Penulis: Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Dengan semangat bahwa target 26% pengurangan emisi bersumber dari dana domestic yang sudah tertuang dalam RAN-GRK maka dirasakan perlu untuk menganalisa berbagai kemungkinan mekanisme insentif yang terlepas dari ketergantungan dana internasional termasuk REDD. Tentunya pertanyaan utamanya adalah, apakah hal ini mungkin? Jika iya berapa dana yang dibutuhkan? Jika akan diterapkan melalui system transfer antar daerah yang sudah ada bagaimana implikasinya terhadap pola spasial transfer yang sudah berjalan? Akankah ini cenderung menambah atau mengurangi disparitas transfer antar daerah yang dapat berimplikasi pada ketimpangan pembangunan antar daerah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah cakupan utama dari analisis dalam laporan ini.
Analisis yang dilakukan dalam laporan ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan dari mekanisme insentif regional yang terpisah dari mekanisme internasional (seperti REDD) yang diformulasikan melalui mekanisme transfer antar daerah yang sudah ada dalam rangka mengurangi emisi karbon yang bersumber dari deforestasi. Ini dilakukan dengan melakukan estimasi anggaran yang dibutuhkan dengan membandingkan dengan tingkat efektifitasnya; menganalisa dampak spasial dari perubahan emisi serta penerimaan pemerintah daerah termasuk implikasinya terhadap distribusi transfer antar daerah; mengkaji kelayakan dan kecukupan sumber dana domestik untuk mengimplementasikan mekanisme insentif regional tersebut, dan memberikan beberapa rekomendasi penting dalam rangka implementasi mekanisme insentif regional yang efektif. Analisis ini dilakukan dengan berbasis pada model OSIRIS-INDONESIA, sebuah model yang cukup komprehensif dan capable untuk melakukan analisis-analisis tersebut.
Simulasi yang menggunakan model OSIRIS-INDONESIA menghasilkan beberapa temuan penting. Yang pertama, potensi leakage, yaitu suatu kondisi dimana pengurangan emisi yang dilaukan di suatu atau beberapa daerah tidak dibarengi dengan pengurangan emisi di daerah lain, menjadikan mekanisme insentif regional yang tidak memasukan unsur penalty (yang memang secara politik kurang feasible) menjadikan biaya anggaran yang dibutuhkan relative tinggi dibandingkan efektifitas pengurangan yang terjadi secara nasional. Pengurangan emisi nasional sebesar 8.2% dari historical baseline harus ditanggung oleh transfer ke daerah sebesar Rp 42 trilyun setara hamper dengan 3 kali lipat dana DAK saat ini.
Yang kedua, efektivitas dari pengurangan emisi sebagai dampak dari implementasi Regional Incentive Mechanism (RIM) ini cukup bervariasi secara spasial. Daerah-daerah yang melakukan pengurangan emisi terbesar umumnya adalah daerah-daerah di Sumatera, Papua, dan Kalimantan. Akan tetapi kenaikan emisi terbesar juga terjadi di daerah-daerah (kabupaten/kota) di wilayah-wilayah tersebut.
Yang ketiga, walaupun daerah-daerah di Pulau Jawa relative tidak diuntungkan dengan adanya mekanisme RIM ini, disparitas transfer antar daerah, baik itu DAU, DAK, DBH, maupun total transfernya, tidak menjadi lebih rendah. Ini terjadi karena di luar Pulau Jawa pun mekanisme RIM ini berpotensi untuk memunculkan sumber disparitas baru diantara daerah-daerah di wilayah-wilayah tersebut.
Yang ke-empat, dari hasil analisis yang dilakukan oleh Busch et al., (2012), dapat ditarik tiga rekomendasi untuk mendesain mekanisme yang lebih efektif, terutama yang terkait secara langsung dengan mekanisme internasional REDD+. Pertama, carbon accounting dilakukan di dua tingkat, tingkat nasional dan sub-nasional. Kedua, proporsi dari revenue-loss sharing tidak bisa memberatkan satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Ketiga, keikutsertaan dari pemerintah daerah merupakan faktor penting untuk menjamin keberlangsungan mekanisme REDD+.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.