Perlambatan ekonomi dunia & perubahan asumsi APBN 2008
Penulis: Anggito Abimanyu, Andie Megantara
Oleh : Anggito Abimanyu & Andie Megantara
Awal bulan ini, negara-negara maju (G-7) plus Rusia menyelenggarakan pertemuan di Tokyo, Jepang. Pertemuan itu mengikutkan tiga negara outreach, yakni China, Korea Selatan, dan Indonesia.
Nuansa pertemuan G-7 kali ini tentu berbeda dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kelesuan ekonomi global yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat sejak pertengahan 2007, melonjaknya harga minyak mentah dunia, dan tingginya harga komoditas dunia menjadi topik utama pertemuan itu.
Krisis subprime mortgage membuat berbagai institusi terkemuka di dunia, seperti Citigroup, Merrill Lynch, dan UBS rontok. Total kerugian, termasuk kredit non-subprime dan penghapusan aset, diperkirakan mencapai US$400 miliar.
Hal menarik yang patut kita cermati dari kasus ini adalah besarnya injeksi dana dari negara di Asia dan Timur Tengah, sehingga menyebabkan perubahan kepemilikan institusi keuangan dunia pascakrisis subprime mortgage.
Kini situasi ketidakseimbangan global menjadi semakin lebar akibat defisit neraca perdagangan AS terhadap China. Kondisi ini terlihat nyata dengan besarnya cadangan devisa China yang meningkat pesat, yakni mencapai US$1.457 triliun.
Krisis di AS dan meningkatnya harga minyak mentah dunia pada akhirnya berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan melakukan beberapa kali revisi atas proyeksi ekonomi dunia.
Pada April 2007, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini masih 4,9%. Namun, pada Januari 2008 lembaga itu memangkas pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 4,1%.
Pertumbuhan ekonomi AS, negara yang menopang hampir 30% pertumbuhan ekonomi dunia, diproyeksikan IMF tinggal 1,5%. Padahal, pada September 2007 proyeksi IMF atas pertumbuhan ekonomi AS masih 2,9%. Hal yang sama juga terjadi pada Jepang dan Uni Eropa, termasuk negara lainnya, dengan tingkat kecepatan yang berbeda.
Berbagai situasi inilah-yakni ketidakseimbangan global, krisis di AS, melonjaknya harga minyak mentah dunia, dan tingginya harga komoditas-yang menjadi isu sentral dalam pertemuan G-7 plus tersebut. Komunike G-7 pun menyepakati sejumlah rekomendasi yang perlu dilakukan guna menjamin stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dunia serta menjaga kestabilan pasar finansial.
Untuk memperkuat kestabilan pasar finansial, misalnya, komunike G-7 menyepakati langkah untuk membatasi pengaruh negatif gejolak pasar keuangan melalui (1) koordinasi bantuan likuiditas, (2) mengidentifikasikan kerugian yang terjadi, (3) mengembalian fungsi pasar keuangan secara normal, dan (4) memperbaiki tingkat transparansi dengan acuan jelas sesuai dengan internasional.
Rekomendasi tersebut penting untuk dicermati, mengingat saat ini kita juga mengalami problem yang sama. Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia juga sudah mempersiapkan berbagai langkah antisipasi?
Antisipasi pemerintah
Pemerintah dari jauh hari telah menyadari krisis di AS, tingginya harga minyak mentah dunia, dan meningkatnya harga komoditas pangan dunia, yang cepat atau lambat pasti berimbas pada perekonomian Indonesia.
Pada paruh kedua 2007, pemerintah bahkan melakukan berbagai antisipasi dengan mengadakan exercise atas sejumlah kemungkinan dan skenario, termasuk skenario terburuk yakni bila harga minyak mentah dunia rata-rata dalam satu tahun menembus level US$100 per barel.
Pemerintah menyiapkan sembilan langkah antisipasi untuk menyelamatkan APBN yang disampaikan ke publik pada kuartal ketiga 2007.
Selain itu, pemerintah melakukan segala mekanisme seperti yang direkomendasikan G-7. Pertama, pemerintah sudah memiliki instrumen pemantauan dini dan survailance yang terus memberikan warning kepada para pengambil keputusan tentang perekonomian yang telah dan akan terjadi di Indonesia dengan segala antisipasinya.
