Mengkaji Ulang Single Presence Policy Bank BUMN
Penulis: Makmun
Pada pertengahan 2006 yang lalu, Bank Indonesia pernah memberikan tiga opsi bagi para pemegang saham pengendali (PSP) yang mengendalikan lebih dari satu bank di Indonesia. Ketiga opsi itu terkait dengan kebijakan kepemilikan tunggal atau single presence policy yang akhirnya dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/16/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Nasional. Ketiga opsi tersebut adalah: Pertama, mengurangi kepemilikan di bank lain sehingga menjadi satu PSP pada satu bank. Kedua, melakukan merger atau konsolidasi dari bank-bank yang dikendalikan, dan ketiga, membentuk perusahaan induk di bidang perbankan (bank holding company) di Indonesia.
Kebijakan single presence policy yang deadlinenya jatuh pada tahun 2010 adalah untuk mendorong percepatan konsolidasi perbankan sesuai Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Aturan tersebut sudah diberlakukan di beberapa negara seperti Thailand dan India, dan diyakini akan bermanfaat bagi perkembangan industri perbankan dan perekonomian nasional. Kebijakan ini juga bertujuan agar tercipta persaingan yang sehat dan efektivitas dalam pengawasan bank. Dikecualikan dari kebijakan ini adalah bagi bank umum konvensional yang juga memiliki kegiatan bank syariah.
Khusus untuk bank-bank yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PBI No. 8/16/2006 membawa konsekuensi bahwa hanya ada satu perbankan yang berstatus BUMN di Indonesia. Berdasarkan rencana Single Presence Policy untuk bank-bank plat merah akan diwujudkan melalui dua opsi rasional yaitu melakukan penggabungan usaha dan konsolidasi atau membentuk operational holding company.
Sementara itu sejumlah kalangan mulai mempertanyakan efektivitas single presence policy dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) karena dengan lahirnya ketentuan itu justru membuat pemodal asing akan mencaplok bank nasional.
Mereka meminta bank sentral lebih realistis dalam menjalankan kebijakan demi kepentingan nasional, bahkan ada yang meminta agar penerapan single presence policy ditunda. Mereka berargumen Indonesia belum saatnya menerapkan single presence policy. Bahkan mereka juga mempertanyakan apakah jika diberlakukan sekarang ini, persoalan perbankan seperti fungsi intermediasi dan penurunan suku bunga bisa dijalankan.
Dampak Negatif
Penerapan single presence policy akan menjadikan bank semakin kuat dan besar, sehingga dapat bersaing di tingkat regional. Dari sisi strategi pun akan mempermudah bank sentral dalam penanganan dan pengawasan terhadap perbankan, namun ini belum menjamin lebih baik. Sementara itu menurut Permata Wulandari (Vibiznews, 2007), penerapan single presence policy diperkirakan akan menimbulkan komplikasi politik yang dasyat. Setidak-tidaknya terdapat beberapa dampak negatif yang mungkin saja akan terjadi, seperti: Pertama, tidak fokusnya pangsa pasar. Khusus untuk bank-bank plat merah, dari keempat bank yang ada, dewasa ini memiliki pasar yang berbeda-beda. BTN misalnya lebih berfokus pada pemberian kredit rumah pada kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi bawah. BRI lebih terfokus pada usaha kecil dan menengah serta masyarakat pedesaan. Bank Mandiri lebih berfokus pada korporasi. Sedangkan fokus BNI lebih kepada masyarakat luas.
Kedua, single presence policy dikhawatirkan akan menyebabkan ketidakadilan.
Hal ini dikarenakan masing-masing bank berkeinginan untuk menjadi bank tunggal. Khususnya bank-bank plat merah, tentunya setiap bank punya keinginan untuk menjadi bank pengakuisisi. Sampai saat ini pun belum ditentukan bank mana yang akan menjadi pengakuisisi, namun rumor bisnis sampai saat ini mengarah ke bank Mandiri. Ketiga, sebagai akibat penggabungan keempat bank pemerintah tersebut, masalah selanjutnya adalah status karyawan yang bekerja pada keempat bank tersebut. Jika terjadi merger, maka kemungkinan besar akan terjadi efisiensi pula dalam ketenagakerjaan. Tentunya apabila ini terjadi, akan menambah jumlah pengangguran yang ujung-ujungnya pemerintah juga yang pusing.
Disamping ketiga dampak di atas, single presence policy juga akan ber dampak pada nasabah bank, baik nasabah penabung maupun nasabah kredit. Penggabungan bank akan menjadikan nasabah bingung, karena ketidakjelasan satus nasabah. Terdapat kekhawatiran kasus merger bank-bank pemerintah menjadi Bank Mandiri akan kembali terulang.
Tenggat waktu yang diberikan oleh Bank Indonesia semakin dekat, namun nampaknya belum ada tanda-tanda perbankan akan melangkah menuju single presence policy. Bahkan khusus bank-bank pemerintah, Kementrian BUMN maupun kalangan bank-bank plat merah meminta agar Bank Indonesia menunda pemberlakuan kebijakan ini. Dengan mempertimbangkan keuntungan dan kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya, memang sebaiknya pemberlakuan single presence policy ditunda atau diberlakukan secara selektif, dengan alasan sebagai berikut: Pertama, kebijakan single presence policy untuk menjadikan perbankan Indonesia mampu bersaing di tingkat regional sudah tidak relevan, mengingat realitasnya sudah banyak bank asing semua masuk ke Indonesia.
Kedua, perekonomian nasional saat ini masih dalam tahapan recovery, dimana dibutuhkan dukungan pembiayaan yang sangat besar, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Sementara itu anggaran pemerintah masih sangat terbatas, untuk itu peran dunia perbankan diharapkan semakin meningkat. Dalam situasi seperti sekarang ini akan lebih baik apabila dunia perbankan diberikan kebebasan, agar dapat fokus dalam mengembangkan bisnisnya.
Ketiga, mungkin akan lebih tepat apabila penerapan single presence policy lebih diprioritaskan pada bank-bank menengah kebawah. Karena bank-bank kelompok inilah yang berpotensi akan “dicaplok� oleh asing. Dengan menggabungkan beberapa bank kecil diharapkan permodalan menjadi semakin besar, sehingga mampu bersaing. Prioritas utama juga dapat dialamatkan pada satu pemilik (keluarga) yang mempunyai dua bank atau lebih. Dengan single presence policy, bank-bank bank tersebut wajib dikonsolidasikan; bisa dengan melepas saham-saham di salah satu bank, atau bisa juga dengan menggabungkan (merger) kedua bank. Dengan demikian melalui kebijakan ini diharapkan dapat menghindari adanya conflic of interest.
Akhirnya Bank Indonesia memang sebaiknya mengkaji ulang single presence policy khususnya untuk bank-bank plat merah, bukan saja karena dampaknya sebagaimana dikemukakan di atas, namun juga dalam tahapan recovary economy peranan bank-bank pemerintah dituntut lebih meningkat lagi. Penerapatan single presence policy dikhawatirkan mengganggu fungsi intermediasi, sehingga banyak pihak yang akan dirugikan. Hal ini masih dimungkinkan, karena menurut aturan PBI, apabila kompleksitas permasalahannya cukup tinggi, dimungkinkan adanya penundaan. Dalam situasi seperti sekarang ini Bank Indonesia sebaiknya lebih memberikan ruang gerak bagi perbankan agar fungsi intermediasi perbankan dapat terus berlangsung. Untuk itu penerapan single presence policy untuk bank-bank pemerintah sebaiknya ditunda sampai situasi ekonomi normal kembali.
Oleh Makmun,
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal