Paradigma Utang dari Masa ke Masa
Penulis: Ragimun
Belajar dari sejarah, utang luar negeri pemerintah selalu menjadi batu sandungan dan polemik. Dalam perkembangannya, kondisi keuangan negara dari pascakemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, reformasi dan sekarang pascareformasi sangat beragam falsafah, persepsi, dan paradigma tentang utang itu sendiri.
Pemerintah Orde Lama memandang utang terutama utang luar negeri adalah bentuk penghinaan terhadap harkat dan martabat bangsa karena pembangunan Indonesia berorientasi pada prioritas kemandirian bangsa. Pada era ini tentu euforia kemandirian adalah harga mutlak yang tidak boleh ditawar. Dampaknya, utang pemerintah terutama utang luar negeri bisa diminimalisasi.
Sebaliknya, pemerintah lebih cenderung memakai mekanisme pembiayaan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan mercusuar, salah satunya dengan mekanisme pencetakan uang, yang kemudian memicu terjadinya inflasi. Dengan demikian, rezim pemerintah Orde Lama kolaps dengan hiperinflasinya.
Pada era Orde Baru istilah utang dikonotasikan lebih halus. Pemerintah saat itu beranggapan bahwa kemandirian tidaklah cukup. Utang adalah pelengkap pembangunan karena dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), saat itu utang masih dianggap sebagai penerimaan.
Era ini sangat yakin bahwa mendatangkan investor asing adalah mutlak sebagai stimulan geliat pembangunan, dan tidak dimungkiri bahwa utang tersebut banyak didominasi utang luar negeri baik loan, soft loan, grant maupun bantuan program. Beberapa lembaga atau negara donor dominan seperti Jepang, ADB, IMF, Bank Dunia, termasuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang diketuai Belanda, yang kemudian puncaknya Perdana Menteri Belanda Pronk saat itu terlalu jauh mendikte kebijakan pembangunan Indonesia.
Hal ini memunculkan sentimen sebagian orang dan akhirnya Indonesia keluar dari forum Paris Club tersebut. Diubahlah IGGI menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia) dengan tanpa Belanda, tetapi maknanya tetap sama, yaitu campur tangan asing. Saat itu, alasannya adalah bahwa utang akan sangat bermanfaat apabila dikelola dengan baik, termasuk alasan lainnya sebagai alibi yaitu bahwa utang luar negeri Indonesia, karena fungsinya sebagai pelengkap, secara persentase jumlahnya makin menurun dibanding PDB.
Alasan inilah yang kemudian menjadi argumen pemerintah menambah pundi-pundi utang. Celakanya, tidak disadari bahwa basis ekonomi Indonesia tidak terlalu kukuh dan manajemen pengelolaan utang belum efektif. Karena itu, begitu terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar atau krisis ekonomi melanda, runtuhlah pemerintah ini. Celakanya, itu menyisakan utang yang begitu besar terutama utang luar negeri. Kemudian, ini butuh waktu lama untuk pemulihan dari krisis tersebut.
Setelah berakhirnya Orde Baru, muncullah reformasi. Orde ini pun banyak dipengaruhi oleh tekanan politis serta euforia masyarakat mengenai kebebasan mengemukakan pendapat dan berdemokrasi. Berkaca pada orde sebelumnya, yang kolaps disebabkan antara lain karena berjibunnya utang luar negeri, yang pada saat itu besarnya utang luar negeri saja telah mencapai lebih dari 3 kali APBN setahun, sehingga beban pembayaran cicilan dan bunga utang sangat besar.
Era ini mengubah pola APBN bahwa utang bukan sebagai pelengkap atau penerimaan pembangunan, tetapi sebagai pembiayaan atas defisit anggaran. Belajar dari pengalaman pahit era sebelumnya itulah para birokrat era ini kemudian menggali sumber-sumber pembiayaan atau melakukan financial engineering untuk mengurangi besarnya defisit.
Salah satunya adalah dengan banting setir menggali utang dalam negeri seperti penerbitan surat utang negara (SUN), sukuk, penjualan aset, privatisasi dan lain-lain. Namun, utang luar negeri pun masih menjadi andalan untuk menutup defisit anggaran. Walaupun utang Indonesia telah bergeser komposisinya, yakni utang dalam negeri menjadi sekitar 56 persen dan utang luar negeri menjadi 54 persen, namun tetap saja bahwa hakikat kemandirian harus menjadi perhatian pemerintah, yang berarti masih mempunyai ketergantungan pada utang.
Pengaruh tekanan politis pada era ini sedikit banyak mempunyai pengaruh bagus, sehingga era ini mempunyai prestasi melunasi utang IMF. Memang saat itu intervensi IMF terlalu jauh dalam pengambilan kebijakan pembangunan di Indonesia. Keberanian semacam inilah sebenarnya yang diperlukan guna meningkatkan harga diri bangsa sekaligus mengurangi ketergantungan pada asing.
Pascareformasi ini memang diperlukan kehati-hatian. Orde ini semestinya jangan sampai terlena lagi. Kalau kita amati sekarang ini, banyak lembaga atau negara donor yang mengiming-imingi pendanaan dengan cost of fund yang rendah, skema yang menarik, termasuk bentuk-bentuk kemasan berlabel isu-isu terkini seperti kemiskinan, penanganan krisis finansial global, isu perubahan iklim, dan pola-pola pendanaan yang menggiurkan untuk menjebloskan dalam lubang ketergantungan (addictive).
Sudah semestinya kepekaan untuk menolak dan pertimbangan yang matang menjadi hal yang penting, sehingga kita harus berani berkata, No, Sir. Sebagai gambaran pembayaran bunga utang pada 2008 sebesar 94,8 triliun rupiah meningkat menjadi sebesar 101,7 triliun rupiah tahun 2009, di mana bunga utang luar negeri sebesar Rp 32,3 triliun dari Rp 29 triliun atau terjadi kenaikan hampir 12 persen pada tahun 2009.
Pascareformasi sekarang ini pun masih menyisakan berbagai pembenahan dan permasalahan mengenai pengelolaan utang. Siapa yang mencari pinjaman kemudian masuk kantong besar dan untuk pos-pos apa saja dan siapa pemakainya, belum termonitor dengan optimal.
Masyarakat sekarang tentu berkeinginan paradigma pola pembiayaan yang memprioritaskan utang luar negeri mesti dikesampingkan terlebih dahulu. Kalau perlu, secara bertahap pemerintah beserta dukungan politis berani mengurangi utang secara signifikan.
Di samping itu, yang lebih utama adalah menekan tingkat kebocoran atau melakukan efisiensi anggaran sebagai alternatif menutup defisit itu. Di sisi lain terus menggiatkan penerimaan negara terutama dari sisi pajak. Hasil pemilu dan pilpres nanti diharapkan akan peduli terhadap masalah ini, yang mempunyai nuansa tidak hanya sekadar bagaimana dapat menutup defisit anggaran, tetapi juga mengedepankan kemandirian dan harga diri bangsa.***
Oleh Ragimun
Penulis adalah peneliti Badan Kebijakan Fiskal Depkeu
(Suara Karya)