Analisis Perubahan Tarif Pajak Daerah Terhadap PAD dan APBD: Pendekatan Model Proyeksi Penerimaan Pajak Daerah
Penulis: Pusat Kebijakan APBN
Sampai saat ini belum ada standar bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan perkiraan jumlah penerimaan dalam proses perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perencanaan perkiraan penerimaan APBD yang selama ini dilakukan pada umumnya dihitung berdasarkan asumsi penambahan anggaran sebesar 10 sampai 30 persen dari anggaran tahun sebelumnya untuk mendanai kebutuhan belanjanya. Sementara itu, untuk meningkatkan penerimaan APBD yang optimal perlu dilakukan perhitungan potensi penerimaan pajak daerah yang lebih akurat agar dapat memenuhi kebutuhan belanja daerah yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
Model proyeksi penerimaan pajak daerah dibangun melalui 2 tahap, yaitu : (1) analisis pengujian variabel-variabel perekonomian daerah, serta (2) pemetaan data input-output daerah untuk mengetahui keterkaitan antar sektor, baik yang memiliki keterkaitan ke belakang Backward Linkage (BL) maupun keterkaitan ke depan Forward Linkage (FL) terhadap ouput perekonomian daerah.
Dari pengujian variabel makro ekonomi daerah dan pemetaan input output daerah, diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Pengujian dilakukan terhadap beberapa indikator yang diperkirakan berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah antara lain : (1) Produk Domestik Regional Bruto, (2) PDRB Sektoral, (3) Jumlah Penduduk, (4) Dana Perimbangan, dan (5) Tingkat Penggangguran. Indikator-indikator tersebut tidak secara langsung mempengaruhi penerimaan pajak daerah namun diperkirakan memiliki korelasi cukup kuat terhadap besaran pajak daerah. Persamaan penerimaan pajak daerah adalah sebagai berikut :
Log(tax) = 8.19 + 0.10 Log(manu) + 0.28 Log(listrik) + 0.32Log(hotel) - 0.73 Log(dau) + 0.67 Log(penduduk) - 0.26 Log(pengangguran)
di mana :
Tax merupakan variabel dependen, yang dipengaruhi oleh beberapa independen variabel yaitu : besarnya alokasi DAU, jumlah penduduk, tingkat pengangguran, penerimaan dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan manufakturing. Angka-angka koefisien menunjukkan tingkat signifikans dan arah korelasi antara variabel dependen dan independen.
2. Pemetaan Tabel Input-Output : Setelah melakukan pengujian terhadap beberapa variabel makro ekonomi, dilakukan pemetaan sektor-sektor perekonomian daerah yang memiliki keterkaitan dengan potensi pajak daerah berdasarkan tabel I-O. Hal ini penting agar pengenaan pajak daerah dapat dilakukan secara lebih terarah berdasarkan pertimbangan optimalisasi sektor-sektor kunci, yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang cukup tinggi.
Kajian ini menggunakan I-O propinsi Nusa Tenggara Barat. Simulasi pengujian besarnya pengaruh perubahan tarif pajak daerah terhadap sektor-sektor ekonomi dilakukan terhadap : (a) Pajak Propinsi yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan (b) Pajak Kabupaten/kota yaitu pajak Hotel, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C (berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 jenis pajak ini telah diubah menjadi Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan), dan Pajak Penerangan Jalan. Hasil simulasi adalah sebagai berikut :
a. Terhadap perubahan tarif pajak kendaraan bermotor :
Jika tarif pajak diturunkan sebesar 15 persen (dari 5 persen menjadi 4,3 persen) maka diperkirakan output perekonomian akan meningkat sebesar 0,005 persen. Dengan asumsi elastisitas pajak kendaran bermotor terhadap permintaan -1,0 persen, maka penurunan tarif pajak tersebut akan menambah final demand sebesar 0,15 persen. Disisi lain penurunan tarif tersebut diperkirakan akan menurunkan PAD sebesar 0,6 persen. Dampak selanjutnya adalah menurunnya belanja APBD sebesar 0,06 persen.
b. Terhadap perubahan tarif pajak hotel :
Jika tarif pajak diturunkan sebesar 10 persen (dari 10 persen menjadi 9 persen) maka diperkirakan output perekonomian akan meningkat sebesar 0,002 persen. Dengan asumsi elastisitas pajak hotel terhadap permintaan -3,0 persen, maka penurunan tarif pajak tersebut akan menambah final demand sebesar 0,3 persen. Disisi lain penurunan tarif tersebut diperkirakan akan menurunkan PAD sebesar 0,2 persen. Dampak selanjutnya adalah menurunnya belanja APBD sebesar 0,02 persen.
c. Terhadap perubahan tarif pajak galian C :
Jika tarif pajak diturunkan sebesar 15 persen (dari 20 persen menjadi 17 persen) maka diperkirakan output perekonomian akan meningkat sebesar 0,058 persen. Dengan asumsi elastisitas pajak galian C terhadap permintaan -3,4 persen, maka penurunan tarif pajak tersebut akan menambah final demand sebesar 0,5 persen. Disisi lain penurunan tarif tersebut diperkirakan akan menurunkan PAD sebesar 5,37 persen. Dampak selanjutnya adalah menurunnya belanja APBD sebesar 0,56 persen.
d. Terhadap perubahan tarif pajak penerangan jalan :
Jika tarif pajak diturunkan sebesar15 persen (dari 10 persen menjadi 8,5 persen) maka diperkirakan output perekonomian akan meningkat sebesar 0,0021 persen. Dengan asumsi elastisitas pajak penerangan jalan terhadap permintaan -1,3 persen, maka penurunan tarif pajak tersebut akan menambah final demand sebesar 0,2 persen. Disisi lain penurunan tarif tersebut diperkirakan akan menurunkan PAD sebesar 0,23 persen. Oleh sebab itu belanja APBD harus dikurangi secara proporsional sesuai prioritas agar tetap menghasilkan dampak perekonomian yang lebih baik.
Selanjutnya dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa :
1. Proyeksi penerimaan pajak daerah yang tepat akan mempengaruhi optimalisasi penerimaan PAD untuk mendanai kebutuhan belanja APBD.
2. Pengembangan model proyeksi pajak daerah untuk masing-masing daerah dapat dilakukan sebagai pedoman dalam memperkirakan besarnya pajak daerah sehingga perencanaan APBD dapat dilakukan dengan lebih baik.
3. Pembangunan model pajak daerah dalam penelitian ini masih pada tahap yang sangat awal sehingga belum dapat menjawab seberapa besarnya target pajak yang dapat ditetapkan sesuai potensinya. Namun dengan mengetahui keterkaitan sektor-sektor dengan jenis pajak daerah, diharapkan menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran tarif pajak yang secara langsung berakibat terhadap penerimaan PAD.
Mengingat belum seluruh daerah memiliki Tabel I-O, maka apabila model pajak daerah ini akan dikembangkan dan diimplementasikan di daerah, maka daerah perlu menyusun Tabel I-O regional untuk daerahnya masing-masing, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.
Mengingat model ini disusun secara sederhana, maka perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat mengatasi kebutuhan daerah dalam rangka memproyeksikan perencanaan APBD. Tindak lanjut dari pengembangan model ini terutama membuat sistem konversi atau pemetaan sektoral yang baku sehingga model ini dengan cepat dapat dianalisis setiap tahunnya.
File Terkait:
Versi pdf