Analisis Efektivitas Kebijakan Stimulus Fiskal : Studi Kasus Industri Tekstil, Karet, Kertas, dan Kelapa Sawit
Penulis: Pusat Kebijakan APBN
Krisis ekonomi global mengakibatkan dampak pada perekonomian domestik. Indikasi terlihat dari turunnya ekspor Indonesia ke sejumlah negara kawasan Amerika dan Eropa yang dilanda krisis global.
Adanya persoalan tersebut, Pemerintah mengantisipasinya melalui sejumlah kebijakan Stimulus Fiskal yang ditujukan untuk : (1) memelihara dan meningkatkan daya beli masyarakat agar konsumsi rumahtangga tumbuh di atas 4 persen; (2) menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha dalam menghadapi krisis global; (3) meningkatkan daya serap tenaga kerja guna mengatasi pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya.
Kebijakan stimulus terbagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu (1) kebijakan penghematan pembayaran pajak sebesar Rp43 triliun; (2) kebijakan subsidi pajak bea masuk dan pajak ditanggung Pemerintah sebesar Rp13,3 triliun, dan (3) kebijakan subsidi non pajak, belanja stimulus belanja negara dan pembiayaan bagi dunia usaha sebesar Rp16,959 triliun.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder. Untuk data primer diperoleh dari survei lapang dengan menyebarkan kuesioner maupun wawancara kepada 4 industri pengolahan yang tersebar di Provinsi-provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Makasar, Medan, Pontianak, Palembang, Pekanbaru dan Kupang.
Sedangkan untuk penelitian data sekunder diperoleh dari data, seperti data Input–Output (I/O) tahun 2005, data realisasi anggaran stimulus fiskal kementerian/lembaga, dan data ekspor – impor. Dari data I/O tersebut ditetapkan sektor-sektor yang sangat rentan, cukup rentan, dan tidak terpengaruh dampak krisis ekonomi global. Dari Tabel I/O tersebut, selanjutnya dikembangkan keterkaitan antar sektor yang dicerminkan dari keterkaitan, baik keterkaitan ke belakang (backward linkage) maupun keterkaitan ke depan (forward linkage). Hal ini berguna untuk mengevaluasi apakah kebijakan stimulus fiskal memperhatikan keterkaitan tersebut.
Hasil survei lapang menunjukkan bahwa kebijakan stimulus fiskal mengandung beberapa kelemahan. Baik itu kebijakan yang ditujukan untuk dunia usaha maupun kebijakan yang dilakukan melalui belanja Kementerian/Lembaga.
Ada 24 sektor yang sangat rentan terhadap dampak krisis ekonomi global yang seharusnya menjadi sasaran kebijakan stimulus fiskal. Namun demikian hasil survei membuktikan bahwa, stimulus dalam bentuk kebijakan bea masuk dan pajak ditanggung Pemerintah, kurang dimanfaatkan oleh kalangan industri. Penyebabnya bersumber dari tidak siapnya aparat Pemerintah, Pusat dan Daerah, mensosialisasikan kebijakan stimulus fiskal. Ketidaksiapan ini mencerminkan rendahnya koordinasi dan sosialisasi kebijakan terhadap publik.
Sebagai contoh, industri tekstil dan produk tekstil belum memanfaatkan kebijakan stimulus sekalipun industri tersebut merupakan kelompok industri yang terkena dampak parah pada masa krisis ekonomi global. Hasil survei menyatakan bahwa para pelaku usaha di industri tekstil dan produk tekstil kurang memperoleh informasi dari institusi pelaksana stimulus fiskal. Hal yang sama terjadi pada industri kertas dan produk kertas, industri karet, dan industri CPO yang merupakan industri sampel survei.
Termasuk kebijakan stimulus diskon tarif listrik yang belum memperhatikan karakteristik pola konsumsi listrik industri-industri yang ada. Beberapa industri terpaksa harus mensubstitusi sumber pembangkit listrik untuk menghindari disinsentif tarif yang diberlakukan pada jam beban puncak.Tindakan ini dilakukan guna menjaga agar kegiatan produksi tetap berjalan normal. Diharapkan kebijakan disinsentif tarif memperhatikan karakteristik pola konsumsi listrik industri.
Ada beberapa perbaikan keijakan lainnya yang perlu dilakukan berdasarkan temuan lapang implementasi kebijakan stimulus fiskal. Pertama, kebijakan stimulus fiskal perlu lebih fokus pada dunia usaha yang menjadi leading sector perekonomian, baik itu dalam bentuk kebijakan pajak ditanggung Pemerintah (DTP) maupun kebijakan belanja infrastruktur. Beberapa sektor usaha yang nyata-nyata berkarakteristik padat tenaga kerja (labor intensive) sebaiknya menjadi sektor prioritas atas kebijakan insentif tarif pajak. Selain itu, perbaikan kualitas pelayanan untuk menyelesaikan berbagai persoalan pajak lebih memberi manfaat bagi dunia usaha. Sebagai contoh perbaikan mekanisme dan jangka waktu penyelesaian restitusi pajak sangat diharapkan untuk meningkatkan kepastian arus kas perusahaan.
Kedua terkait dengan perlunya kebijakan stimulus fiskal diarahkan lebih pada penyediaan barang dan jasa publik di mana swasta relatif tidak berminat untuk menyediakan. Sebagai contoh fasilitas pengolahan limbah. Beberapa sektor industri menyatakan bahwa investasi fasilitas tersebut sangat besar sehingga menyedot cukup besar kemampuan finansial perusahaan. Adanya campur tangan Pemerintah untuk penyediaan fasilitas tersebut akan mengurangi beban perusahaan.
Selanjutnya usulan perbaikan ketiga, terkait dengan kebijakan stimulus fiskal dalam bentuk diskon tarif listrik, kebijakan harga perlu memperhatikan karakteristik industri pengguna listrik yang kegiatan produksinya sensitif terhadap insentif/disinsentif tarif listrik. Sebaiknya disinsentif tarif tidak menghambat proses produksi untuk industri-industri yang bekerja terus menerus seperti industri tekstil dan produk tekstil.
File Terkait:
Versi pdf