Kedua, pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk meningkatkan peringkat utangnya (soverign rating). Hasilnya, pada 14 Februari 2008, Fitch Rating menaikkan peringkat Indonesia dari BB- menjadi BB.
Hal ini merupakan sinyal positif, di mana di tengah ancaman resesi dunia ternyata terjadi peningkatan rating Indonesia. Dengan meningkatnya rating tersebut tentu akan meminimalkan cost of borrowing.
Ketiga, pemerintah secara aktif mengadakan diskusi dengan para analis. Hal ini untuk mendapatkan masukan dari para analis dan pelaku pasar mengenai pandangan mereka terhadap outlook perekonomian global dan Indonesia, sehingga diperoleh benchmark dalam menentukan besaran-besaran asumsi makro.
Keempat, peningkatan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi. Koordinasi ini menunjukkan hasil yang semakin positif dengan dibentuknya Forum Stabilitas Sektor Keuangan (FSSK). Forum ini bertugas memantau dan mengantisipasi krisis di sektor keuangan.
Sebagai langkah antisipatif terhadap perlambatan ekonomi global dan kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah berinisiatif mengadakan perubahan terhadap asumsi makro APBN 2008. Perubahan asumsi ini tentu akan mengubah keseluruhan pos dalam APBN 2008.
Maka mungkin akan muncul pertanyaan mengapa perubahan itu harus dilakukan sekarang? Bukankah APBN 2008 baru berjalan dua bulan?
Pemerintah memandang perlu perubahan APBN dilakukan sekarang, sebab bila tidak dikhawatirkan akan mengganggu pelaksanaan APBN 2008 dan tidak dapat menampung segala perubahan yang terjadi. Hal ini mengingat asumsi ekonomi makro dalam APBN 2008 sulit dipertahankan.
Bila tetap dipertahankan, kredibilitas APBN 2008 justru akan dipertanyakan, defisit anggaran akan meningkat tinggi dan tidak dapat dibiayai, serta program kebijakan stabilisasi harga pangan tidak dapat dilaksanakan secara penuh. Dengan berbagai pertimbangan inilah, pemerintah memutuskan untuk mempercepat perubahan APBN 2008.
Di bawah ini beberapa perubahan asumsi makro dalam APBN 2008. Pertama, pertumbuhan ekonomi diubah dari 6,8% menjadi 6,4%. Hal ini di antaranya menyesuaikan dengan dampak perlambatan ekonomi dan perdagangan dunia.
Kedua, inflasi diubah dari 6% menjadi 6,5% mengingat tingginya harga komoditas, sehingga risiko inflasi akan meningkat. Dengan kebijakan stabilisasi harga pangan dan penguatan kurs, diharapkan akan dapat mengurangi risiko inflasi.
Ketiga, kurs rupiah diubah dari Rp9.100/US$ menjadi Rp9.150/US$. Walaupun kurs saat ini berada di sekitar Rp9.200/US$, kita optimistis penguatan kurs rupiah dapat dicapai dengan pengelolaan cadangan devisa yang baik.
Keempat, BI Rate tetap 7,5%, meskipun terdapat peluang penurunan akibat penurunan suku bunga The Fed.
Kelima, asumsi harga minyak mentah dalam APBN 2008 diubah dari US$60 per barel menjadi US$83 per barel. Angka ini menyesuaikan dengan perkembangan harga minyak mentah dunia.
Keenam, lifting minyak dari 1,034 juta barel per hari menjadi 0,910 juta barel per hari. Meski ditetapkan rendah, pemerintah tetap berupaya agar lifting dapat lebih ditingkatkan.
Dalam rangka meningkatkan lifting minyak, pemerintah akan memberikan insentif fiskal di antaranya berupa pembebasan bea masuk dan PPN atas peralatan eksplorasi dan eksploitasi migas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk mengantisipasi situasi global yang kurang menguntungkan. Persoalannya, bagaimana kita memanfaatkan secara optimal segala instrumen yang ada, sehingga kita dapat mengelola segala sesuatu secara optimal.
Pemerintah memang telah mengoreksi pertumbuhan dari 6,8% menjadi 6,4%. Namun, dengan peningkatan kualitas pertumbuhan, tujuan pemerintah mengurangi pengangguran dan kemiskinan dapat direaliasasi. Akhirnya dukungan dari berbagai pihak diperlukan untuk mensukseskan berbagai sasaran tersebut.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di Koran Bisnis Indonesia Edisi 21 Februari 2008