Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang sangat mempengaruhi jalannya perekonomian. Secara umum APBN menjabarkan rencana kerja dan kebijakan Pemerintah dalam menyelenggarakan Pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki, mendistribusikan pendapatan dan kekayaan melalui intervensi kebijakan serta upaya menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir strategi kebijakan fiskal senantiasa diarahkan untuk melanjutkan dan memantapkan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat serta ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dengan tetap memberikan stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan negara. Kondisi keuangan negara (APBN) yang sehat dan berkelanjutan merupakan salah satu jangkar pengaman bagi kinerja ekonomi nasional yang lebih baik sekaligus merupakan tolok ukur utama dari kesehatan perekonomian nasional.
Pentingnya peran APBN dalam perekonomian menimbulkan kepedulian atas efektivitas dan efisiensi dari peran APBN, khususnya komponen belanja. Hal ini penting mengingat komponen belanja APBN merupakan penterjemahan dari rencana kerja pemerintah di tiap tahun. Rencana kerja tersebut tentunya memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai sejalan dengan sasaran pembangunan jangka menengah yang telah ditetapkan(prioritas pembangunan). Ada kalanya pada setiap periode penganggaran belanja, pemerintah dihadapkan pada situasi dinamis dari indikator-indikator makroekonomi yang ada sehingga muncul alternatif pilihan tujuan alokasi belanja beserta besaran alokasinya untuk mencapai tujuan di tahun tersebut secara efektif dan efisien.
Salah satu sasaran dari belanja Pemerintah dalam APBN adalah pembangunan manusia. Seperti halnya dengan pendekatan pembangunan ekonomi, konsep pembangunan manusia ini juga terukur. Berdasarkan perspektif pembangunan yang telah diuraikan tersebut di atas, pembangunan manusia tidak diukur dari pendapatan semata, tetapi dari indeks komposit yang disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen dasar manusia yang secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia, yaitu komponen (i) peluang hidup (longevity), (ii) pengetahuan (knowledge), dan (iii) standar hidup layak (decent living).
Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan analisis keterkaitan antara penganggaran APBN dengan peningkatan kualitas IPM melalui dua aktivitas utama dalam pengembangan model simulasi, yaitu: (1) pemanfaatan data rincian APBN untuk membentuk APBN baseline yang nantinya akan dijadikan dasar di dalam melakukan simualasi; (2) berdasarkan data baseline APBN yang sudah ada kemudian dilakukan pemanfaatan data rincian belanja per fungsi serta status pembangunan manusia di Indonesia (IPM). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rincian realisasi APBN tahun 2012. Sedangkan rincian belanja yang dianalisis nantinya lebih difokuskan kepada rincian belanja per fungsi APBN yang diasumsikan akan memberikan dampak terhadap peningkatan status IPM Indonesia baik dari sisi pendidikan, kesehatan maupun tingkat kehidupan yang layak. Selain belanja Pemerintah Pusat, simulasi juga mencakup belanja di daerah yang memiliki fungsi mendukung peningkatan kualitas IPM diantaranya melalui anggaran DAK pendidikan dan kesehatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 2 (dua) metodologi utama yaitu (1) metode elastisitas fiskal dan (2) metode simulasi. Metode elastisitas fiskal dimaksudkan sebagai alat untuk melakukan sensitivitas. Sedangkan metode simulasi ini didasarkan pada kerangka kerja model elastisitas dimana penetapan target untuk meningkatkan IPM atau pergesaran akibat volatilitas variabel ekonomi di daerah tentu saja akan menimbulkan konsekuensi anggaran APBN.
Dari hasil simulasi dengan kondisi baseline APBN 2012 dan asumsi IPM Indonesia tahun 2011 sebesar 0,617 dengan besaran IPM dari harapan hidup saat lahir sebesar 69,40, kemudian IPM harapan lamanya tahun sekolah sebesar 13,20, besaran IPM rata-rata lama sekolah sekitar 5,80 dan IPM PNB per kapita dalam mata uang US$ dengan unsur Purchasing Power Parity sebesar 3,716, diperoleh hasil simulasi sebagai berikut:
Simulasi untuk meningkatkan IPM dari besaran rata-rata lama sekolah ternyata memberikan dampak peningkatan alokasi belanja negara paling besar jika dibandingkan peningkatan IPM lainnya dengan perhitungan kenaikan IPM paling besar. Sebaliknya peningkatan IPM PNB per kapita ternyata memberikan dampak penambahan alokasi belanja negara terkecil dibandingkan penambahan IPM lainnya dengan perhitungan kenaikan IPM paling kecil. Simulasi secara parsial juga memberikan kesimpulan bahwa penambahan besaran IPM akan dihasilkan hanya dari sektor yang langsung memiliki keterkaitan dengan penambahan sektoral IPM tersebut, jadi penambahan IPM dari pendidikan akan didukung oleh penambahan anggaran sektor pendidikan, penambahan IPM dari kesehatan akan didukung oleh penambahan anggaran sektor kesehatan dan seterusnya.
Hasil simulasi secara parsial ini memberikan gambaran kepada Pemerintah bahwa peningkatan IPM sektor pendidikan membutuhkan penambahan alokasi anggaran paling besar jika dibandingkan peningkatan IPM dari sektor kesehatan maupun ekonomi. Sebaliknya meningkatkan IPM dari sektor ekonomi justru membutuhkan penambahan alokasi anggaran paling kecil jika dibandingkan peningkatan alokasi IPM sektor lainnya meskipun penambahan besaran IPM nya juga paling kecil.
Simulasi secara serempak memberikan kesimpulan bahwa perlu adanya pembagian beban alokasi penambahan anggaran untuk tujuan meningkatkan besaran IPM. Penambahan total belanja negara yang dibutuhkan memang akan lebih besar namun dampak terhadap peningkatan IPM juga lebih besar. Hal tersebut dapat memberikan sinyal kepada pemerintah bahwa meningkatkan IPM sebaiknya dilakukan melalui serangkaian upaya peningkatan IPM secara serempak untuk beberapa sektor, bukan hanya didukung oleh peningkatan satu sektor saja.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.