan mengerek citra diri di hadapan rakyat. Bahkan tuan presiden pun turun tangan, seakan khawatir kalau kritikan pedas akan membahayakan kredibilitasnya.
Kehidupan perpolitikan yang kondusif, stabilitas makroekonomi, hubungan internasional yang harmonis dan keamanan nasional merupakan fakta-fakta keberhasilan yang tidak perlu disangkal.
Namun, keinginan kami untuk menyampaikan kekurangan yang masih ada bukan untuk mendiskreditkan tuan, hanya semata untuk memudahkan ingatan terhadap apa-apa yang masih harus dikerjakan. Dalam bahasa manajemen, melakukan negative list ini dikenal dengan management by exception. Hanya untuk menyederhanakan bukan untuk melupakan.
Kalau kami ingat bahwa dimasa awal kepemimpinan SBY, tim ekonomi telah membuat RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode 2004 sampai dengan 2009. Berdasar dokumen ini masih terdapat beberapa hal yang perlu untuk dikejar. Tentu dengan strategi jitu dan kerja keras. Mengingat kini telah memasuki tahun 2008, dan di tahun 2009, tentu akan sangat sibuk dengan berbagai agenda perpolitikan. Karena itu, tahun 2008 ini menjadi tahun yang amat menentukan.
Pertumbuhan ekonomi 2007 memang telah kembali mencapai angka di atas 6% atau diprediksikan akan mencapai 6,3%. Namun angka ini masih jauh dibawah target RPJM, yang sebesar 6,7%. Bahkan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia ini tergolong moderat dibanding beberapa negara industri baru Asia yang lain, seperti China 11%, India 9,4%, Vietnam 8,3%, Singapura 7,6% dan Sri Langka 7,4%. Tahun lalu pun target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan sebesar 6,1%, namun realisasinya hanya 5,5%.
Target pertumbuhan ekonomi tahun 2008, versi RPJM sebesar 7,1% atau pun 6,8% versi APBN akan sangat berat mengingat trend melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang dimotori oleh lesunya ekonomi Amerika Serikat. Namun demikian, apabila pemerintah cermat mengelola oportunitas yang ada serta bekerja keras, tentu kita masih bisa berharap. Karena diprediksikan pertumbuhan ekonomi akan tetap tinggi untuk negara-negara industri baru di Asia yang dimotori oleh China dan India.
Kemiskinan, sebagai salah satu janji kampanye SBY, sepertinya belum menyentuh akar permasalahan. Padahal tema pembangunan nasional yang diusung dalam RPJM adalah Percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Sehingga angka kemiskinan dan pengangguran tentu akan menjadi key success indicator keberhasilan tuan dalam memimpin negeri.
Tingkat penduduk miskin diproyeksikan sebesar 18,8 juta orang (8,2%). Faktanya sampai dengan Maret 2007 berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS 2 Juli 2007, kemiskinan masih jauh dari target yang dipatok. Jumlah penduduk miskin masih sebesar 37,17 juta orang (16,58%), menurun sebesar 2,13 juta orang dari sebesar 39,30 juta orang (17,75%). Penurunan ini walau perlu diapresiasi, namun secara jumlah tidaklah signifikan. Karena boleh jadi angka ini masih dalam marjin kesalahan perhitungan statistik. Artinya memang belum ada perubahan signifikan.
Begitu pun pengangguran. Walau pun menurun data BPS, jumlah pengangguran telah mengalami penurunan namun masih sangat jauh dari target RPJM. Per Februari 2005 tercatat sejumlah 10,85 juta penganggur (10,26%), naik menjadi 11,10 juta (10,25%) pada Februari 2006, kemudian turun ke angka 10,54 juta (9,75%) pada Februari 2007. Padahal proyeksi RPJM untuk periode 2005 – 2007 berturut-turut adalah 9,9 juta (9,5%), 9,4 juta (8,9%) dan 8,5 juta (7,9%). Apalagi untuk mengejar target RPJM dua tahun terakhir yang sebesar 7,3 juta (6,6%) dan 5,7 juta (5,1%) penganggur. Tentu merupakan pekerjaan yang sangat berat.
Tentu tidak fair, kalau menghakimi kenyataan hari ini dengan proyeksi masa lalu. Karena kondisi telah berubah, asumsi dasarnya pun sudah tidak sama. Akan tetapi, lebih mengherankan kalau kita berdiam diri walau hanya sekedar mengingatkan, akan apa yang telah didengung-dengungkan sebagai semangat kebersamaan dalam membangun bangsa.
Tentu rakyat akan bertanya, sudahkan pemimpin mereka bekerja secara bersungguh-sungguh. Karena untuk menggapai target besar itu diperlukan upaya yang besar pula. Kesungguhan yang setimpal. Substansial tidak hanya artifisial.
Prioritas anggaran, sebagai manifestasi prioritas pembangunan, pun belum nampak nyata kesesuaiannya dengan tema pembangunan nasional. Sebagai bukti, pemerintah masih tidak konsisten dalam mereduksi pos belanja subsidi BBM. Padahal telah jelas, adanya distorsi tujuan dalam subsidi ini. Di tahun 2007 pos subsidi BBM kembali melonjak mencapai Rp85,5 triliun.
Selain itu, anggaran pendidikan – terlepas dari bagaimana kualitas pengelolaannya – pun masih belum mencapai 20%, sebagaimana yang telah diprioritaskan oleh konstitusi. Padahal pendidikan penting untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Bukan hanya kemiskinan pendapatan, namun juga kemiskinan non-pendapatan, seperti akses terhadap kesehatan, gizi dan ilmu pengetahuan.
Belum jelas terasa kebijakan pemerintah yang mensejahterakan masyarakat golongan bawah. Karena pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi belum mampu mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara nyata.
Infrastruktur pertanian dan pedesaan – dimana mayoritas kaum miskin berada – kurang terperhatikan. Belanja anggaran ke daerah belum dioptimalkan untuk menggerakkan roda ekonomi sektor riil masyarakat. Karena faktanya masih banyak yang nangkring di SBI, dan jumlahnya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam hal ini seakan-akan pemerintah pusat kehilangan kendalinya.
Berlarut-larutnya proses birokrasi anggaran – yang kembali menyebabkan keterlambatan pencairan – juga memberi andil bagi terhambatnya kemajuan atau pun kualitas pembangunan.
Memang kurang mengenakkan. Tapi inilah segelintir dari masalah yang ada dalam daftar negatif. Sekali lagi bukan untuk melupakan prestasi yang telah diraih, namun hanya sekedar untuk menyederhanakan, sekedar untuk mengingat tentang apa-apa yang masih harus dikerjakan.
Karena kalau kita terlalu bangga dengan keberhasilan diri, sibuk mematut-matut diri maka akan membuat lupa akan pekerjaan yang masih harus dikerjakan. Sebaliknya, yang sibuk bekerja memang akan kurang tidur dan lupa akan penampilan diri. Namun percayalah tuan bahwa rakyat akan tetap menilai dengan kaca mata kejujurannya. Becik ketitik ala ketara. Yang baik akan kelihatan, yang buruk pun akan nampak.
*Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu RI; PhD Student pada School of Economics University of Queensland, Australia (tulisan pendapat pribadi dimuat di Media Indonesia Tgl 16 Januari 2008)