Formulasi Model-Model Penerimaan Perpajakan: Studi Kasus Model Perhitungan Potensi Penerimaan PPh Non Migas
Penulis: Pusat Kebijakan APBN
Penerimaan perpajakan merupakan salah satu pilar penerimaan dalam APBN, hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 8 huruf e. Amanat tersebut mengimplikasikan bahwa sebagai salah satu unsur pengemban tugas pelaksanaan dalam pemungutan pendapatan negara, penerimaan perpajakan harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
Mendesaknya tuntutan akan kenaikan pendapatan negara dari perpajakan seiring dengan kebutuhan belanja negara untuk pembangunan nasional. Permasalahan tersebut mampu dijawab dengan diikuti kenaikan penerimaan negara dari perpajakan. Namun demikian, meningkatnya pendapatan perpajakan tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya tax ratio (perbandingan antara penerimaan perpajakan dengan PDB Nominal). Pada era tahun 1990-an, tax ratio masih berada pada kisaran dibawah 10 persen, sedangkan pada era 2000-an tax ratio berkisar antara 11 persen hingga 12 persen. Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, tax ratio Indonesia masih relatif lebih rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2004 tax ratio Indonesia hanya sekitar 12,2 persen, sementara Malaysia dan China telah mencapai 16,3 persen dan 15,1 persen. Bahkan Korea mencapai angka yang lebih tinggi yaitu sebesar 18,9 persen dan Srilangka dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah mempunyai tax ratio sebesar 15,7 persen. Dengan mencermati kondisi tersebut, Indonesia masih harus meningkatkan tax ratio dengan jalan mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
Mekanisme untuk mendapatkan tax ratio yang ideal memang harus didukung strategi kebijakan perpajakan. Tiga strategi yang dilakukan pemerintah antara lain:
(a) reformasi di bidang administrasi,
(b) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan, dan
(c) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi.
Dampak dari strategi tersebut memang diharapkan berkesinambungan kedepannya.
Pentingnya peran perpajakan dalam APBN membutuhkan proyeksi penerimaan perpajakan yang credible agar target akurat dan dapat dicapai. Tepat tidaknya perencanaan besaran penerimaan perpajakan (target penerimaan perpajakan) akan berpengaruh pada kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional. Meskipun terdapat tujuan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan maupun tax ratio secara signifikan, penetapan target penerimaan perpajakan tidak boleh melebihi kemampuan dari perekonomian Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam menetapkan target penerimaan perpajakan harus memperhatikan potensi yang ada serta berbagai faktor perubahan indikator ekonomi yang sedang terjadi maupun perubahan kebijakan (policy) dan administrasi.
Dalam upaya menghitung proyeksi target penerimaan perpajakan yang credible, telah dibangun 5 (model) perpajakan yang mempunyai hubungan keterkaitan. Kelima model tersebut adalah :
1) Model monitoring penerimaan prpajakan (Model bulanan);
2) Model target penerimaan perpajakan (Model tahunan);
3) Model dmpak kbijakan terhadap penerimaan perpajakan;
4) Model perhitungan potensi penerimaan perpajakan; dan
5) Model target penerimaan perpajakan per sektor.
Hubungan keterkaitan antara kelima model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Model monitoring penerimaan perpajakan (model bulanan) mencatat realisasi penerimaan perpajakan secara berkala setiap bulan untuk memantau perkembangan realisasi penerimaan perpajakan. Realisasi penerimaan perpajakan tersebut digunakan sebagai dasar untuk menentukan target penerimaan perpajakan secara bulanan dan sekaligus perkiraan realisasi (outlook) selama satu tahun anggaran. Hasil dari perkiraan realisasi selama satu tahun tersebut akan digunakan sebagai baseline untuk menghitung proyeksi penerimaan perpajakan tahun berikutnya, dengan memperhitungkan berbagai pengaruh dari beberapa indikator ekonomi makro. Pengaruh dari kebijakan perpajakan yang diambil pemerintah dalam tahun tertentu terhadap penerimaan perpajakan dihitung menggunakan model dampak kebijakan yang hasilnya dipakai sebagai faktor penambah (potential gain) ataupun faktor pengurang (potential loss) terhadap perhitungan proyeksi penerimaan perpajakan tahun berikutnya.
Untuk mengetahui apakah perhitungan proyeksi penerimaan pajak sudah akurat maka perlu diketahui besarnya potensi penerimaan pajak yang sesuai dengan kondisi perekonomian yang sebenarnya. Dengan membandingkan perhitungan potensi dan proyeksi penerimaan perpajakan akan diketahui besarnya selisih pajak (tax gap) yang biasa dipakai untuk mengukur tingkat optimalisasi penerimaan perpajakan. Untuk meminimalisir tax gap tersebut, perlu diupayakan langkah-langkah yang bersifat administratif yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan (extra effort). Dari penjumlahan perhitungan baseline, potential gain/loss, dan extra effort tersebut akan menghasilkan suatu proyeksi penerimaan perpajakan yang nantinya akan dipakai untuk menyusun anggaran (APBN). Dari target tahunan yang telah ditetapkan kemudian dihitung target penerimaan perpajakan menggunakan model sektoral, untuk menetapkan target penerimaan sesuai dengan sektor-sektor lapangan usaha.
Data yang digunakan dalam membangun model-model penerimaan perpajakan adalah data sekunder yang berasal dari internal Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan Badan Kebijakan Fiskal. Selain itu, pembangunan model-model penerimaan perpajakan juga memerlukan data yang berasal dari instansi lain seperti Badan Pusat Statistik dan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Jenis-jenis data yang digunakan antara lain: data penerimaan perpajakan berdasarkan jenis pajak, data penerimaan perpajakan berdasarkan sektor, data PDB, data indikator ekonomi makro, data penghasilan rumah tangga di Indonesia dan proporsi upah gaji secara nasional.
Dalam tahun 2009, selain melakukan update terhadap model-model perpajakan yang sudah ada, kegiatan difokuskan pada penyempurnaan model potensi perpajakan yang disusun berdasarkan hasil penelitian dari peneliti internal Badan Kebijakan Fiskal. Penyempurnakan dilakukan melalui up-date data pokok susenas panel Maret 2009 dengan jumlah sample di atas 65.000 rumah tangga. Selain itu, penyempurnaan juga dilakukan dengan membangun suatu program aplikasi yang memungkinkan diadakannya simulasi perubahan sesuai dengan kondisi yang ditetapkan. Perhitungan potensi dilakukan terbatas pada penerimaan PPh nonmigas.
Secara sederhana, alur perhitungan potensi penerimaan PPh dapat dijelaskan sebagai berikut. Perhitungan potensi penerimaan PPh nonmigas, khususnya PPh Orang Pribadi (OP) dilakukan dengan menggunakan PDB sebagai basis pajak (tax base). Penerimaan PPh non migas berdasarkan penggolongan penghasilan (UU No 36 2008 tentang PPh) dihitung berdasarkan rasio penggolongan penghasilan berdasarkan modul konsumsi, blok pendapatan, yang bersumber dari Susenas, serta setelah memperhitungkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Berdasarkan angka rasio masing-masing golongan penghasilan yang kemudian dikalikan dengan nominal PDB maka dihasilkan angka tax base dari masing-masing golongan penghasilan. Setelah dikalikan dengan tarif dari masing-masing golongan penghasilan, maka potensi penerimaan PPh nonmigas OP dapat dihitung. Sementara itu, untuk menghitung potensi penerimaan PPh Badan, tax base yang digunakan adalah laba perusahaan masuk bursa. Dari hasil perhitungan potensi penerimaan PPh nonmigas tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:
Potensi Penerimaan PPh Nonmigas 2009 - 2014
Keterangan :
*ITRC adalah
Income Tax Coverage Ratio yang merupakan perbandingan antara realisasi dengan potensi penerimaan pajak
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa target penerimaan PPh nonmigas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rencana Pembangunan Jangka Menengah (APBN RPJM) periode 2010 – 2014 masih dibawah potensinya. Dilihat dari income tax coverage ratio (ITCR), realisasi penerimaan PPh nonmigas pada tahun 2009 mencapai 59 persen dari potensinya. Untuk tahun-tahun selanjutnya, terjadi peningkatan hingga mencapai 86 persen pada tahun 2014. Peningkatan ITCR tersebut menggambarkan bahwa penerimaan pajak, khususnya PPh nonmigas, semakin optimal dari tahun ke tahun.
Sesuai dengan tujuan tim, yaitu menciptakan model-model penerimaan perpajakan yang credible, tim akan tetap berupaya melakukan penyempurnaan maupun revisi terhadap model-model yang sudah ada. Terkait dengan upaya penyempurnaan tersebut, tim akan berusaha melaksanakan rekomendasi yang berasal dari kalangan akademisi atau universitas. Rekomendasi tersebut diterima pada saat tim melakukan road show model ke beberapa universitas terkemuka di Indonesia. Berikut adalah rekomendasi yang diterima:
1. Pemerintah (dalam hal ini DJP Kemenkeu) hendaknya lebih mengoptimalkan upaya dalam pemungutan pajak karena masih ada indikasi besarnya gap coverage ratio antara realisasi dengan potensi penerimaan pajak (seperti pada PPh dan PPN). Upaya optimalisasi ini bisa dilakukan melalui perluasan basis pajak dan sosialisasi perpajakan pada masyarakat yang lebih luas perlu dilakukan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan.
2. Ke depannya, perlu terus dilakukan upaya perbaikan pada model potensi penerimaan perpajakan melalui perbaikan sumber data dan formulasi perhitungannya sehingga pada akhirnya bisa menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan penerimaan perpajakan yang lebih akurat.
3. Beberapa rekomendasi tambahan yang terkait dengan model-model penerimaan perpajakan di atas adalah:
a. Perlu adanya pendekatan perhitungan model potensi perpajakan menggunakan data daerah, dalam hal ini PDRB, yang dianggap lebih mewakili kondisi perekonomian masing-masing daerah sesuai dengan karakteristiknya.
b. Dalam menentukan target penerimaan perpajakan nasional, sebaiknya menggunakan pendekatan “bottom up� atau target penerimaan perpajakan diusulkan dari masing-masing daerah sesuai dengan kemampuan, bukan “top down� sebagaimana yang saat ini terjadi dimana target ditentukan dari pusat.
c. Dalam menghitung target perpajakan nasional perlu juga diperhatikan beberapa obyek pajak yang beroperasi di daerah namun pemungutannya dilakukan oleh kantor pusat. Selama ini, penerimaan atas obyek-obyek pajak tersebut masuk dalam perekonomian daerah tetapi tidak tercatat dalam penerimaan perpajakan nasional.
File Terkait:
Versi pdf